Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan menuju kudeta

Rencana kudeta menggulingkan presiden ferdinand marcos & gubernur metromanila imelda marcos serta jenderal fabian ver, kepala staf afp. juan ponce enrile & gregorio honasan sangat berperan.

19 Desember 1987 | 00.00 WIB

Jalan menuju kudeta
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
DIA pernah dengan gagah berkata, "Saya yakin akan kemampuan saya sebagai prajurit. Dan tak banyak yang mau mencari saya, sebab cuma ada dua kemungkinan,dia atau saya yang tertembak." Sialnya, Rabu malam pekan lalu, begitu masuk persembunyiannya dengan sepeda motor, pahlawan Revolusi Februari Kolonl Gregorio "Gringo" Honasan ditangkap, konon tanpa tembak-menembak sedetik pun. Tapi, kabamya, kolonel yang pemberang itu tetap menyungging senyum di bibirnya. Adakah ia tetap merasa menang? Tokoh ini memang keras. Mula-mula ia mendukung, bahkan menjadi orang yang berdiri paling depan, kelompok yang menjatuhkan Marcos. Tapi dia juga kemudian yang mengkritik dan kemudian melakukan gerakan kudeta terhadap pemerintahan Cory Aquino -- hanya satu setengah tahun setelah Cory, yang semula didukungnya, menjalankan pemerintahan. Ia menilai pemerintahan Cory ternyata memutarbalikkan hal-hal yang mestinya dijalankan. Tapi upaya kudeta akhir Agustus yang lalu itu gagal. Sekitar 50 serdadu tewas. Ia menghilang. Tawaran pemerintah agar ia menyerah ditolaknya: Bahkan kemudian ia memberikan wawancara di tempat persembunyiannya kepada tiga wartawan, antara lain dari majalah Newsweek, menegaskan kritiknya terhadap pemerintahan Cory. Menjelang KTT ASEAN di Manila pekan ini muncul kabar, Kolonel Honasan siap mengacaukan jalannya konperensi. Tapi muncul berita baru, Honasan tak akan menjadikan Filipina buruk di mata negara tetangganya. Jadi, ia tak akan mengutik-utik KTT ASEAN. Dan lima hari sebelum Konperensi dibuka, ternyata ia tertangkap bersama delapan pengikutnya. Tampaknya, itu semua merupakan sambungan dari Revolusi Februari yang menggegerkan itu. Revolusi yang memang sudah dikisahkan di sejumlah media massa secara sepotong sepotong. Kini, sebuah buku ditulis oleh Lewis M. Simons, wartawan pemenang Hadiah Pulitzer tahun lalu, mencoba merangkai kembali jalannya kudeta yang di ujungnya ternyata berbelok dari skenario semula itu, dari akarnya. Dan bila kantor pengacara Enrile akan "membela Honasan mati-matian," tampaknya ini wajar. Dari kisah yang dituturkan Simons, Honasan memang dekat sekali dengan Enrile. * * * Semua itu tampaknya dimulai dari Juan Ponce Enrile, salah seorang yang berkuasa di Filipina sejak ia diangkat sebagai menteri pertahanan, 1970. Dan salah seorang terkaya di negerinya, setelah pada 1972 ia membantu Presiden Marcos mencanangkan undang-undang darurat. Yakni setelah Enrile dan mobilnya diberondong peluru dalam suatu percobaan pembunuhan. Tentu saja, menhan itu selamat peristiwa itu sekadar muslihat. Sebagai hadiah, ia diberi hak mengontrol industri kopra yang sangat menguntungkan. Bahkan Enrile kemudian diangkat sebagai Ketua Bank Persatuan Petani Kelapa. Tapi lelaki yang tampan, keras, cerdik penuh tipu muslihat, kata orang, ini tak cukup puas dengan itu. Ia -- anak tak sah seorang wanita dari Dusun Cagayan, yang masa kecilnya tak jelas, yang kemudian menjadi pengacara terkemuka di Manila, setelah lulus dari sekolah hukum di Harvard -- ingin duduk di puncak kekuasaan. Dan Marcos, yang dikenalnya pada 1964 sewaktu masih senator, tahu ambisi menhannya. Dan karena itu, kekuasaannya lalu dibatasi sedikit demi sedikit. Akhirnya diputuskan oleh Marcos bahwa Menhan tak punya garis komando langsung terhadap AFP. Tentara Filipina hanya punya satu panglima, yaitu Jenderal Ver. Karena itu, beberapa kali Enrile minta mundur. Marcos selalu menolak, khawatir justru di luar kabinet Enrile bisa lebih berbahaya. Namun, seperti dalam pemilu-pemilu sebelumnya, Enrile tetap berniat membantu Marcos dengan memanipulasi jumlah pemilih Marcos di Cagayan untuk pemilu 7 Februari 1986 lalu. Tapi setelah ia tahu di hampir seluruh Filipina sesungguhnya Marcos telah kalah, tahulah ia bahwa saat yang ditunggu-tunggunya telah tiba. Dan sebenarnya pula sudah sejak dulu Juan Ponce Enrile mempersiapkan semuanya. Mulailah Enrile membuka jurus-jurusnya. Pertama-tama ia katakan kepada teman-temannya bahwa ia akan mengundurkan diri. Suatu hari, di kantor pribadinya, kantor pengacara yang baru dibukanya kembali setelah tutup sekian tahun, sambil masuk ruangan teriaknya kepada sekretarisnya, "Apakah surat pengunduran diriku sudah diketik?" Sebelas hari sesudah pemilu, yakni pada Selasa 18 Februari, Enrile makan malam bersama dua orang Amerika. Kepada dua orang asing itu, yang ia tahu bakal menyampaikan yang ia ceritakan ke Washington, Enrile mengatakan akan menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada Marcos hari Senin depan. Yakni di hari sebelum pelantikan presiden. Bila Marcos menolak, ia akan tetap duduk di kabinet untuk dua-tiga bulan, untuk, "membantu pemindahan kekuasaan secara damai." Tampaknya, Enrile yakin bahwa rezim Marcoshabis sudah. Namun, tak satu nama pun disebutnya siapa bakal menjadi presiden baru. Tak lama sesudah itu, AM (Reform the AFP Movements -- kelompok militer yang mencanangkan agar keprofesionalan tentara dibangkitkan lagi, 1982) menyebarkan imbauan kepada seluruh anggota militer dan polisi Filipina. Isinya: "Kami mengimbau agar kalian ingat sanak famili dan teman-teman Anda yang mungkin bersama jutaan rakyat Filipina sekarang ini menuntut agar suara mereka didengar. Dukunglah perjuangan menegakkan demokrasi dan kebebasan dengan cara menghindarkan cara-cara kekerasan terhadap mereka yang tak bersalah dan yang cinta damai." Dan kepada kedua Amerika teman makan malamnya, Enrile bilang, pihak tentara akan menolak keras bila diperintahkan melawan mereka yang anti-Marcos, "Tentara mungkin pertama-tama akan menembak. Tapi selanjutnya mereka akan menyimpan senjatanya." Enrile memang punya ambisi besar. Ia sudah memperhitungkan segalanya, beberapa tahun sebelum pemilu (waktu itu diperhitungkan bahwa pemilu akan diselenggarakan normal, yaitu pada 1987 belum ada tanda-tanda pemilu bakal dimajukan setahun). Pasukan Pengawal Kementerian Pertahanan ia sendiri yang menyeleksi, terdiri atas serdadu-serdadu pilihan, yakni yang pernah tergabung dalam operasi penumpasan Moro dan gerilyawan komunis, di awal sampai pertengahan 1970. Di sini tergabung 100 perwira, yang kemudian menjadi inti RAM. Dan komandan pasukan pengawal itulah Kolonel Honasan. Tak cuma itu. Guna melengkapi pasukan yang dipersiapkan, pada 1984 Enrile mengadakan pembelian di bawah tangan sejumlah senjata antiteroris, senjata guna menyelamatkan sandera, dan senjata untuk melawan pembajak. Antara lain 1.000 senapan mesin Uzi bikinan Israel, senapan yang dilengkapi teropong inframerah. Dan termasuk dalam paket pembelian senjata itu, dua bekas anggota kesatuan SAS Inggris, pasukan khusus yang sangat terkenal. Enrile mendatangkan mereka untuk melatih 30 pasukan pengawal dan perwira intelijen. Memang, mula-mula Honasan dan Kapunan ingin mendatangkan pelatih dari Amerika. Kemudian terpikir oleh mereka, tentara Amerika lebih bergantung pada peralatan modern, sementara tentara Inggris lebih mengandalkan kemampuan tiap orang. Untuk negeri mereka, gaya Inggrislah yang cocok. Adapun Enrile memilih mempersiapkan itu semua dua tahun sebelum pemilu, ada alasan tambahannya. Yakni, setelah politikus lawan Marcos tertembak mati di lapangan udara Manila, 1983, ia memperoleh laporan bahwa giliran berikutnya adalah dia. Kata Kapten Rex Robles staf intelijen Enrile, "Dalam 72 jam kami menemukan orang yang kami duga hendak membunuh Menteri." Ketika secara resmi terbentuk RAM, 1985 Enrile maju selangkah lagi. Menyusul penemuan Komisi Agrava (komisi penyelidik pembunuhan Benigno Aquino), bahwa korban bukan ditembak oleh Galman, seperti tuduhan pemerintah Robles mulai menyebarkan kabar dibutuhkannya satu pemindahan kekuasaan secara damai. Sementara itu, Honasan dan Kapunan yang bergerak secara rahasia menggerilya para militer dan polisi, pentingnya Marcos dan Ver digulingkan, bila perlu dibunuh. Kesatuan rahasia ini dalam geraknya meniru kesatuan teroris. Yaitu terpecah-pecah dalam sel-sel yang tak berhubungan. Itu guna menghindarkan bila ada yang tertangkap. "Sejauh anggota gerakan cuma tahu tugasnya saja, bila ia tertangkap tak akan membahayakan keseluruhan rencana," kata Kolonel Reynaldo Rivera. Sampai di sini, meski ada gerakan militer, semua sepakat untuk menghindarkan kekerasan. Bila terjadi kontak senjata, dikhawatirkan negara jatuh dalam keadaan tanpa kendali. Tapi pada Agustus 1985, Honasan, Kapunan, dan Letkol. (Constabulary) Victor Batac berpendapat bahwa tanpa kekerasan tak akan menyelesaikan apa-apa. Pendapat itu disetujui oleh perwira senior Kolonel Jose T. Almonte. Di luar rencana besar, keempat orang ini menyusun rencana penangkapan Marcos, dan mungkin membunuhnya. Sementara itu, Enrile menyusun gerakan politik. Ia merencanakan penggantian pemerintahan waktu itu menjadi pemerintahan "komite" sipil militer, guna menghindarkan istilah "junta". Dan "komite" akan terdiri atas dia sendiri, Letjen. Ramos, Cory Aquino, Kardinal Sin, Letjen. (Pumawirawan) Rafael Ileto, dua birokrat yang punya nama internasional: Rafael Salas dan Alejandro Melchor, ditambah sejumlah pengusaha, ataa lain Jimmy Ongpin. Semua yakin, rencana Enrile dan Honasan akan lancar berjalan. Diperhitungkan waktu untuk itu semua cukup (yakni sampai pemilu normal, Mei 1987). Tak tahunya, Marcos memang seorang diktator. Ia lemparkan gagasan perlunya pemilu dipercepat setahun. Dan bagaimana bisa gagasan sang diktator gagal? Inilah sumber kekacauan dan kemudian kegagalan rencana kudeta Enrile. Sebab, kemudian kelompok ini lebih banyak merekrut anggota, dan dengan demikian memperbesar kemungkinan rahasia bocor. Rex Robles menggambarkan kesibukan ini waktu itu bak "dalam film Charlie Chaplin, yang semua orang berputar-putar dengan tergesagesa." Tapi "film Charlie Chaplin" segera membuahkan hasil. Gerakan Persatuan Nasional terdiri dari 15 anggota, menjadi inti RAM. Mereka bertugas menyiapkan denah Istana Malacanang, jadwal harian sejumlah staf penting di istana tersebut, jadwal pergantian penjaga di semua pemancar TV dan radio, di pusat tenaga listrik, dan di pusat telepon di Manila. Detail rencana akan diberikan kepada tiap komandan I unit kecil dalam amplop beberapa saat sebelum operasi dimulai. Kapunan bahkan telah menyiapkan pakaian seragam yang dicuri dari gudang perbekalan, yang di bahu baju diberi tanda bendera Filipina terbalik sebagai tanda RAM. "Desember, rencana itu matang sudah," tutur Kapunan. Ada satu soal, para komandan rupanya belum sepakat bagaimana mereka akan memperlakukan Marcos. Menurut Kapunan, "Ada perintah tegas untuk tak membunuhnya. Tapi menangkap dia dan menghadapkannya ke pengadilan." Yang lain merasa harus membunuh dia sedemikian rupa hingga itu merupakan kecelakaan, bukan kesengajaan. Hanya Honasan, yang memang paling keras, yakin bahwa ia harus membunuhnya, dan mungkin dengan sadistis. "Yang perlu dilakukan hanyalah berusaha memisahkan dia, lalu mengamati lari ke mana," katanya. Tentang Ver, tak ada perdebatan. Semua sepakat ia akan dihabisi di rumahnya dengan bm. Sementara itu, Imelda Marcos dan anak-anaknya, juga anak-anak Ver, akan ditangkap saja. Dan bagaimana tentang Ramos? Ketika rakyat Filipina ramai-ramai memprotes kasus Benigno Aquino, di hati para demonstran itu Ramos sebenarnya tetap bersih. Meski bertahun-tahun ia berhubungan dengan Marcos. Maka, posisi dia dalam upaya kudeta ini sangat membahayakan. Beberapa perwira RAM pernah mendekati Ramos. Ketika ditunjukkan rencana besar itu, ia tampak ragu. "Ia mengatakan bahwa kita harus hati-hati dengan semua rencana itu," tutur Kapunan. "la tak ingin terlibat. Ramos memang orangnya complex, ia bersedia mengorbankan apa saja demi keutuhan tanah air. "Sampai di sini sebenamya RAM kecewa terhadap sikap Letjen. (waktu itu) Ramos, Komandan Constabulary. Tapi pihak RAM mengakui, seumpama Ramos di pihak mereka, maka kemungkinan upaya kudeta ini sukses lebih besar. Dua minggu setelah pemilu ketika Manila demikian gawat karena Cory Aquino menganjurkan pemogokan masal, pihak RAM sekali lai mengadakan pendekatan dengan Ramos. Kali ini Kolonel Almonte, yang hampir sebaya dengan Ramos, diutus menemuinya di kantornya, di Kamp Crame. Dan untuk pertama kalinya kepada Ramos diceritakan rencana detail kudeta tersebut. Baru Ramos menyadari bahwa dia dan Enrile diharapkan oleh kelompok ini sebagai pimpinan. "Ia tahu itu, karena di antara kami tak ada yang bertampang jadi pemimpin massa." Sebelum Jose Almonte melangkah keluar dari kantor sang jenderal, kata Ramos, "Joe, apa pun yang kalian lakukan, jaga jangan sampai banyak darah mengalir." Di sisi politisnya, sama halnya dengan kedudukan Ramos dalam usaha kudeta ini, adalah Cory Aquino. Tak bisa disangkal dialah tokoh paling populer saat itu -- selama kampanye, pemilu, dan sesudahnya. Sebuah kudeta tipis berhasilnya tanpa dukungan Cory. Maka, kepada Cory diberikan pula informasi detail. Lima bulan sebelumnya sudah diadakan pertemuan dengan Cory. Tapi sifatnya masih saling tak mau membuka diri. Tak diketahui persis bagaimana tanggapan janda itu, juga tak diketahui seberapa jauh ia tahu tentang rencana tersebut. Sesungguhnya Cory tahu banyak. Dan ia siap bergabung dengan mereka dengan reserve. Sebab, di antara perwira RAM sendiri ada yang setia kepada Enrile, ada yang setia kepada Cory. Pertengahan Desember Kolonel Almonte bertemu dengan Peping Cojuangco, saudara Cory. Lewat dialah informasi disampaikan. Yakni pihak RAM meminta pertolongan Cory agar menggerakkan rakyat sipil di antara pemberontak dan militer yang tetap setia kepada Marcos. "Saya ceritakan kepada Cory bahwa mereka memang menghendaki kudeta. Mereka ingin pertolongan Cory menggerakkan rakyat turun ke jalan di Tarlac, untuk memboikot bila pasukan para mencoba masuk Manila." Cory setuju, ternyata. Empat serangkai -- Honasan, Kapunan, Batac, dan Robles -- ternyata kurang yakin akan misi Almonte. Lewat saudara perempuan Cory mereka berhasil mengadakan pertemuan sendiri, selama dua jam, di minggu pertama Januari, sebulan sebelum pemilu. "Anak-anak" Enrile itu terus terang mengatakan bahwa mereka butuh pertolongan Cory, tapi mereka tak akan mendukung Cory dalam pemilu, karena pemilu mereka anggap tak mencerminkan realitas. Mereka cuma menjanjikan Cory akan ditarik menjadi anggota komite, dan komitelah yang akan menentukan siapa presiden Filipina selanjutnya. Ada terkesan bahwa mereka akan mencalonkan Enrile, sebab inilah kudeta kelompok Enrile. Juga Kardinal Sin dimintai pertolongan menggerakkan massa. Bila para suster ikut, maka tentara Filipina akan sulit menjalankan perintah menembak musuh. Sementara itu, Ting-ting Margarita, istri Peping Cojuangco, bersama Almonte membentuk "brigade bunga", yakni barisan para wanita yang akan mempersembahkan bunga kepada tentara Filipina guna meredakan nafsu amarah mereka -- taktik yang ditiru dari Cekoslovakia ketika diduduki Soviet, 1968-1969. Siap sudah sebuah aksi kudeta yang berusaha menghindarkan mengalirnya darah dengan cara menggunakan "kekuatan rakyat". Lalu kenapa rencana yang telah disusun rapi oleh pihak Enrile tak terlaksana dengan pas? BOKS I Mereka Pemegang Peran PARA pelaku yang terlibat dalam rencana kudeta terhadap Marcos: * Juan Ponce Enrile, kini 62 tahun, tokoh utama, ketika itu Menteri Pertahanan. * Kolonel Gregorio Honasan, kini 39 tahun, ketika itu menjadi komandan kesatuan pengawal Kementerian Pertahanan. Dialah, bersama Letkol (Udara) Eduardo Kapunan, juga seorang pimpinan kesatuan pengawal, memimpin gerakan militernya. * Jenderal Fidel V. Ramos, kini 59 tahun, Kepala Staf AFP (angkatan bersenjata Filipina), ketika itu Komandan Constabulary. * Kolonel Jose T. Almonte, 54 tahun kini, pernah bekerja sama dengan Marcos pada 1970-an. Tokoh inilah yang membantu perwira-perwira muda dengan sejumlah buku tentang politik luar negeri Filipina. Dan dialah yang ditugasi membujuk Ramos agar bergabung dengan mereka. * Letkol (Constabulary) Victor Batac, salah seorang perwira di markas besar Constabulary (semacam Brimob) Kamp Crame, Manila. * Kapten (Angkatan Laut) Rex Robles, salah seorang staf intelijen Enrile. * Kapten Ricardo Morales, Kepala Kesatuan Keamanan Imelda Marcos, yang bersama tiga komandan batalyon infanteri -- Letkol Jake Malajacan, Mayor Ricardo Brillantes, Mayor Saulito Aromin -- tertangkap dan mengungkapkan rencana kudeta Enrile. Sasaran: menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos dan Gubernur Metro Manila Imelda Marcos, dan Jenderal Fabian Ver, Kepala Staf AFP. Catatan, kalau perlu menembak mati mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus