Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELARIK pesan pendek meluncur dari nomor telepon salah satu pemimpin Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat. Isinya singkat: "Di Hilton 1301 sedang terjadi money politics untuk DGS BI mendukung satu calon tertentu."
Kepada wartawan Tempo, empat tahun lalu, sumber itu mengatakan pertemuan di salah satu kamar Hotel Hilton-sekarang Hotel Sultan-tersebut merupakan penggalangan dukungan bagi salah satu kandidat Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Ketika itu, masa tugas deputi gubernur senior bank sentral, Anwar Nasution, hanya tinggal dua bulan. Presiden Megawati Soekarnoputri telah mengajukan tiga calon pengganti ke Dewan: Miranda Swaray Goeltom, Hartadi Agus Sarwono, dan S. Budi Rochadi. Beberapa pekan sebelum uji kelayakan dan kepatutan bagi ketiga kandidat di Komisi Keuangan, kasak-kusuk itu merebak di Senayan.
Sumber Tempo di salah satu partai Islam menuturkan, Gubernur Bank Indonesia saat itu, Burhanuddin Abdullah, turun tangan membantu jagoannya melobi para pemimpin partai. "Dia mempromosikan kebaikan Budi Rochadi," katanya. Seorang petinggi partai besar bahkan secara tersirat menjanjikan fulus bila dia bersedia mendukung jagoan mereka.
Selain dua fraksi terbesar, PDI Perjuangan dan Partai Golkar, partai-partai memang belum menentukan sikap. "Yang pasti bukan Miranda Goeltom," kata Daniel Tanjung, mantan anggota Komisi Keuangan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, pekan lalu. Menurut Ketua Kelompok Fraksi Partai Ka'bah, Faisal Baasir, mereka membebaskan anggota partai menentukan sikap. Syarat yang diajukan untuk para kandidat adalah amanah dan bermoral.
Walaupun didukung Burhanuddin, Budi Rochadi sebenarnya kalah angin dibanding Miranda. Partai Golkar, yang punya 15 anggota di Komisi Keuangan, sudah terang-terangan mendukung Miranda. Jauh-jauh hari, bos Partai Beringin, Akbar Tandjung, telah melempar sinyal dukungan bagi fashionista Miranda.
"Kalau dilihat dari pengalaman berkecimpung di Bank Indonesia, Miranda Goeltom pilihannya," kata Akbar. Pilihan Golkar ini sebenarnya agak berseberangan dengan sikap mereka saat pemilihan BI-1. Ketika itu, mereka memilih Burhanuddin.
Namun pilar utama dukungan bagi Miranda adalah PDI Perjuangan. Setelah Mei 2003 gagal mengegolkan Miranda ke tampuk Gubernur Bank Indonesia, Partai Banteng tidak mau gagal lagi merebut posisi kedua. Dukungan bagi Miranda sudah bulat. Apabila benar-benar solid, gabungan Golkar dengan PDI Perjuangan sudah melampaui setengah suara di Komisi Keuangan.
Agus Condro Prayitno, mantan anggota Komisi Keuangan dari PDI Perjuangan, mengatakan alasan memilih Miranda waktu itu didasari pertimbangan rasional. Menurut Fraksi Banteng, Miranda punya pengetahuan moneter mendalam dan pengalaman berderet di pemerintahan.
Di bank sentral, dia juga pernah menjadi deputi gubernur. Dibanding Budi Rochadi dan Hartadi Sarwono yang berkutat di Bank Indonesia, "jam terbang" Miranda tampak lebih mengesankan. Bahwa kemudian dijanjikan "bonus" bagi pendukungnya, kata Agus, "Barangkali Miranda agak kurang percaya diri."
Bonus bagi anggota Komisi Keuangan dari PDI Perjuangan itu disebut-sebut disampaikan Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo sebelum uji kelayakan. Dalam rapat fraksi, menurut Agus, Tjahjo semula mengatakan setiap orang akan mendapat jatah Rp 300 juta. "Tapi, kalau kita minta Rp 500 juta, juga akan dikasih," kata Agus pekan lalu mengutip Tjahjo. "Lalu ada yang nyeletuk, kenapa tidak minta Rp 500 juta saja."
Pertengahan Agustus kemarin, Agus mengatakan menerima uang panas Rp 500 juta. Dia juga menyebut beberapa nama dari Partai Banteng yang turut menikmati angpau dari Miranda. Abdul Hakam Naja dari Fraksi Reformasi juga mengaku sempat dirayu dan ditawari duit oleh utusan Miranda. Kendati mengakui memerintahkan anak buahnya memilih Miranda, Tjahjo berulang kali membantah soal bagi-bagi duit tersebut.
Kabar panas soal bagi-bagi angpau bagi anggota Komisi Keuangan sebenarnya sudah berembus kencang sebelum pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia empat tahun silam. Saat itu, Ketua Komisi Keuangan dari Fraksi PDI Perjuangan, Emir Moeis, menepis isu bagi-bagi duit tersebut.
"Isu money politics itu sudah biasa. Kami di Komisi IX sudah kenyang," katanya. Kendati demikian, dia tidak sepenuhnya yakin komisinya bebas dari politik uang. "Selama ini, di depan mata saya, tidak pernah ada money politics. Tapi enggak tahu di belakang saya. Mata saya kan cuma dua."
Menurut gosip paling panas, angpau tersebut bersumber dari para sponsor kandidat yang berharap hal itu akan memuluskan jalan membeli saham Bank Permata. Seleksi deputi gubernur senior waktu itu memang berbarengan dengan rencana pemerintah melepas 51 persen sahamnya di Bank Permata. Ketika dibuka penawaran, ada 10 konsorsium bank yang berminat membeli Permata. Di antaranya konsorsium Bank Artha Graha-Wachovia, konsorsium Bank Mandiri-Buana, Standard Chartered Bank-Astra International, dan konsorsium Maybank Malaysia.
Agus tidak yakin pemilihan Miranda terkait dengan penjualan Bank Permata. "Menurut saya, tidak ada hubungannya," ujarnya. Bank Artha Graha, yang sempat disebut-sebut mensponsori Miranda, pun ternyata belakangan malah menarik diri dari penawaran Permata. Yang kemudian menjadi penguasa Bank Permata adalah konsorsium Standard Chartered-Astra.
Pada akhirnya, ibarat lakon panggung, baru adegan pertama dibuka, akhir cerita sudah bisa ditebak. Miranda melenggang ke kursi kedua di Kebon Sirih, kantor bank sentral. Fraksi Reformasi, yang begitu bersemangat menghadang Miranda, tak kuasa menghalangi laju doktor ekonomi dari Boston University itu.
Pada 8 Juni 2004 malam, saat voting digelar, suara yang dia dapat jauh di atas Budi Rochadi dan Hartadi Sarwono. Dari 56 anggota Komisi Keuangan, 41 orang mencoblos Miranda. Hanya 12 orang di kubu Budi Rochadi dan hanya satu suara bagi Hartadi. Agus menduga 13 suara yang tidak memilih Miranda berasal dari Fraksi Reformasi, Fraksi Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Daulat Ummat. Dua orang, Rizal Djalil dari Fraksi Reformasi dan M.S. Hidayat dari Golkar, tak nongol saat pemungutan suara.
Sapto Pradityo, Rina Widiastuti
Komposisi Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat
(Periode 1999-2004)
17 | Fraksi PDI-P |
15 | Fraksi Partai Golkar |
7 | Fraksi Partai Persatuan Pembangunan |
5 | Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa |
5 | Fraksi Reformasi |
4 | Fraksi TNI/Polri |
1 | Fraksi Partai Daulat Ummat |
1 | Fraksi Partai Bulan Bintang |
1 | Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia |
  | Total anggota 56 orang |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo