Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Godot tanpa Peristiwa

Berulang tahun ke-25, Teater Kami mementaskan Godot di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki.

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Katanya dekat tiang listrik."
"Bukannya dekat pohon…?"

Tiga perempuan itu (diperankan Piala Dewi Lolita, Ribka Maulina, dan Ummi Tono) mempercakapkan Godot. Mereka bergelesotan di bawah sebuah tiang listrik yang doyong. Mereka menghamparkan sepatu jualan mereka. Mana Godot? Betul hari ini ia datang? Betul di taman ini? Terdengar suara lenguhan. Tiga perempuan itu memperdebatkan apakah itu suara Godot atau bukan. Bahkan ada yang membawa teropong untuk melihat benarkah Godot sudah dekat.

"Katanya hari Sabtu ia datang…."

Tentu ini bukan pemanggungan naskah Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Bukan pula sebuah pementasan yang menafsirkan situasi yang dihadapi tiga tokoh-Vladimir, Estragon, dan Pozzo-secara lebih dalam. Ini Godot kreasi Harries Priadie Bah. Di panggung, bukan sebuah peristiwa yang terjadi. Kita tidak melihat aktor mempercakapkan suatu hal sehari-hari, yang membawa kita ke sebuah situasi bahwa menunggu menjadi sesuatu yang menegangkan. Kita tidak digiring ke sebuah situasi tatkala menunggu menjadi momen yang misterius (dan tragis). Imajinasi kita juga tak dilentikkan kepada siapa yang mereka tunggu.

Itu lantaran hal-hal dramatik dari "menunggu" yang sesungguhnya menjadi sebuah situasi itu semua diucapkan secara verbal. Pada awal pertunjukan tiba-tiba ada suara mengatakan, "Waiting…, waiting…." Dialog para perempuan itu juga penuh dengan kata-kata yang mendiskusikan "menunggu". "Bukankah menunggu ini sebuah absurditas?" ucap seorang perempuan. Di sini kebosanan, keputusasaan, dan keabsurditasan menjadi sesuatu yang diucapkan. Godot menjadi sebuah kata benda.

Kemudian lewatlah seseorang bernama Tom yang kepalanya bertudung kap lampu bernyala (Gultom Tewe). Ia menyeret peti mati berisi seseorang (Harris Priadie Bah) yang terbaring membawa botol minuman keras. Kita langsung tahu lelaki itu adalah alegori sosok Lucky dalam naskah asli Beckett. Dan lelaki di dalam peti itu adalah sang majikan: Pozzo. Dalam naskah asli, Lucky senantiasa terikat lehernya dan selalu membawa aneka keperluan tuannya. Di sini "Lucky" awalnya muncul mengenakan rok dan bak seorang whirling sufi berputar-putar menari mengikuti iringan musik Beethoven yang diramu ulang.

Para perempuan bertanya, "Kamu Godot?" Lelaki bernama Bah yang terbaring di peti mati itu bangkit, "Godot, siapa dia? Apakah kalian menunggunya?" Yang khas, Teater Kami senantiasa menyelipkan kalimat-kalimat dengan struktur tak biasa. Tatkala berdebat tentang tiang listrik, Tom merentangkan tangan. Laksana tersalib, ia melakukan solilokui tentang paku di telapak tangan, tentang bekas kawat berduri di leher Tuhan, dan sebagainya. Kita mendengar sederet kalimat yang mungkin puitis bagi Harris tapi mungkin gelap dan kurang jitu pengolahan bahasanya bagi sebagian penonton.

"Kenapa ada lendir yang menetes dari jam 11 malam?"

Pementasan Menunggu Sesuatu Godot yang Telah Pergi ini menandai ulang tahun Teater Kami ke-25. Harris mengatakan baginya mementaskan naskah terjemahan bukan kerja menduplikasi. Betapapun persisnya, penduplikasian hanyalah peniruan. Dengan sikap estetis seperti itu, Teater Kami pernah mementaskan sebuah naskah Jack Hibberd pada 1994 dengan cara yang menggedor. Terakhir, tahun lalu, mereka menyajikan Woyzeck dengan hanya beberapa aktor. Terasa menarik karena mereka mampu memadatkan Woyzeck. Tragedi sang Kopral Woyzeck yang menjadi kelinci percobaan dunia kedokteran bisa disuguhkan sari patinya.

Sesungguhnya yang baru dari pentas Godot ini adalah konteks perkotaan. Pentas diawali adegan aktor yang lalu-lalang menampilkan gambaran manusia ibu kota yang selalu tergesa diburu waktu. Pilihan set tiang listrik, bukan pohon ranggas yang konvensional, sungguh ide yang menarik. Pada akhir cerita, muncul anak kecil (Salvo Genesis Salibia) yang dikirim Godot menemui ketiga perempuan. Ia mengatakan Godot ada, tapi sudah pergi. Ketiga perempuan itu bersyukur: ohhh, dia ada. Harris berpihak pada harapan. Tapi harapan itu diucapkan verbal, bukan sebuah situasi yang dirasakan penonton.

Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus