Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan Terjal Memutus Kekerasan

RANCANGAN Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual kembali masuk program legislasi nasional prioritas pada 23 Maret lalu. Ini merupakan buah kerja keras para pegiat perempuan yang tak kenal lelah mewujudkan aturan perlindungan bagi perempuan dari kekerasan seksual. Namun perjuangan masih jauh dari selesai. Sejak diusulkan pertama kali oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 2012, rancangan aturan itu tak kunjung disahkan. Sempat masuk program legislasi nasional pada 2016, RUU ini terpental tahun lalu. Para pegiat perempuan menempuh jalan berliku untuk meyakinkan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah agar rancangan aturan tersebut segera dibahas dan disahkan. 

24 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi solidaritas yang dilakukan oleh massa yang tergabung ke dalam Gerakan Perempuan Anti Kekerasan untuk korban kekerasan seksual di beberapa kampus di Indonesia, di depan kantor Kemendikbud Jakarta, Februari 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUSI Peilouw gemas ketika mendengar berita bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual kembali terpental dari program legislasi nasional (prolegnas) prioritas Dewan Perwakilan Rakyat pada Juli 2020. Direktur Yayasan INAATA Mutiara Maluku, yang berfokus memenuhi hak perempuan dan anak, itu tak habis pikir karena DPR mencoret rancangan aturan tersebut dengan alasan pembahasan judul dan definisi kekerasan seksual yang alot. “Padahal korban kekerasan seksual sudah menunggu ada aturan yang lebih berpihak kepada mereka,” kata Lusi, Selasa, 20 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lusi dan kawan-kawannya sesama aktivis perempuan dari berbagai daerah berembuk mengenai masalah ini. Mereka bersepakat lebih menggencarkan lobi agar para anggota Dewan lebih memahami masalah penanganan korban kekerasan seksual. Para aktivis bertugas mendekati anggota DPR yang berasal dari daerah yang sama. “Kebetulan ada anggota Badan Legislasi DPR dari Maluku,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Massa dari Aliansi Masyarakat Tolak Kekerasan Seksual berjalan menuju gedung Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menuntut RUU penghapusan kekerasan seksual menjadi Prolegnas Prioritas 2016 di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Desember 2015. TEMPO/Subekti

Ia mengatur strategi untuk mendekati anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Gerindra Hendrik Lewerissa, Agustus tahun lalu. Bersama empat remaja putri, Lusi menyambangi rumah Hendrik di Ambon. Para nona itu adalah korban perdagangan manusia. Mereka awalnya dijanjikan pekerjaan, tapi nyatanya dikirim ke tempat karaoke untuk menemani para pria hidung belang. Lusi juga memaparkan data kasus kekerasan seksual yang jumlahnya terus meningkat di Maluku.

Hendrik, yang selama ini melihat kasus kekerasan seksual hanya sebatas angka kejadian, masygul mendengar penuturan langsung dari para remaja usia sekolah menengah atas tersebut. Ia baru benar-benar menyadari bahwa kejadian semacam itu akan menghancurkan masa depan seorang manusia. Hendrik pun bertekad mengawal rancangan undang-undang itu dan mendorong fraksi lain agar pembahasannya dipercepat. “Saya memfasilitasi Komnas Perempuan untuk bertemu dengan Badan Legislasi, Januari lalu,” tuturnya.

Lusi tak sendirian. Di Jakarta, Nur Rofiah mengisi waktu luangnya dengan menggelar kelas Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) yang ia promosikan lewat media sosial. Semua orang bisa mengikuti kajian tersebut, dari mahasiswa, dosen, karyawan, aktivis, ibu rumah tangga, sampai suami. Dosen pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta Selatan, tersebut biasa membuka kelas dengan kuis.

Rofiah menceritakan seorang pengusaha yang sedang berbisnis ke luar kota. Pengusaha tersebut menginap di sebuah hotel dan tidur dengan istri kawannya. Pertanyaan Rofiah: apa hubungan kedua orang itu? Sebagian peserta menjawab mereka berselingkuh. “Padahal saya belum menyebutkan jenis kelamin pengusaha tersebut, lho. Dia perempuan,” ucap Rofiah. “Kenapa kalian berpikir bahwa pengusaha itu laki-laki?”

Mendengar ucapan Rofiah itu, para peserta yang mengira mereka berselingkuh tertunduk malu. Rofiah lalu menjelaskan bahwa sangkaan selingkuh dari para peserta kajian itu berawal dari konstruksi gender di masyarakat yang memandang perempuan sebagai warga kelas dua. Karena itu, “pengusaha” yang dianggap memiliki sifat unggul, seperti berdaya dan pintar, diprasangkai sebagai sosok laki-laki. Menginap bersama pun langsung diasumsikan sebagai hubungan seksual. Jadi, kata dia, secara tak langsung, perempuan sudah diadili secara sepihak sejak dalam pikiran.

Ia lalu menjelaskan dengan tertib bagaimana “susahnya” menjadi perempuan secara biologis dan sosial, termasuk diskriminasi yang mereka alami. Rofiah membandingkannya dengan ajaran Nabi Muhammad, yang justru ingin memanusiakan perempuan. Selain di Ngaji KGI, Rofiah membawa pelajaran ini ke ruang kelas di PTIQ, yang kebanyakan mahasiswanya laki-laki. “Banyak mahasiswa saya yang malu karena masih merasa abai terhadap situasi yang dialami perempuan,” ujarnya.

Lusi Peilouw (depan, kedua kiri) bersama aktivis perempuan Maluku menemui Hendrik Lewerissa (depan,kedua kanan) selaku anggota Badan Legislasi DPR RI untuk menyerahkan petisi yang terkait RUU Penghapusan Kkerasan Seksual, di Ambon, Maluku, Agustus 2020. Dok. Pribadi

Lusi dan Rofiah mendekati kelompok masyarakat berbeda, dengan membawa kisah yang tak sama. Namun mereka punya tujuan serupa: mencegah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan memperbaiki penanganan kasus kekerasan yang dialami kaumnya. Lusi dan Rofiah hanyalah bagian kecil dari wajah para perempuan yang tidak kenal lelah memperjuangkan cita-cita mulia tersebut.

Jumlah perempuan yang mengalami kekerasan terus bertambah setiap waktu. Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2020, ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang 2019, naik sekitar 6 persen dari tahun sebelumnya (406.178 kasus). Adapun pada 2017, jumlahnya 348.466 kasus.

Namun, seperti kata Hendrik, jangan melihatnya hanya sebagai angka. Bilangan-bilangan itu harus dipahami dengan kacamata penderitaan yang dialami korban. Dari situ kita akan sepakat bahwa tak seorang pun layak menjadi korban kekerasan seksual.

Aturan hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan seksual digagas melalui Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diusulkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan sejak 2012. Mereka menyusun rancangan itu bersama banyak pakar hukum dan pendamping yang memahami kondisi di lapangan.

Para pegiat perempuan menempuh jalan berliku untuk meyakinkan DPR dan pemerintah agar aturan tersebut segera dibahas dan disahkan. Dewan dan pemerintah akhirnya bersepakat pada 2016. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk pertama kalinya masuk program legislasi nasional prioritas. 

Namun para aktivis perempuan belum bisa bernapas lega. Pembahasan rancangan aturan ini di DPR jalan di tempat, bahkan terpental dari prolegnas prioritas pada pertengahan 2020. Tak semua fraksi di DPR sepakat mengenai rancangan aturan ini. Salah satunya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Ketua Fraksi PKS di DPR, Jazuli Juwaini, menyebutkan ada potensi pertentangan materi rancangan aturan ini dengan Pancasila dan agama. “Definisi hingga cakupan tindak pidana kekerasan seksual berperspektif liberal,” tutur Jazuli, 7 Februari 2019.

Para aktivis perempuan di daerah melakukan upaya serupa agar lingkungan mereka memiliki aturan yang lebih berpihak pada korban kekerasan seksual. Di Palu, Sulawesi Tengah, misalnya, para perempuan mendorong pembentukan aturan untuk mencegah kekerasan seksual yang terjadi seusai bencana. Mereka belajar dari kasus kekerasan seksual yang masih saja terjadi pasca-gempa Palu pada September 2018, bahkan di tenda pengungsi.

Kembali masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke prolegnas prioritas pada 23 Maret lalu adalah buah kerja bersama. Perjuangan memang masih panjang, tapi kerja keras mereka patut diapresiasi. Dalam momen peringatan Hari Kartini tahun ini, kami memilih mereka sebagai tokoh perempuan pilihan Tempo. Tidak seperti tahun sebelumnya, kali ini kami tidak memilih figur perorangan. Kami memutuskan mengelompokkan mereka berdasarkan peran masing-masing, dari yang membuat draf rancangan aturan, melobi DPR, meyakinkan pemerintah, menghimpun dukungan dari masyarakat, hingga mengadvokasi aturan itu di daerah.

Untuk setiap peran ini, kami mewawancarai beberapa narasumber untuk menggali pengalaman mereka dalam melakukan advokasi. Mereka dipilih bukan karena paling berjasa, tapi kami menganggap kisah mereka mewakili perjuangan para perempuan lain. Harapannya, dengan menyuguhkan cerita mereka, kita dapat lebih mengapresiasi peran dan pengorbanan mereka. 


Tim Laporan Khusus Tokoh Perempuan

Penanggung jawab: Sapto Yunus | Kepala proyek: Nur Alfiyah | Penyumbang bahan: Mahardika Satria Hadi, Shinta Maharani (Yogyakarta) | Penulis: Abdul Manan, Agung Sedayu, Devy Ernis, Gabriel Wahyu Titiyoga, Isma Savitri, Nur Alfiyah | Penyunting: Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Iwan Kurniawan, Nurdin Kalim, Sapto Yunus, Stefanus Pramono | Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian | Periset foto: Ratih Purnama Ningsih (Koordinator), Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji | Desainer: Djunaedi, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus