Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG pria separuh baya dengan sigap menunjukkan colt walter kaliber 9 mm kepada wartawan TEMPO. Pistol jenis lugeer itu buatan Jerman. Warnanya perak, panjangnya cuma sejengkal, tapi beratnya hampir satu kilogram. Di dalam tabung pelurunya ada 7 butir timah panas. Itu belum cukup. Di dalam tas pria itu ada dua buah magazine yang terisi penuh.
Siapa pria itu? Dia bukan satuan intelijen. Bukan pula pasukan komando. Penjahat? Ah, bukan juga. Dia adalah Alvin Lie, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN), yang namanya melecut dalam kasus skandal Bulog dan skandal Brunei. Jika Alvin bergaya bak seorang militer, Rabu pekan lalu, itu karena ia merasa nyawanya berada di tubir maut. Menurut pengakuan Alvin, belakangan ini ia kerap memanen teror dari orang tak dikenal. Teror itu galak: jiwa dan raga pria beranak dua itu akan segera diceraikan. Alvin tak kalah gertak. Sementara pasukan berani mati memamerkan kekebalan tubuhnya, Alvin pun memamerkan senjatanya.
Sejak pendukung Abdurrahman Wahid bikin gertak-gertakan sebelum ke Jakarta, sejumlah orang penting di Senayan meniru Alvin, yaitu merasa perlu membawa pistol. Munawar Sholeh, juga anggota DPR dari PAN, belakangan ini kerap menyertakan pistol pelempar gas air mata dalam tasnya. Pistol gas itu, kata Munawar, dibeli dari sebuah koperasi yang bernaung di bawah Markas Besar Kepolisian RI. Harganya Rp 15 juta, berikut tabung gas dan perizinannya. Menurut penuturan penjaja pistol gas itu kepada Munawar, sekitar 30 anggota DPR sudah membeli pistol serupa.
Arifin Panigoro, Ketua Fraksi PDI-P, Kamis pekan lalu bergaya di depan kamera sebuah stasiun televisi Jerman. Ia memperagakan pemakaian rompi antipeluru di lantai 5 Gedung MPR/DPR. TEMPO sempat menyaksikan Arifin membagikan satu set rompi antipeluru itu kepada kawannya di PDI-P.
Itulah penampilan baru anggota DPR setelah mereka diancam teror. PT Pindadpabrik senjata milik negaradi Bandung menawarkan penjualan senjata produknya ke Komisi I DPR, komisi yang anggotanya paling banyak memanen teror. Harga senjata yang ditawarkan itu cukup murah. Sepucuk senjata dipatok pada harga US$ 500, belum termasuk biaya perizinannya. Menurut Alvin Lie, harga itu jauh lebih murah ketimbang pistol dari negeri seberang, misalnya dari Amerika Serikat atau Rusia. "Jadi, besar kemungkinan banyak yang menerima tawaran Pindad itu," ujar Alvin. Soal tawaran senjata dari PT Pindad itu dibenarkan oleh Yasril Ananta, Ketua Komisi I DPR. Hanya, menurut Yasril, penawaran itu tidak melalui Komisi I, tapi langsung sebagaimana transaksi bisnis lainnya. "Wajarlah kalau orang beli. Itu kan buat perlindungan diri saja," kata Yasril kepada TEMPO.
Menurut pengakuan Munawar, cukup banyak kawannya yang tertarik dengan tawaran Pindad itu. Munawar sendiri belum tertarik membelinya karena ukurannya terlalu besar, kaliber 38 mm. "Mereka menawarkan untuk membuat kaliber 22 mm, tapi baru jadi dua bulan lagi," kata Ketua Dewan Pimpinan Wilayah PAN Jawa Tengah itu.
Di luar kepemilikan senjata itu, tawaran penjagaan keselamatan terhadap sejumlah anggota DPR yang rawan teror juga datang dari banyak tempat, baik dari fraksi masing-masing, pengaman patikelir, maupun yang resmi dari Sekretaris Jenderal MPR/DPR.
PAN, misalnya, selain menyubsidi anggota untuk membeli senjata dan rompi antipeluru, menempelkan sejumlah anggota Tapak Suci, sebuah perguruan silat binaan Muhammadiyah, kepada setiap anggotanya yang rawan teror. Sejumlah partai lain melakukan hal yang sama.
Rabu pekan lalu, Sekretaris Jenderal MPR/DPR mengirim sebuah surat berkode rahasia kepada sejumlah anggota DPR yang dianggap memerlukan pengawalan. Surat bernomor 006/DPR-RI/2001 itu ditandatangani oleh Sri Sumarjati, Sekretaris Jenderal DPR. Isinya, Sekretariat DPR bersedia menempelkan seorang personel polisi dari 28 April hingga 3 Mei 2001. Yang berminat dengan tawaran itu diminta memencet nomor 5715327 atau 5715744, paling telat tanggal 27 April.
Alvin Lie sendiri mengaku tidak tertarik dengan pengawalan personel dari polisi. "Nanti dikira sok penting," katanya kepada TEMPO. Tapi itu bukan berarti Alvin tanpa bodyguard. Sejumlah anggota Tapak Suci tadi kini mengawalnya ke mana saja ia pergi. Beberapa anggota DPR, terutama ketua fraksi, ketua komisi, dan pemimpin DPR, menerima tawaran pengawalan polisi itu. Kini, ke mana saja mereka pergi, seorang polisi berpakaian preman selalu mengawal. Kawalan ketat itu juga terlihat di perumahan DPR di Kalibata, Jakarta Selatan. Setiap pintu masuk menuju kawasan itu dijaga ketat oleh aparat keamanan dari Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Di sejumlah pintu masuk itu juga terlihat sejumlah polisi berpakaian preman. "Mereka pengawal pribadi anggota DPR," bisik seorang satpam kepada TEMPO.
Begitulah wajah negeri ini, setelah sekelompok orang menyatakan datang ke Jakarta untuk menduduki Gedung DPR dan meneror anggota DPR.
Wens Manggut, Adi Prasetya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo