Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IDEALNYA, suatu kompetisi terbuka dan melalui proses panjang bisa melahirkan pemenang berkualitas. Namun gambaran ideal ini tidak maujud dalam pelaksanaan pemilihan umum legislatif untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019, yang digelar pada 9 April lalu.
Kendati masih dalam proses perhitungan suara sementara oleh Komisi Pemilihan Umum, tanda-tanda bahwa para legislator inkumben masih akan tetap berkantor di Senayan semakin kuat. Menempati nomor urut atas, umumnya mereka meraih suara terbanyak di daerah pemilihan masing-masing. Sebaliknya, dari sejumlah nama yang diusung oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat sebagai politikus "putih", hanya segelintir yang diperkirakan melenggang.
Ikhtiar majalah ini dengan menyeleksi 6.000 calon anggota legislatif, yang kemudian mengerucut menjadi 11 calon legislator pilihan Tempo, hanya berhasil mengegolkan dua andalan yang lolos ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Kembalinya muka-muka lama tentu mengganjal harapan publik bahwa akan terjadi perbaikan di lembaga legislatif mendatang. Selain tidak menunjukkan prestasi ketika menjabat, tak sedikit dari mereka yang tersangkut perkara korupsi. Beberapa di antaranya sudah bolak-balik diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jika diungkai, minimnya barisan orang baik yang terpilih menjadi anggota DPR merupakan buah kesalahan partai politik peserta pemilu. Mereka menggelar karpet merah bagi orang-orang lama untuk kembali menjabat. Tak peduli politikus itu berkinerja ala kadarnya dan tersangkut masalah hukum. Kalaupun ada beberapa calon yang berkualitas, mereka kurang "dijual" ke masyarakat.
Komisi Pemilihan Umum juga memiliki andil besar menepis peluang perbaikan kualitas anggota DPR. Komisi ini mengabaikan kegiatan sosialisasi bagi calon legislator. Semestinya, dengan anggaran raksasa-Rp 16 triliun untuk seluruh tahapan pemilu-tugas menjalankan program sosialisasi bisa lebih dioptimalkan. Minimnya kampanye juga ditandai oleh tingginya angka "golongan putih", yang mencapai 34 persen, paling tinggi sepanjang sejarah pemilu.
Kendati sulit berharap para legislator baru itu membawa perubahan terhadap lembaga DPR mendatang, tetap tidak ada kata terlambat bagi partai politik melakukan perubahan sistem rekrutmen calon anggota legislatif dalam pemilu berikutnya. Partai politik mesti melakukan seleksi internal secara ketat sebelum menentukan kandidat yang akan diusung. Harus tidak ada lagi rumus bahwa pengurus pusat pasti mendapat nomor urut jadi di setiap daerah pemilihan.
Mekanisme pemilihan awal di setiap daerah pemilihan bisa menjadi alternatif. Prosesnya dimulai dengan menggelar pemungutan suara atau menggunakan lembaga survei untuk mengukur tingkat pengenalan publik setempat terhadap setiap kandidat. Dengan cara ini, diharapkan pada saat pencoblosan masyarakat benar-benar tahu siapa kandidat yang patut dipilih.
Komisi Pemilihan Umum semestinya lebih mengoptimalkan program sosialisasi setiap calon legislator. Pengalaman buruk dari pemilu-pemilu sebelumnya bisa dijadikan pelajaran penting. Tanpa itu, hajatan demokrasi lima tahunan ini hanya akan menjadi urusan "bisnis" sesaat. Politikus yang ingin terpilih tinggal menyebar uang di daerah pemilihannya, setelah itu urusan selesai sampai pemilu berikutnya.
berita terkait di halaman 48
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo