Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Agus Condro Prayitno berpikiran ”tradisional”: di kepalanya cek pelawat hanya bisa dicairkan di bank penerbitnya. Ketika ia menerima 10 lembar cek senilai Rp 500 juta terbitan Bank Internasional Indonesia pada pertengahan 2004, politikus 47 tahun ini pun bergegas ke bank yang sama.
”Kalau ceknya dari Bank Mandiri, saya pasti tukar di Mandiri juga. Begitu juga kalau saya terima cek dari Bank Lippo,” ujar Agus. Ketika itu ia anggota Komisi IX Dewan yang membidangi masalah keuangan dan perbankan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Agus Condro mengaku menerima 10 lembar cek pada Juni 2004, dua pekan setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia di Komisi Perbankan Dewan. Dalam pemilihan itu, Miranda Swaray Goeltom, 59 tahun, menang mutlak. Agus yakin, cek Rp 500 juta yang diterimanya merupakan imbalan dari kubu pendukung Miranda yang dimotori rekan-rekan fraksinya.
Pencairan pertama dilakukan pada 9 Juni 2004 di kantor cabang BII dekat Ratu Plaza, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Duit dari pencairan empat lembar cek ini dipakai untuk membayar sedan Mercedes-Benz esok harinya. Setelah transaksi mobil, ia langsung pulang kampung ke Batang, Jawa Tengah.
Pada 11 Juni, Agus ditemani istri dan sopirnya mencairkan enam cek yang lain di BII Pekalongan, Jawa Tengah, seperempat jam dari Batang. Untuk menampung duitnya, ia membuka dua rekening di bank yang sama. Satu rekening atas nama dia, dan yang lain istrinya. Ia masih ingat, bank memberinya suvenir boneka kecil sebagai nasabah baru. Duit Rp 50 juta ia masukkan ke rekeningnya, dan sisanya ke rekening sang istri. ”Agar tidak cepat habis,” ia memberi alasan.
Buku tabungan dari BII Pekalongan itulah yang diserahkan Agus ke Komisi Pemberantasan Korupsi, awal September lalu. Ia mengatakan tak pernah menambah saldo di rekening itu, sehingga ”habis tergerus biaya-biaya administrasi”. Menerima bukti ini, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan melacaknya. Walhasil, jejak masa lalu cek bisa ditelusuri: dari nomor seri dan kantor cabang penerbitnya.
Pada Selasa pekan lalu, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein mengatakan bahwa lembaganya menemukan lebih dari 400 lembar cek pelawat yang diberikan kepada Komisi Perbankan Dewan periode 1999-2004. Setiap cek bernilai Rp 50 juta dan dicairkan beberapa pekan setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Menurut Yunus, cek itu sudah dicairkan oleh para penerimanya sehingga masuk sistem perbankan dan mudah dilacak. ”Jumlah yang diterima setiap anggota berbeda-beda, tergantung posisinya. Yang paling kecil Rp 500 juta,” ia menjelaskan.
Menurut seorang penyelidik skandal ini, jumlah cek yang diduga berkaitan dengan pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia sekitar 460 lembar. Dengan nilai Rp 50 juta per lembar, total nilai cek yang dicurigai berjumlah Rp 23 miliar.
Tak semua penerima mencairkan sendiri ceknya. Sebagian besar cek diuangkan sopir atau orang-orang dekat. Beberapa cek bahkan dicairkan orang yang dikenal sebagai ”calo”. ”Ada nama-nama aneh yang masuk,” ujar sumber Tempo.
Pada 2004, ketika Miranda menang dalam pemilihan, Komisi Perbankan dipimpin Emir Moeis dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ia didampingi wakil ketua Paskah Suzetta (Partai Golkar), Faisal Baasir (Partai Persatuan Pembangunan), dan Ali Masykur Musa (Partai Kebangkitan Bangsa) sebagai wakil ketua.
Ada 17 anggota Fraksi PDIP, 15 dari Fraksi Partai Golkar, tujuh dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, enam dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, empat Fraksi Reformasi, empat Fraksi TNI/Polri, serta masing-masing satu dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, Fraksi Partai Bulan Bintang, dan Fraksi Partai Daulatul Ummat. Suara Miranda ketika itu diperkirakan berasal dari dua partai terbesar.
Bisa jadi kesaksian kongkalikong dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior akan bertambah. Pekan lalu beredar kabar bahwa Budiningsih, juga anggota Dewan periode 1999-2004 dari PDIP, akan segera memberikan pengakuan ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia disebut-sebut sedang mengumpulkan dana untuk mengembalikan uang yang dulu diterimanya.
Sayang, ketua Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Solo itu tak bersedia ditemui untuk dimintai konfirmasi. ”Maaf, saya tidak bisa, nuwun,” ia mengirim pesan singkat melalui telepon seluler. Seorang pekerja di rumahnya di kawasan Baturono, Solo, Jawa Tengah, mengatakan bosnya sedang tidur.
UNTUK merunut perjalanan cek, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi langsung meminta catatan bank penerbit. Pelacakan dilakukan dengan melihat nomor seri yang urut dan dicairkan pada hari-hari yang disebutkan Agus Condro. Dari catatan itu, dilakukan analisis finansial untuk melacak sumber dana.
Tak mudah mengaitkan skandal ini dengan Miranda. Seorang penyelidik mengatakan, kasus ini lebih rumit daripada skandal penggelontoran Rp 31,5 miliar dari Bank Indonesia ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 2003, yang menyeret gubernur bank sentral Burhanuddin Abdullah ke meja hijau.
Skandal Rp 31,5 miliar itu lebih jelas karena uangnya keluar dari kas Bank Indonesia. Sedangkan dana sponsor pemilihan Deputi Gubernur Senior, walau berhubungan dengan Bank Indonesia, tak berasal dari bank sentral.
Penyelidik kini memusatkan kemungkinan adanya kaitan Miranda dengan sebuah bank yang pada 2004 dilanda masalah Kavling Serasi. Ini adalah produk properti yang menyerupai surat utang dengan aset jaminan berupa kaveling di kompleks real estate Lippo Karawaci, Tangerang, Banten. Produk ini diperjual-belikan di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, terutama oleh karyawan LippoBank.
Dengan bunga 10-12 persen per tahun—lebih tinggi dari rata-rata bunga deposito saat itu—tak aneh jika produk ini laku keras. Produk Serasi mulai disorot ketika pada Januari 2005 menuai masalah. Puluhan nasabah di Kebumen, Jawa Tengah, tak bisa mencairkan setoran pokoknya. Singkat kata, pengelola Serasi yang mengumpulkan dana publik kemudian dianggap menjalankan bank gelap.
Pada 22 Juni 2005, petinggi Bank Indonesia mengundang belasan ahli hukum, analis perbankan, dan pelaku pasar modal untuk membahas kasus Serasi. Sepanjang rapat, Miranda terus menangkis pendapat yang menuduh Kavling Serasi sebagai praktek penipuan perbankan. Sikap bank sentral pun melunak: meski sempat menurunkan tim pemeriksa, mereka menutup kasus ini. Tak urung, sikap Miranda menyulut rumor tentang kedekatannya dengan Grup Lippo. Kepada Tempo beberapa pekan lalu, juru bicara Lippo Karawaci, Danang Kemayan Jati, menyangkal sikap lunak Bank Indonesia terhadap Kavling Serasi disebabkan oleh kedekatan Miranda-Lippo. ”Itu tuduhan ngawur,” katanya (Tempo, 1-7 September 2008).
Menurut sumber lainnya, beberapa orang yang dikenal dekat dengan Grup Lippo berperan aktif ketika Miranda bersaing dengan Burhanuddin Abdullah dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat pada 2003. Orang-orang inilah yang juga menggalang dukungan untuk Miranda, setahun kemudian. ”Mereka saweran dengan beberapa kelompok lain,” ujarnya.
Peserta ”saweran” lainnya adalah bekas pemilik sebuah bank yang dibekukan pemerintah menjelang akhir rezim Orde Baru. Menurut seorang yang mengetahui masalah ini, mereka berkepentingan agar beberapa catatan kelam yang masih tersimpan di bank sentral tetap aman. Tak hanya ke Bank Indonesia, kelompok ini juga menggarap lobi ke lembaga-lembaga lain.
Sejumlah orang dekat pemilik bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia itu membantah tuduhan. Adapun Miranda berkukuh tak mau berkomentar.
Pelicin untuk memuluskan pencalonan di Dewan Perwakilan Rakyat memang sudah menjadi kelaziman. Menurut Yunus Husein, biasanya ada tiga sumber modal untuk melobi anggota Dewan dalam proses pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia. Pertama dari sang calon. Kedua, pihak yang dijanjikan kebijakan tertentu bila sang calon terpilih. Yang terakhir, dana berasal dari sponsor kalangan swasta yang bergerak di sektor finansial. ”Yang banyak terjadi biasanya ada pihak yang mensponsori pencalonan,” ujarnya.
Para politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang pernah disebut Agus Condro menerima dana ini ramai-ramai membantah. Ketua Fraksi Tjahjo Kumolo menegaskan, fraksinya tak pernah menerima cek pelawat untuk mengegolkan Miranda, empat tahun silam. Namun ia mengatakan menyerahkan soal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Politikus Panda Nababan menolak mengomentari temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. ”Sudah di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi, tanya saja ke sana,” katanya. Adapun Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antazari Azhar berjanji segera menyelidiki temuan Pusat Pelaporan itu.
Budi Setyarso, Agus Suprianto, Rina Widiastuti, Sahala Lumbanraja, Ahmad Rafiq (Solo)
Hikayat Cek Pelawat Itu
4 Juli 2008
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Agus Condro Prayitno, kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan pernah menerima cek pelawat yang diduga terkait dengan pencalonan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
20 Agustus 2008
Agus menggelar jumpa pers di Dewan Perwakilan Rakyat soal pengakuannya itu.
21 Agustus 2008
Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais menyatakan bahwa anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI dari Partai Amanat Nasional, Hakam Naja, pernah ditawari uang Rp 500 juta oleh utusan Miranda Goeltom. Kepada pers, Hakam Naja membenarkan cerita Amien Rais tersebut.
26 Agustus 2008
Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Agus Condro menyampaikan skenario PDIP dalam memenangkan Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Salah satunya soal pertemuan di Hotel Dharmawangsa yang dihadiri politikus PDIP, Panda Nababan.
27 Agustus 2008
Panda Nababan membantah pengakuan Agus Condro. Menurut Panda, ketika itu ia belum bergabung dengan Komisi Keuangan.
29 Agustus 2008
Tjahjo Kumolo mengakui adanya pertemuan yang berisi pengarahan agar fraksinya memilih Miranda seperti yang diungkapkan Agus. Tapi, menurut dia, ia tidak pernah menjanjikan uang kepada kawan-kawannya. Ia juga membantah jika dikatakan menerima upeti dari Miranda.
2 September 2008
Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, Agus Condro Prayitno menyerahkan fotokopi kuitansi pembelian mobil yang dibelinya dari upeti Rp 500 juta. Ia juga menyerahkan buku tabungan.
3 September 2008
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar mengatakan sudah melacak aliran dana Agus Condro dan kawan-kawan.
9 September 2008
Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein mengatakan menemukan 400 lembar cek pelawat yang terkait dengan dugaan skandal suap Bank Indonesia. Semua cek sudah diserahkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo