ENTAHLAH apa yang bakal terjadi pada diri Marcos seumpama ia berkeras kepala bertahan di Malacanang, sementara Presiden Ronald Reagan mendesaknya untuk mengungsi. Amerika Serikat memang pasang mata pada pemilu pada Jumat, 7 Februari 1986. Antara lain dikirimkan ke Filipina Senator Lugar. Begitu terdengar pemilu kacau karena dua calon presiden, Ferdinand Marcos dan Cory Aquino, saling menuduh curang lawannya, Menteri Luar Negeri George Shultz segera memanggil pulang Lugar. Dimintanya senator itu melaporkan segala sesuatunya tentang Filipina. Sebenarnya, Lugar merencanakan berlibur ke Indiana. Ia telah mempersiapkan pakaian untuk musim dingin komplet dengan pakaian olah raga untuk jogging di udara beku. Tapi setelah terlibat dengan pemilu Filipina yang kacau, bagaimana ia bisa menghindarkan panggilan Presiden Reagan? Senin tengah malam Lugar mendarat di pangkalan udara Andrews. Ia menolak diwawancarai wartawan yang telah menungguinya di bawah hujan yang begitu dingin. Pukul sepuluh pagi keesokannya, ia telah muncul di Gedung Putih. Bersama Reagan hadir pula penasihat keamanan nasional (waktu itu) John Poindexter kepala staf Reagan dan Shulz. Kepada Reagan, senator itu melaporkan kecurangan yang terjadi. Selama 35 menit Lugar dalam suasana menurut seseorang -- "sangat serius" membeberkan yang ia saksikan. Tapi ia tak memberikan penjelasan lebih jauh. Ia khawatir muncul begitu saja komentar yang tak mempercayainya. Sebagaimana yang dilontarkan golongan konservatif ketika laporan dari kedubes AS di Manila masuk: bahwa kecurangan itu taklah seburuk yang dilaporkan oleh kedutaan dan media massa. Sore hari Reagan membuka konperensi pers. Salah satu pertanyaan adalah tentang kecurangan pemilu di Filipina. Reagan tak bersedia menjawab, "sampai nanti penghitungan suara selesai." Lalu tersebar berita di AS bahwa Presiden Reagan belum mendapat informasi yang jelas dari stafnya. Dan kata majalah Time, itu cuma "sedikit kesalahan." Sebenarnya, tak ada "kesalahan" itu. Pernyataan Reagan adalah pernyataan politik, mencerminkan sikap Gedung Putih terhadap pemilu di Filipina. Sebab, departemen dalam negeri telah tahu bahwa Marcos-lah yang bertanggung jawab atas kecurangan yang terjadi. Tapi sementara itu Gedung Putih bermaksud mempertahankan Marcos. Presiden percaya bahwa kedua belah pihak telah melakukan kecurangan. Ini dia dengar dari istrinya, Nancy Reagan. Dan Nancy mendapat pemberitahuan langsung dari Imelda Marcos. Tapi pihak Aquino tak bisa dipandang remeh. Segera saja orang-orangnya yang berada di New York menghubungi studio TV ABC. Selama 45 menit ajudan Aquino berbincang-bincang dengan penyiar ABC ternama, Peter Jennings. Di situ jelas dituturkan Marcos-lah yang memanipulasi hasil pemilu. Banyak jurnalis Amerika meliput pemilu itu. Dan semuanya saja memberitakan bahwa kecurangan ada di pihak Marcos. Banyak bukti mendukung dugaan itu: foto mayat-mayat juru kampanye Aquino, misalnya. Dan pada hari Reagan mengadakan konperensi pers, enam orang bertopeng membawa senjata membantai Evelio Javier, 43 tahun, salah seorang pimpinan para juru kampanye Cory. Semua surat kabar Amerika memasang berita itu di halaman depan. Upacara penguburan beberapa hari kemudian disiarkan jaringan TV di Amerika. Waktu itu Kongres lagi reses. Tapi para wakil rakyat dan para senator mendapat masukan yang menyebabkan mereka berpikir, sudah saatnya Amerika menendang Marcos. Lugar tahu bahwa di tengah negeri Reagan semangat mendukung Cory Aquino telah tumbuh. Seseorang berkata kepadanya, bahwa selama ini Amerika berdiri di samping seorang lelaki manis yang temyata seorang diktator. Minggu malam, CIA melaporkan bahwa Aquino memenangkan 60% suara. Kedutaan Amerika tercengang. Juga Marcos. "Hasil pemilu itu benar-benar mengguncangkan Marcos," tutur seorang Amerika yang sempat bertemu Marcos. "Ia sama sekali tak siap untuk kalah." Sementara itu, pernyataan-pernyataan Reagan membuat Duta Besar Bosworth mencoba menenangkan stafnya agar tak mengumbar emosi. Lalu ia sendiri berusaha menemui Aquino untuk mengatakan jangan terlalu ambil pusing terhadap pernyataan Presiden -- sebuah misi yang diakuinya kemudian ia lakukan dengan sangat terpaksa, malu, dan berat hati. Dan Filipina tak menunggu Amerika. Jumat seminggu tepat setelah pemilu, Konperensi Para Uskup Filipina menyimpulkan kecurangan Marcos. "Pemerintah yang melakukan kecurangan untuk mempertahankan kekuasaannya adalah tak punya moral." Lewat Berita Sore di siaran CBS, marcos menjawab, "Mereka menggunakan pastor dan suster untuk menghancurkan hasil pemilu.... Kami memiliki foto-foto yang menunjukkan para pastor dan suster mengintimidasi dan memaksa rakyat." Tibalah saat yang tak enak bagi para staf di kedubes AS di Manila. Washington mengutus diplomat ulung Philip C. Habib -- seorang yang ambil bagian penting dalam mengakhiri Perang Vietnam -- ke Filipina. Bagi staf kedubes AS ini merupakan tamparan, karena itu berarti Presiden tak mempercayai laporan mereka. Presiden bahkan, demikian kata dugaan, telah menelan kata-kata mereka yang melaporkan bahwa kedubes AS berdiri di pihak Aquino. Habib tiba di Filipina bertepatan dengan diumumkannya kemenangan Marcos. Tak heran, karena lembaga legislatif dikuasai oleh partai Marcos. Habib lalu menemui Marcos, dan Presiden itu langsung menyodorkan daftar kecurangan pihak Cory. Sementara itu, waktu Habib mau bertemu Cory suasana agak tak enak. Cory dan pihaknya menduga Habib diutus Reagan untuk mendamaikan mereka: Cory dan Marcos. Ternyata, dugaan itu keliru. Misi Habib hanyalah mencari data penghitung hasil pemilu yang benar. Dan tak sepatah pun ia menyarankan jalan damai ketika bertemu dengan pihak Aquino. Akhirnya, pertemuan berjalan lancar dan manis. Sebab, pihak kedubes AS memberi tahu Cory bahwa ia bisa mempercayai Habib. Hasil pertemuan di luar dugaan. Habib, yang telah beberapa kali mengunjungi Filipina tapi baru kali itu bertemu Aquino, sangat terkesan. Ia bukan seorang yang naif, seorang ibu rumah tangga yang sederhana. Sesudah pertemuan itu Habib masih bertemu lagi dengan sekitar 100 orang, dari pimpinan buruh sampai Kardinal Sin. Singkat cerita, akhirnya Habib menyimpulkan tiga hal: "Pertama, masa Marcos habis sudah kedua, Cory memang menang dan ketiga, bantuan Amerika bisa segera dikirimkan." Dan berubahlah sikap Gedung Putih. Meski begitu, tak seorang di Gedung Putih menganjurkan Marcos segera turun. Maka, ketika Kongres meminta agar untuk sementara bantuan persenjataan ke Filipina dihentikan, muncullah seorang Paul Wolfowitz (kini Dubes AS untuk Indonesia). Ia, sebagai asisten Menteri Luar Negeri urusan Asia Tenggara sudah beberapa tahun belakangan menganjurkan dihentikannya bantuan tersebut kepada Filipina. Karena itu, ia mendukung usul Kongres. Benar, di sana ada kecurangan katanya. Tapi Marcos masih berkuasa, sementara pihak Amerika masih harus tawar-menawar dengan dia. Wolfowitz cemas bila Filipina harus menjadi Iran kedua. Sementara itu, gerakan Juan Ponce Enrile mulai tercium pers Amerika. Tapi CIA meramalkan gerakan itu akan gagal. Tampaknya, CIA punya dugaan sebagaimana Ver menduga, bahwa hanya ada RAM dalam gerakan ini. Dan ternyata tidak, massa ikut menjadi penentu, karena massalah tentara di pihak Ver dan Marcos banyak yang kemudian berbalik. Senin pagi waktu AS, Reagan bangun tidur dan mendapat laporan ada perintah dari Malacanang untuk melawan pemberontak. Segera seorang pensiunan CIA yang masih berhubungan baik dengan Jenderal Ver dipanggil. Lewat pensiunan agen itulah dikirimkan pesan agar tak digunakan kekerasan. Marcos masih mencoba menawar. Bisakah Gedung Putih menerima pemerintahan koalisi? "Tidak," jawab Habib. Pukul lima pagi waktu AS, Selasa 25 Februari 1986 telepon untuk Marcos. Pesannya: "Waktu sudah tiba. Segera bersiap." Jawab Marcos setelah lama diam, "Saya begitu kecewa." Pukul sembulan malamnya empat helikopter AS terbang dari lapangan rumput Malacanang. Di dalamnya Marcos dan keluarga. Dubes Bosworth menyaksikan semua itu dari atap gedung kedutaan. Setelah heli lenyap dari pandangan mata, ia menelepon, "Nyonya Presiden . . . ," ya, ia menelepon Corazon Aquino."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini