Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabtu malam, 5 April lalu, lalu lintas Jalan Braga, Bandung, macet. Seorang polisi yang mencoba mengurai kepadatan seolah-olah tak berdaya. Puluhan mobil dan sepeda motor besar diparkir memanjang di kedua bahu jalan. Kemeriahan terpusat di sebuah bangunan berlantai dua. Tampak anggota Bikers Brotherhood Motorcycle Club (BBMC)-klub sepeda motor paling disegani di Bandung-berdatangan ke sana. Bangunan itu adalah kantor pusat baru mereka. Mereka menengok dan menghadiri pembukaan kafe Brotherhood's Brahaus, tempat nongkrong anyar klub motor yang baru berulang tahun ke-26 ini.
Di dalam kafe, udara segar seperti terhalang masuk oleh sekitar 40 anggota Brotherhood yang berkerumun di bagian terbuka kafe. Kepulan asap rokok mengambang. Mereka menyesaki kursi dan sofa di ruangan seukuran kelas sekolah dasar. Perempuan muda berseragam mengantar sejumlah pitcher bir ke setiap meja. Puluhan orang lainnya hilir-mudik dan bersalaman tangan di bagian dalam kafe. Suara pembawa acara berkali-kali menghilang ditelan dengung obrolan dan ledakan tawa.
Penampilan mereka yang memenuhi kafe dan 50-an orang yang meriung di lantai bawah hampir seragam: memakai celana jins atau kulit, rompi kulit berwarna hitam dengan gambar tengkorak di punggung, dan sepatu bot kulit. Sebagian di antara mereka mengenakan bandana atau aksesori dari metal, seperti rantai dan cincin tengkorak. Mereka datang dari berbagai profesi. Dari pengacara, dosen, dokter, pegawai negeri, polisi, tentara, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat. "Anggota kami beragam, dari haram jadah sampai pencium sajadah," kata Oetomo "Wawul" Hermawan, yang pengacara.
Di antara hadirin, tampak seorang pria dengan kedua lengan penuh tato. Di bagian depan rompinya, di atas dada sebelah kanan, ada gambar tengkorak. Di bawah tengkorak itu tertera tulisan: "EL PRESIDENTE". Pria bertato itu adalah Budi Dalton, ketua umum Brotherhood yang mengomandani sekitar 8.000 anggota. Selain tato di lengan, tak ada hal lain yang membuatnya terlihat sangar. Dosen dan ketua jurusan musik di Universitas Pasundan ini justru sering melemparkan gurauan yang membuat orang lain terbahak.
Budi sudah dianggap sebagai salah seorang "sesepuh" Bandung. Seperti Semar tokoh punakawan dalam pewayangan, Budi tidak memiliki jabatan formal di pemerintahan, tapi dia kerap didatangi pemimpin daerah, baik sipil maupun militer, untuk dimintai pendapat. Brotherhood pun digandeng oleh banyak pihak-dari kepolisian, tentara, sampai sejumlah lembaga donor luar negeri-untuk sama-sama menjalankan berbagai kegiatan. Budi pernah diajukan oleh kelompok-kelompok marginal sebagai calon independen dalam pemilihan Wali Kota Bandung tahun lalu, meski kalah. Tentu, di seputar pemilihan umum seperti sekarang ini, banyak politikus yang mendekatinya.
Malam Minggu itu, misalnya, Budi mengaku diundang oleh dua calon presiden. Namun undangan itu dia tolak. Sang El Presidente lebih senang datang ke pembukaan kafe itu. Sebelum datang ke kafe, Budi lebih dulu menggelar rapat dengan pengurus BBMC pusat di kantor lama mereka di Jalan Veteran, Bandung. Dari Veteran, ia langsung tancap gas ke Braga menggunakan sepeda motor AJS (A.J. Stevens & Co Ltd) jenis Twin 500 cc dari Inggris buatan tahun 1960. Budi dikawal enam sepeda motor besar yang sama antiknya. Kafe tersebut salah satu sayap bisnis untuk membuat Brotherhood mandiri secara finansial.
SEPEDA motor tua buatan Eropa adalah roh embusan nyawa pertama yang membuat Brotherhood ada. Alkisah, pada pertengahan 1980-an, ada belasan pencinta sepeda motor rongsok buatan Eropa yang sering berkumpul di pelataran parkir gedung Panti Karya, Jalan Merdeka, Bandung. Sebagian adalah mahasiswa Institut Teknologi Bandung, tapi ada juga pengangguran dan tentara. Sepeda motor Eropa yang mereka kendarai itu bermerek, antara lain, Douglas, Royal Enfield, Norton, BSA, BMW, dan AJS. "Keakraban terjalin berdasarkan hobi dan kebutuhan untuk merawat serta mengubah motor rongsok mereka agar layak jalan," kata Rony Ahmad Banterang alias Ron Ron, 46 tahun.
Menurut Lucky Hendrawan, 50 tahun, yang akrab disapa Uci, mereka saat itu memilih sepeda motor Eropa karena membenci Amerika Serikat. "Gara-gara geuleuh (jijik) pada motor Harley-Davidson yang menyimbolkan kemapanan. Kami anti-kemapanan," ujar lulusan Desain Grafis ITB 1990 itu. Saat itu, Uci memakai sepeda motor Royal Enfield tipe Bullet 350 cc buatan tahun 1956.
Antipati mereka kepada Amerika saat itu, misalnya, terkait dengan kontrak panjang Freeport, yang mereka anggap merugikan Indonesia. Sikap itu menjalar ke penolakan sistem dan kebijakan rezim Soeharto yang terus berkuasa. Pemberontakan terhadap pemerintah mereka tumpahkan di jalanan, menjadi gerombolan bermotor yang liar.
Mereka sengaja tak mengurus surat kendaraan dan tak memakai nomor polisi. Lampu merah juga diterabas. Rem ada yang dilepas sehingga sepeda motor baru berhenti jika dibenturkan ke kendaraan lain. "Kami tidak puas kepada pemerintah, aturan, dan pendidikan," ucap Uci, yang kini menjadi dosen dan Kepala Departemen Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Harapan Bangsa di Bandung.
Ide membuat klub mulai tercetus di rumah Benny Gumelar alias Bebeng di Jalan Diponegoro Nomor 2, Bandung. Kesepakatan itu kemudian direalisasi dengan membuat Bikers Brotherhood di rumah Bobby di Jalan Tubagus Ismail pada 1988 dengan tanggal dan bulan yang mereka lupa. Saat itu juga mereka merancang logo klub yang dipakai sampai sekarang. Ketua pertamanya adalah Bebeng, karena usianya paling tua.
Baru, pada 1991, mereka menetapkan tanggal lahir BBMC, yaitu 13 Juni 1988. Tanggal itu mengacu pada keikutsertaan BBMC di acara Summer Camp Harley-Davidson Club Indonesia di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat. Di lokasi pertemuan penggemar sepeda motor besar dan tua itu, BBMC mengibarkan benderanya pertama kali sekaligus memasang prasasti.
Pada tahun-tahun awal klub itu berdiri, rasa kekeluargaan ini diterjemahkan secara brutal. Kekompakan ini tidak hanya penting dalam iring-iringan touring ke luar kota. Kekompakan justru dibutuhkan saat mereka berada di jalanan di Bandung. Sebab, di sanalah mereka kerap bentrok dengan preman yang menguasai Jalan Merdeka, alun-alun, Terminal Kebon Kalapa, Pasar Baru, serta Cicadas. Dengan kekompakan itulah mereka berhasil mengalahkan para preman dan menguasai tempat-tempat tersebut.
Setelah berkelahi, kadang beberapa preman malah bergabung dengan klub motor itu. Anggota klub pun belajar dari para preman soal kerasnya hidup di jalan dan menyiasatinya agar bisa bertahan hidup. Gaya hidup preman lalu terbawa dan mewarnai keseharian mereka. "Anggota yang asalnya liar, kami kurangi keliarannya. Yang terlalu baik dinaikkan nakalnya," ujar Uci. Tak mengherankan jika Bikers Brotherhood pada 1980-an dianggap sebagai preman bermotor.
Namun Uci, El Presidente pertama (1988-1992), menolak jika Brotherhood dianggap sebagai organisasi kriminal terorganisasi. Menurut dia, apa yang mereka lakukan saat itu hanyalah untuk menyalurkan sisi keliaran anak muda. "Bukan ingin menguasai wilayah, kami hanya ingin berantem. Kalah-menang berantem enggak jadi soal," kata Uci. "Itulah mengapa, ketika ada yang mencoba membawa pola Hell's Angels, kami tolak."
Hell's Angels adalah kelompok penunggang Harley-Davidson di Amerika Serikat yang oleh Departemen Hukum Amerika dianggap sebagai sindikat kriminal terorganisasi. Moto geng yang didirikan pada 1948 ini memang sangar: "When we do right, nobody remembers. When we do wrong, nobody forgets." Jadi sejak awal Hell's Angels memang diniatkan untuk melawan hukum. Di Bikers Brotherhood, perkelahian lebih sering terjadi karena solidaritas sesama anggota.
Mengatasi anggota yang hobi gelut tentu bukan perkara mudah. Terpilih sebagai El Presidente, Yusuf "Papeuh" Sugandi (1992-1998) dengan 10 anggota tim tata tertib menindak anak buah yang berkelahi dengan sesama anggota dan membela jika berseteru dengan para musuh, terutama preman.
Tegep Oktaviansyah, yang menjadi El Presidente pada 1998-2001, juga kenyang pengalaman menangani kerasnya karakter anggota Brotherhood di masa lalu. Sebelum menjadi El Presidente, ia sibuk mengurus anggota BBMC yang suka berkelahi dengan para preman di daerah tertentu, seperti tempat hiburan malam. "Dulu berantem seringnya masih duel tanpa senjata tajam atau api, walau anggota suka bawa pisau (lipat) balisong dan beberapa punya pistol," kata lulusan Desain Produk ITB itu. Karena itu, ia paham betul karakter 300-an anggota saat itu.
Tegep sadar organisasi besar seperti Brotherhood harus punya tujuan, taat aturan, dan kental persaudaraan. Tapi, untuk melangkah ke sana, tentu saja pengusaha sepatu bot itu kesulitan dalam menyatukan satu visi karena latar anggota yang beragam. Ia menyebutkan, di masa kepemimpinannya, Brotherhood berada dalam transisi, antara berorganisasi dengan aturan dan hukum rimba. "Masalahnya banyak, dari anggota yang berantem dengan istrinya sampai ditelepon pukul 2 pagi karena anak-anak anggota ribut," ucapnya.
Meski dibilang hukum rimba, bukan berarti BBMC saat itu tidak memiliki aturan. Mereka punya hukum adat yang lebih tinggi daripada aturan formal di anggaran dasar rumah tangga mereka. "Hukum adat dibuat berdasarkan pertimbangan logika dan tidak tertulis," kata Uci, yang juga Ketua Adat BBMC. Sanksi hukum adat tergolong berat bagi mereka yang memalukan klub.
Menurut Uci, sebelum jatuh sanksi, ada forum persidangan yang digelar. Hukuman ringan berupa gamparan dari semua anggota yang hadir di persidangan dan paling berat diseret sepeda motor sejauh 100 meter. Puncaknya, klub bisa menarik rompi (colors) yang menandakan ia telah dipecat. Belakangan, sanksi tidak seberat itu. Hukuman lebih bersifat administratif, seperti mencopot sejumlah emblem dari colors sehingga semua orang tahu bahwa orang tersebut pernah melanggar. Hukuman seperti ini dianggap jauh lebih memalukan dibanding hukuman fisik.
Kerepotan mengatur anggota Brotherhood juga dirasakan Wawul, yang memimpin pada 2003-2005. Untuk mengukuhkan persaudaraan, dia menggulirkan program tahunan yang wajib dihadiri anggota. Sedangkan untuk mengatasi keributan, Wawul membentuk tim ketertiban bernama Vigilante beranggota 12 orang. Mereka dipilih karena dinilai sudah banyak mengenal karakter anggota dan punya kemampuan bela diri. "Tugasnya 24 jam siap dikontak jika ada anggota yang bermasalah. Prinsipnya salah-enggak salah, bela dulu saudara," ujarnya. Jika nanti anggota yang dibela ternyata bersalah, hukumannya bisa sangat berat.
Segala kesangaran itu berubah pada 2005, saat perayaan hari jadi ke-17 BBMC. Pada hari itu mereka bertekad aktif dan kontinu menjaga lingkungan, menjaga persatuan bangsa, memajukan pendidikan, membina kebudayaan, serta menolong korban bencana alam. Semua hal itu dipayungi oleh lima program mereka: BB for Nature, BB for Nation, BB for Education, BB for Culture, dan BB Care.
Wawul mengatakan perubahan ini bisa jadi karena mereka semakin tua, juga zaman yang berubah, sehingga cara kekerasan bukan tak lagi cocok. Budi Dalton juga menganggap itu sebagai momen perubahan terpenting mereka. "Ini sesuai dengan proses pendewasaan. Harus ada perubahan di diri kami," katanya.
Salah satu yang pertama-tama mereka bereskan adalah warisan yang mereka tinggalkan sebelumnya: perkelahian antargeng motor di Bandung. Maka, pada 2005, Brotherhood menggagas Bandung Kondusif. Bikers Brotherhood mendatangi klub dan geng motor, lalu meminta mereka menandatangani memorandum of understanding perdamaian. "Kami tidak bisa memerintah orang untuk melakukan ini dan melarang itu. Itu mah tugas polisi. Yang bisa kami lakukan mengajak mereka berdamai di jalanan," ujar Budi. "Ini kesepakatan di antara kami saja. Kalau saya ketemu Anda di jalan, damai."
Sebenarnya benih perubahan ada sejak masa kepemimpinan Papeuh pada awal 1990-an. Di sela kegiatan rutin klub-seperti mengendarai motor, mabuk, dan berkelahi-mereka juga mengadakan bakti sosial berupa pembagian Al-Quran dan sajadah. Di masa Tegep, misalnya, mereka juga sudah ikut membantu korban letusan Gunung Papandayan pada 2000 dan menjual stiker donasi di Jalan Dago untuk penggalangan dana korban bencana alam. Kegiatan itu sudah dinamakan Bikers Brotherhood (BB) Care.
Kini program-program itu berada di bawah tagline besar "100 Tahun Bikers Brotherhood Bakti untuk Negeri". Untuk BB for Nature, mereka terlibat dalam penyelamatan hutan kota Babakan Siliwangi dan penghijauan Gunung Kareumbi yang gundul. Di gunung yang berada di kawasan perbatasan Kabupaten Bandung dan Sumedang itu, mereka "mendapat" lahan untuk ditanami seluas 12 hektare. Mereka juga memiliki sejumlah kebun pembibitan untuk menyuplai secara kontinu program penghijauan ini. Salah satunya di Jalan Pramuka, Bandung, di mana terdapat sekitar 5.000 bibit pohon.
Di bidang budaya, kiprah mereka cukup banyak. BBMC, misalnya, menggelar Festival Reog Mato secara tahunan di Baturaja, Sumedang. Menurut Budi, kesenian tradisional itu hampir punah sehingga perlu dilestarikan. Brotherhood juga dipercaya oleh sejumlah kampung adat untuk menyimpankan puluhan pusaka mereka. "Mereka bahkan menitipkan pusaka yang bersifat pribadi. Itu agak aneh. Mungkin kami dipercaya oleh mereka," kata Budi.
Lewat BB for Heritage, mereka berusaha menyelamatkan bangunan-bangunan bersejarah di Bandung. "Rohnya Kota Bandung kan suasana kolonialnya. Tapi sekarang bangunan heritage-nya saja sudah banyak yang hilang. Bangunan cagar budaya di Bandung, yang awalnya lebih dari 2.000, sekarang hanya 400 sekian. Berarti ada yang tidak beres dalam pengelolaan dan pengawasannya," ucap Budi.
Dalam menjalankan program-program ini, tentu mereka bekerja sama dengan lembaga lain, seperti Rumah Zakat dan UNDP. Salah satu di antara mereka adalah Yayasan Kontak Indonesia. Menurut direktur yayasan itu, Endy Sulistiawan, kerja sama aktif dengan BBMC terjalin selama dua tahun berturut-turut pada 2011-2012. Beberapa kegiatan lain yang mereka gelar adalah pengobatan gratis di Kiara Payung dan Cisarua, Lembang. Anggota BBMC kadang menjadi relawan dan peserta penyuluhan HIV/ AIDS.
BBMC, menurut dia, juga menyediakan lokasi acara untuk pemeriksaan kesehatan atau bantuan sosial. Tenaga 30-60 anggota BBMC juga membantu yayasan mencari pemulung dan memberi paket makanan. Sampai sekarang, kemitraan sosial mereka masih terjalin. "Kami sama-sama saling menguntungkan," ujarnya.
Di luar Bandung, BBMC punya kegiatan lain. Bulan puasa lalu mereka menyumbang sebuah ruangan kelas di Pondok Pesantren Yayasan Kharisma Darussalam di Cikampek, Jawa Barat. Ruangan kelas berukuran 48 meter persegi itu dinamakan Bikers Brotherhood MC-Indonesia Class Room.
Pemilik pesantren, Endang Suhendar, mengatakan kelas itu sehari-hari dipakai sebagai ruangan serbaguna. "Tahun ini dipakai sebagai asrama santri, tahun depan untuk anak-anak TK," ujarnya saat dihubungi Tempo, Ahad dua pekan lalu. "Bantuan mereka sangat berarti buat kami," katanya.
Menurut Budi, semua ini dilakukan untuk memanfaatkan potensi masyarakat Bikers Brotherhood yang sangat heterogen. "Sayang kalau kami cuma kumpul, minum, naik motor, labuh (jatuh). Masih banyak potensi yang bisa kita gali dari mereka. Inilah yang membuat kami tidak hanya bikin bakti sosial. Ketika kegiatan sosial sudah menjadi tren di kalangan klub motor lain, kami loncat ke hal berikutnya," kata Budi. "Sekarang Brotherhood bekerja untuk hal yang lebih luas, untuk Indonesia, bukan untuk klub lagi."
Qaris Tajudin, Anwar Siswadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo