Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tahrik-i-Labaik Pakistan menuntut Duta Besar Prancis diusir dari negeri itu.
Hal ini berkaitan dengan komentar Presiden Prancis Emannuel Macron yang dinilai menyerang Islam.
Tahrik-i-Labaik Pakistan terkenal sebagai partai Islam yang bersikap keras terhadap penistaan agama Islam.
PEMERINTAH Pakistan akhirnya berkompromi dengan Tahrik-i-Labaik Pakistan (TLP), partai politik terlarang yang menuntut Duta Besar Prancis untuk Pakistan diusir dari negeri itu. Pada Selasa, 20 April lalu, Menteri Dalam Negeri Pakistan Syekh Rashid menyatakan pemerintah menerima tuntutan partai itu dan berjanji akan mengajukannya ke parlemen.
Kompromi itu untuk dilakukan meredakan demonstrasi besar oleh para simpatisan TLP setelah Saad Hussein Rizvi, pemimpin TLP, diciduk polisi pada Senin, 12 April lalu. Rizvi ditahan di penjara Kot Lakhpat karena menyerukan pendukungnya agar menggelar protes untuk mendesak pemerintah Perdana Menteri Imran Khan mengusir ambasador Prancis. Seruan ini merupakan reaksi terhadap pernyataan Presiden Prancis Emannuel Macron yang dinilai menyerang Islam dan mendukung Charlie Hebdo, majalah satire yang menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.
Penangkapan Rizvi ini disambut protes para pendukung TLP di berbagai daerah, khususnya di depan Masjid Rahmatul Lil’ Alamin di Lahore yang dianggap sebagai markas partai tersebut. Bentrokan antara para pengunjuk rasa dan polisi pun tak terhindarkan. Sedikitnya empat polisi tewas dan lebih dari 800 orang cedera. Polisi kemudian menahan 733 orang dengan berbagai tuduhan. Di tengah situasi itu, Prancis menarik diplomat dan staf kedutaan untuk sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imran Khan memperingatkan bahwa pengusiran duta besar Prancis akan mengganggu hubungan dagang mereka dengan Uni Eropa. Dia lalu menetapkan Tahrik-i-Labaik Pakistan sebagai partai terlarang berdasarkan Undang-Undang Antiterorisme. Pemerintah menyatakan bahwa partai itu terlibat dalam aksi terorisme, merugikan perdamaian dan keamanan negara, menciptakan anarkisme dengan mengintimidasi publik, serta melukai dan menyebabkan kematian aparat penegak hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemakaman seorang pendukung partai Tehrik-e-Labaik Pakistan (TLP) yang terbunuh dalam protes di Lahore, Pakistan 19 April 2021. REUTERS Stringer
Larangan itu tak menghentikan demonstrasi. Pemerintah akhirnya bernegosiasi dengan TLP hingga kompromi tersebut tercapai. “TLP akan mengakhiri protes di seluruh negeri dan terutama dari Masjid Rahmatul Lil’ Alamin. Pembicaraan dan negosiasi akan dilanjutkan,” ujar Menteri Syekh Rashid, seperti dikutip Al Jazeera. Dia juga mengatakan bahwa semua aktivis partai yang ditahan akan dibebaskan, tapi Saad Rizvi tetap dikurung.
Tahrik-i-Labaik Pakistan, yang berarti “gerakan saya mewakili Pakistan”, adalah partai politik berbasis Islam Sunni. Partai itu didirikan pada 2015 oleh Khadim Husein Rizvi, ayah Saad Rizvi dan ulama Punjab kelahiran 1966. Khadim Husein dulu sering mengisi khotbah Jumat di Masjid Pir Makki serta Departemen Wakaf dan Urusan Agama di Punjab.
Basis pendukung TLP adalah Barelwi, komunitas muslim Sunni mazhab Hanafi yang dominan di Pakistan. Para ulama Barelwi, termasuk Khadim Husein, adalah pendukung kuat penerapan syariah Islam di negeri itu. Khadim Husein juga terkenal sebagai penentang segala bentuk penghujatan terhadap Islam dan Nabi Muhammad.
TLP mulai diperhitungkan setelah Khadim Husein membela Mumtaz Qadri, yang dihukum mati pada 2015 karena membunuh Gubernur Punjab Salman Tasir pada 2011. Qadri adalah pengikut Barelwi dan polisi elite Punjab. Tasir dibunuh karena membela Asia Bibi dan menentang hukum penistaan agama.
Asia Bibi adalah perempuan Kristen yang didakwa telah menghina Islam dan divonis hukum mati pada 2010. Namun Mahkamah Agung kemudian membebaskan Bibi karena kurangnya bukti. Keputusan itu memicu protes komunitas muslim di Pakistan. Bibi akhirnya keluar dari Pakistan dan mendapat suaka di Kanada pada 2019.
Khadim Husein membenarkan pembunuhan yang dilakukan Qadri. Pemerintah memperingatkannya agar berhenti menyebarkan pandangan tersebut. Dia menolak sehingga kemudian dipecat dari Departemen Wakaf. Sejak saat itu, dia berkeliling mengkampanyekan pembebasan Qadri dan mendukung pembentukan undang-undang penistaan agama.
Setelah Qadri dihukum gantung pada Februari 2016, Khadim Husein bersama kelompok Barelwi lain menggelar unjuk rasa di depan gedung parlemen di Islamabad. Demonstrasi selama empat hari yang diwarnai bentrokan dengan polisi itu berakhir dengan kesepakatan damai yang dimediasi oleh Uwais Nurani, putra pendiri partai Jamiat Ulama Pakistan.
Namun Khadim Husein dan partainya kembali menggelar unjuk rasa setelah Asia Bibi dibebaskan pada 2018. Kerusuhan besar pecah di berbagai kota. Para demonstran memblokade jalan tol dan membakar kendaraan. Polisi lalu menahan Khadim Husein dan para pemimpin partainya. Dia kemudian dibebaskan dengan uang jaminan.
Berbagai protes itu justru membuat Khadim Husein dan Tahrik-i-Labaik Pakistan semakin populer. Namun usaha mereka untuk masuk gelanggang politik tidak sesuai dengan harapan. Mulai ikut pemilihan umum pada 2017, TLP tak berhasil mendapat kursi di parlemen pusat—hanya tiga kursi Majelis Provinsi Sindh. Menurut Yaqub-ul-Hasan, analis riset di Manohar Parrikar Institute for Defence Studies and Analyses, partai itu sering digambarkan sebagai “partai pengganggu”. Partai itu hanya merebut sebagian kecil suara di berbagai daerah dari partai-partai Islam besar, seperti Pakistan Tahrik-i-Insaf (PTI) pimpinan Imran Khan dan Liga Muslim Pakistan-Nawaz (PML-N) yang didirikan oleh mantan perdana menteri, Nawaz Sharif.
Meskipun Menteri Syekh Rashid berjanji akan mengajukan resolusi soal pengusiran duta besar Prancis ke parlemen, tak ada jaminan resolusi itu bisa lolos. Pada Senin, 19 April lalu, Imran Khan membahas masalah ini dalam sebuah siaran televisi. Dia mengatakan bahwa “beberapa partai agama menggunakan Islam secara salah”. “Pertanyaan saya adalah: dengan mengirim duta besar Prancis pulang dan memutuskan semua hubungan (dengan Prancis), apakah ini akan menghentikan (penistaan)?” tutur Khan.
Usul resolusi itu kini masih tersangkut di parlemen. Sidang Majelis Nasional yang membahas soal ini pada Jumat, 23 April lalu, berakhir dengan keributan. Dalam sidang itu, Amjad Ali Khan, anggota parlemen dari PTI, mengajukan rancangan resolusi dan meminta Wakil Ketua Majelis Qasim Suri, pemimpin sidang itu, membentuk panitia khusus yang akan membahasnya lebih rinci. Para politikus oposisi menolaknya. Mereka menganggap panitia khusus tak diperlukan karena resolusi majelis haruslah satu suara.
Sejumlah anggota parlemen meminta Suri mengizinkan bekas Perdana Menteri, Raja Pervez Ashraf, dan pemimpin PML-N Ahsan Iqbal berbicara soal topik yang perlu dibahas. Suri menolak dengan alasan bahwa mereka dapat berbicara setelah sesi tanya-jawab selesai, sesuai dengan tata tertib sidang. Penolakan itu membuat para legislator marah sehingga mengerumuni kursi ketua sidang. Ketika suasana memanas, Suri mengetuk palu dan menyatakan sidang ditunda hingga waktu yang tak ditentukan.
Kepada wartawan, Raja Pervez Ashraf mengatakan mereka sebenarnya ingin meminta pemerintah mempresentasikan dulu kesepakatan dengan Tahrik-i-Labaik Pakistan sehingga “debat yang tepat bisa berlangsung dan resolusi bisa disahkan”. “Di bawah hukum mana TLP dilarang dan mengapa perjanjian sebelumnya (antara pemerintah dan majelis) tidak dilaksanakan?” katanya, seperti dikutip Geo TV, stasiun televisi Pakistan.
IWAN KURNIAWAN (DAWN, AL JAZEERA, THE NATION, GEO TV)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo