Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIDAKNYA ada empat hal yang membuat kita prihatin atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus gugatan Asian Agri Group terhadap majalah Tempo. Media ini dituntut karena menulis dugaan penggelapan pajak Rp 1,3 triliun oleh kelompok usaha milik taipan Sukanto Tanoto itu. Selasa pekan lalu, pengadilan menyatakan Tempo bersalah.
Keprihatinan pertama, dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan pers tak boleh memberitakan sebuah kejahatan jika belum berkekuatan hukum tetap. Jika itu dilakukan, media dianggap melakukan trial by the press.
Argumentasi itu sangat berbahaya. Kerja jurnalistik, terutama jurnalisme investigatif, justru harus dilakukan secepat mungkin untuk melindungi publik. Investigasi tentang susu tercemar, misalnya, harus dibuat sebelum produsen susu dinyatakan bersalah oleh pengadilan tingkat akhir—proses yang memakan waktu panjang. Menunggu vonis jatuh dan baru memberitakan niscaya membuat korban berderet-deret.
Bila media hanya boleh memberitakan terorisme setelah pelakunya divonis Mahkamah Agung, publik tak akan mendapat informasi tentang kegiatan teroris, termasuk aksi bom di berbagai tempat. Sangat aneh majelis hakim tak mempertimbangkan bahaya yang akan muncul. Jika logika hakim itu dipakai, tak pernah ada berita tentang kegiatan teroris Dr Azahari dan Noordin Top. Jangankan divonis, Noordin belum tertangkap dan Azahari ditembak petugas sebelum sempat diperiksa.
Kedua, majelis hakim menyatakan Tempo telah mencemarkan nama baik Sukanto Tanoto, meski dalam berkas tuntutan jelas tertulis sang penggugat adalah Asian Agri. Personifikasi ini sulit diterima akal sehat. Tempo tidak menulis pribadi Sukanto, melainkan dugaan patgulipat pajak yang dilakukan perusahaannya. Bisa diterka, personifikasi itu dilakukan agar pasal pencemaran nama baik bisa dipakai untuk membungkam.
Ketiga, majelis menyatakan terdakwa melanggar Kode Etik Jurnalistik karena baru setahun memuat hak jawab Asian Agri dan itu pun dilakukan setelah gugatan didaftarkan di pengadilan. Majelis telah sesat mengutip fakta. Pengacara Asian Agri baru mengirimkan hak jawab sebelas bulan setelah tulisan dipublikasikan. Majalah ini memuat hak jawab itu, walaupun masa kedaluwarsa hak jawab yang ditetapkan Dewan Pers, yaitu dua bulan, telah lewat. Keberatan pengacara Asian Agri bahwa hak jawab itu diedit sebelum dimuat juga tak beralasan. Kode Etik Jurnalistik mengizinkan media menyuntingnya tanpa menghilangkan substansi masalah.
Keempat, majelis tidak mempertimbangkan potensi kerugian negara akibat penyimpangan pajak itu, dengan dalih penyidikan belum selesai. Padahal saksi dari Komisi Pemberantasan Korupsi dan Direktorat Pajak di persidangan jelas mengatakan terjadinya penyimpangan dan kerugian itu.
Putusan majelis hakim dengan ketua Panusunan Harahap mengukuhkan supremasi Asian Agri di pengadilan. Sebelumnya, kelompok usaha itu juga menang atas Koran Tempo, yang menulis soal pembalakan liar dan Riau Andalan Pulp and Paper. Di pengadilan yang lain, Agri juga mengalahkan Direktorat Jenderal Pajak dan memenjarakan Vincentius Amin Sutanto, bekas karyawan Sukanto Tanoto yang menjadi pembocor kasus ini.
Putusan dengan fakta salah dan pertimbangan janggal ini harus dieksaminasi oleh Komisi Yudisial. Pengadilan banding kelak diharapkan menganulir putusan yang bisa mematikan kerja jurnalistik pers Indonesia—tak hanya majalah Tempo.
Di alam demokratis ini, menyumpal mulut pers adalah sebuah tragedi—apalagi karena berupaya mengungkap dugaan penilapan pajak untuk negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo