PARA kudetawan telah menentukan harinya: Minggu, 23 Februari 1986 pukul dua dinihari. Dua atau tiga hari sebelum tanggal tersebut, di Makati, Enrile, ditemani sekretaris dan tiga pengawal militernya, menyusun pidato yang akan disiarkan lewat televisi dan radio di hari "H". Pidato itu singkat. Bahwa Presiden Marcos telah diturunkan dan diganti dengan sebuah komite yang disebut Badan Kerukunan Nasional, yang beranggotakan dia sendiri, Aquino, Ramos, dan Kardinal Sin. Tapi, hampir bersamaan ketika Enrile menulis pidato, Honasan dan Kapunan berkeliling Manila, mengecek segala sesuatunya. Mereka kaget. Di tempat-tempat tertentu bahaya menghadang dengan nyata. Pasukan payung memenuhi sekitar Istana Malacanang. Dan dari dekat Pabrik Penyulingan Filipina di hulu Sungai Pasig sampai Istana, sepanjang sungai pasukan marinir mendirikan kemah, siap bertempur. Padahal, tiga hari sebelumnya sudah disetujui, Kapunan bersama 120 anak buahnya akan menduduki posisi ini guna memancing perhatian pengawal Malacanang. Kini rencana harus diatur kembali. Sabtu pagi Aquino bersama Cojuangco pergi ke Cebu, sekitar 450 km tenggara Manila, dengan pesawat pribadi. Sepanjang perjalanan ke dan dari lapangan udara rakyat menyambutnya, "Cory! Cory!" Baru setibanya di Cebu, di rumah seorang pengusaha kaya raya, Norberto Quisumbing, Cojuangco memberitahukan kepadanya bahwa kudeta akan dilancarkan pada pukul dua dinihari. Langsung dua bersaudara itu membicarakan yang harus mereka lakukan. Ketika itulah telepon berdering. Seorang anggota Majelis Nasional (National Assembly) bernama Antonio Cuenco memberitahukan bahwa sepulang di rumah ia mendapatkan pesan telepon, isinya: "Ponce Enrile telah ditahan oleh Marcos. Ramon Mitra, anggota Majelis Nasional, tertulis dalam daftar nama yang akan ditangkapi." Informasi itu, tentu saja, salah. tapi Cojuangco tetap waspada. "Saya duga ada sesuatu yang salah," katanya. Dan itu benar. Sabtu pagi itu Honasan dan Kapunan tahu sudah bahwa rencana mereka bocor meski mereka belum tahu seberapa jauh yang diketahui oleh pihak Marcos. Pukul sembilan Jenderal Ver mengutus Komandan Metro Manila, Kolonel Rolando Abadilla, untuk menemui Honasan di kantornya di Kementerian Pertahanan di Kamp Aguinaldo. Komandan itu membawa pesan, agar si Gringo tak berbuat hal-hal yang gegabah. "Ia mengingatkan bahwa Ver dan ayahnya adalah dua bersahabat, bahwa anak Ver, Irwin, dan saya juga bersahabat," tutur Honasan. "Saya jawab, Ver bisa memerintahkan saya melapor setiap saat karena dia atasan saya." Di balik kecongkakan Honasan, sebenarnya ia grogi. Begitu Abadilla pergi, ia langsung memanggil Kapunan. Mereka lalu membicarakan yang mereka lihat sebentar malam, dan membicarakan jalan keluamya agar kudeta sukses. Keputusan yang diambil, rencana dibekukan dalam waktu 24 jam. Sesungguhnya telah terjadi sesuatu yang lebih buruk daripada yang mereka duga. Honasan ternyata tak bisa menghubungi keempat perwira yang bertugas menangkap Marcos untuk diberi tahu soal pembekuan itu. Dan Honasan tak tahu bahwa keempatnya telah tertangkap basah. Adalah Kapten Ricardo Morales, kepala keamanan Imelda Marcos, di Kamis sebelumnya secara diam-diam membawa ketiga perwira yang lain meninjau liku-liku jalan menuju kamar tidur Marcos di Istana Malacanang. Ketiga perwira itu adalah para komandan batalyon infanteri: Letkol. Jake Malajacan, Mayor Ricardo Brillantes dan Mayor Saulito Aromin. Hari itu mereka semua tertangkap, dan terpaksa melengkapkan segala sesuatunya. Penangkapan keempat perwira dengan tugas mahapenting itu bisa dirahasiakan sampai saat kudeta seharusnya sudah dilaksanakan. Bahwa sampai ketika itu para pemimpin kudeta belum mafhum, mencerminkan betapa buruk sebenarnya organisasi mereka. Bahkan selama itu tak mereka sadari bahaya yang mengancam di punggung mereka, yang menyebabkan Ver dan Marcos bisa membuat rencana tandingan guna menyongsong kedatangan mereka beberapa minggu sebelumnya. Honasan pada Januari merekrut seorang perwira anggota Komando Keamanan Kepresidenan, Mayor Edgardo Doromal, 35 tahun. Ia ditugasi memata-matai keadaan Istana. Sebenarnya, si mayor enggan, tapi ia tak berterus terang. Dan dalam waktu beberapa hari saja ia jadi gelisah tak keruan. Kemudian Doromal yang penggugup itu lalu malah melaporkan ini semua kepada komandannya, Kolonel Irwin Ver. Segera ia memberi tahu ayahnya, Jenderal Ver. Kepala Staf AFP (angkatan bersenjata Filipina) itu lalu mengubah Doromal menjadi agen ganda. Sejak itu semua langkah pihak Enrile diketahui dengan rapi dan akurat oleh Marcos dan Ver. Yang aneh, Marcos dan Ver tak mengambil tindakan sama sekali terhadap Enrile dan kawan-kawannya. Baru dua hari sebelum hari kudeta, di luar dan di dalam Istana penjagaan diperketat oleh pasukan payung dan marinir. Rencananya, mereka akan membiarkan pasukan Honasan menyerbu masuk, lalu baru diringkus. Sepanjang Sungai Pasig telah dipasangi ranjau. Dan di dalam Istana jebakan-jebakan pun sudah terpasang, termasuk bom-bom di dalam buku. Itu sebuah reaksi yang sangat meremehkan kekuatan pihak Enrile. Sebab, Ver -- berdasarkan informasi yang diperolehnya dari Doromal dan empat perwira yang tertangkap basah itu menduga dalam aksi ini hanya RAM-lah yang terlibat. Ia tak memperhitungkan sama sekali adanya kekuatan rakyat yang juga menjadi bagian dari rencana kudeta. Dengan demikian kedua belah pihak sebenarnya saling menaksir kekuatan musuh dengan sangat keliru. Baru beberapa jam sebelum saat yang sudah ditentukan pihak Enrile mengetahui bahwa sesuatu telah terjadi. Sabtu pagi Enrile, seperti biasanya, minum kopi dan ngobrol bersama para politikus, wartawan, dan sejumlah pengusaha yang tergabung dalam yang disebut 365 Club. Hampir tiap hari mereka bertemu di kedai kopi di Makati. Kali itu para wartawan menanyakan kabar bahwa Enrile akan mengundurkan diri pada Senin esok. Belum sempat menjawab, telepon berdering untuk Enrile. Di seberang berbicara Menteri Perdagangan dan Industri Roberto Ongpin. Ia memberitahukan bahwa para pengawal pribadinya telah ditangkapi malam sebelumnya karena dituduh "menggunakan senjata dengan sembrono". Enrile segera menelepon kantornya, ternyata informasi itu benar. Ketika Enrile sedang makan siang dengan istrinya, tiba-tiba muncul Honasan, Kapunan, dan Mayor Hong. Mereka memberitahukan bahwa semua rencana kudeta dibekukan selama 24 jam. Mereka tak mungkin bisa memasuki Malacanang, karena mereka akan masuk perangkap. Sementara itu, mereka juga tak bisa apa-apa, karena mendapat informasi bahwa Ver memerintahkan menangkap, bahkan membunuh, mereka, juga Enrile dan Ramos, dan siapa saja yang punya hubungan dengan RAM dan Aquino. Yang sesungguhnya terjadi, tak ada perintah penangkapan dari Ver. Kala itu bersama Imelda Marcos, jenderal tersebut menghadiri resepsi pernikahan di pangkalan udara Villamore. Tapi Enrile telah mengambil keputusan. Atau mereka menghilang secara cerai-berai, atau berkumpul. Bila berkumpul, kemungkinan pecah pertempuran sangat besar. Dan bila mereka kalah, akan habis. Bila menang, bisa jadi sebagian masih hidup. "Saya putuskan kita berkumpul," kata Enrile. Lalu menhan itu memerintahkan agar semuanya bertemu di markasnya, di Kamp Aguinaldo di Quezon City. Enrile tahu benar, tindakan militer akan mengalami kegagalan. Rakyat Filipina, sebagaimana Amerika, percaya, sekali negara jatuh di tangan militer, segera negara itu akan jadi seperti negeri pisang: sebentar-sebentar ada kudeta. Karena itu, memobilisasi gerakan massa sangat diperlukan. Ia melangkah ke kamarnya, memgenakan jeans, sepatu kanvas, lalu mengambil senapan Uzi dari almari, senapan yang ia beli bersama senjata-senjata lain dari London. Ketika itu Letjfen. Ramos sedang berbincang-bincang dengan sejumlah wanita pendukung Cory di rumahnya. Mereka tetangga Ramos. Ketika itu Nyonya Ramos menerima telepon yang mengatakan bahwa Menhan Enrile ditahan. Jawab Ramos menurut sebuah sumber, "Mungkin akulah berikutnya. Tapi aku ingin menghadiri pertemuan ini dulu." Tiba-tiba telepon berdering lagi, kali ini dari Enrile. "Eddie, kami akan segera berkeliling, apakah kau akan serta?" kata Menhan dengan suara tegang. Ramos, seorang profesional, segera memperingatkan agar tak usah banyak bicara di telepon. Lalu katanya, "Aku akan bersama kalian." Ramos sampai di Aguinaldo pukul 6.00 sore, ketika Enrile berhasil meyakinkan komandan polisi militer penjaga Aguinaldo untuk tetap bersikap netral. Karena itu, dua helikopter mendarat dengan selamat di kamp tersebut membawa senjata dan makanan. Mula-mula di situ bergabung 200 anggota RAM. Menjelang tengah malam jumlah itu berlipat dua -- cukup untuk memperlambat masuknya serbuan ribuan tentara Ver, beserta serangan udara, tank, helikopter yang mereka duga bakal segera muncul. * * * Akhirnya, sejarah mencatat, pasukan marinir yang dikomando untuk menyerbu Aguinaldo dan Kamp Crame, markas Constabulary, kepolisian, tak berdaya menghadapi gerakan massa sipil. Mereka mengelilingi kedua kamp, bahkan membantu mengirimkan makanan untuk mereka yang berlindung di dalamnya. Suster, pelajar, mahasiswa, pedagang, semua lapisan massa bahkan kemudian menuju Malacanang. Yang terjadi pada Marcos dan keluarganya sudah diketahui, mereka kabur dan menetap di Hawaii sampai kini. Tapi bagaimana itu bisa terjadi? Siapa menolong mereka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini