Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OMAR (Jourdy Pranata) muncul di balkon kamar indekosnya dengan muka dan rambut awut-awutan, tampaknya habis begadang. Tiba-tiba, dari balkon di atasnya menjulur tali dengan ember hijau muda terikat pada ujungnya. Di dalam ember, ada roti lapis dan surat bertulisan “… egg drop sandwich buat yang lagi sibuk skripsian...”. Bingkisan itu dari Winda (Arawinda Kirana), yang tinggal tepat satu lantai di atas kamar Omar. Sejenak, tetangga atas-bawah itu berkomunikasi lewat pertukaran surat dan hadiah di dalam ember. Seusai adegan yang memperlihatkan balkon masing-masing secara terpisah, kamera lantas menjauh. Pada layar tegak lurus, kita dapat dengan kentara melihat dua karakter itu berdiri di balkon masing-masing. Yang satu di atas yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua adegan di serial X&Y dengan tokoh utama dua mahasiswa itu disajikan dalam format film vertikal. Artinya, kita tak mesti memutar gawai jadi mendatar untuk dapat menikmati tontonan dengan maksimal. Pengguna media sosial tentu sudah akrab dengan format ini karena muncul dalam sejumlah layanan, seperti Snapchat, Instagram Story, Instagram TV, dan TikTok. Dan memang serial ini diedarkan lewat TikTok, jejaring sosial berbagi video musik pendek asal Cina yang sedang populer di kalangan generasi Z. X&Y disebut sebagai film vertikal pertama di platform itu. Ada enam episode yang masing-masing berdurasi tak lebih dari satu menit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arwinda Kirana dalam X dan Y. Tiktok
Serial ini mencoba membangun drama tiga babak yang intens dan berbumbu kejutan. Jelas ada rasa antara Winda dan Omar, tapi tak terkatakan. Lebih banyak Winda yang menunjukkan ketertarikannya, sementara Omar harus menunggu Winda menghilang dulu sebelum menyadari perasaan sendiri. Berdasarkan judul film, dikatakan bahwa Winda dan Omar adalah representasi sumbu X dan Y. Barangkali mereka dapat bertemu di satu titik, mungkin juga akan terus melangkah terpisah di garis masing-masing.
Setidaknya ada dua elemen sinematik menarik yang dicoba dimanfaatkan oleh sutradara Jason Iskandar dalam serial ini. Yang pertama tentunya layar vertikal yang mempersempit sudut pandang penonton tapi sekaligus dapat menonjolkan tangkapan-tangkapan yang barangkali tak akan begitu kentara jika disajikan dalam format konvensional. Ekspresi wajah, misalnya, menjadi satu aspek yang lebih mencolok dalam tayangan vertikal. Jason banyak menghadirkan sorotan terpusat pada wajah tiap karakternya. Pilihan ini menuntut kekuatan menyampaikan emosi lewat ekspresi mikro pada wajah para aktor yang dapat dijawab dengan baik, khususnya oleh Arawinda Kirana.
Jourdy Pranata dalam X dan Y. Tiktok
Selanjutnya adalah elemen waktu. Sepertinya belum ada serial bersambung yang setiap episodenya hanya berlangsung satu menit. Selain membutuhkan keterampilan memilih bagian mana saja yang pantas masuk durasi terbatas itu, sutradara mesti jeli memotong bagian yang akan membuat orang penasaran meneruskan menonton episode selanjutnya.
Dengan durasi total hanya enam menit sementara ada banyak hal yang hendak disampaikan, dapat dimaklumi tatkala film ini menggunakan berbagai jalan pintas untuk membuat cerita maju. Banyak aspek yang tak cukup digali atau dibiarkan tanpa penjelasan. Bagian perkenalan, misalnya, hanya ditampilkan lewat sepenggal dialog tanpa bantuan ilustrasi visual yang memungkinkan kita merasa lebih dekat dengan tiap karakter. Kita tahu Omar adalah mahasiswa tingkat akhir karena ditulis sepintas di surat, lalu Winda barangkali seorang penulis muda karena dia melontarkan kalimat, “Biar lo tahu novel apa yang bikin gua pengen jadi penulis.”
Masalah pun dihadirkan dengan cepat. Keterangan “sekian waktu kemudian” tinggal diberikan untuk menandai waktu telah berjalan dan resolusi dimunculkan. Sedikit mengherankan ketika di tengah jatah waktu yang sempit itu sempat ada beberapa momen kilas balik yang cukup menyita durasi, padahal kita baru saja melihat adegan-adegan yang persis sama pada episode sebelumnya. Selain itu, kemunculan sejumlah tokoh tambahan untuk memberikan kejutan dalam cerita malah membuat perhatian teralihkan dari kisah Winda dan Omar yang belum cukup dibangun dengan solid.
X dan Y. Tiktok
Film kerja sama TikTok dengan Studio Antelope ini mendapat penerimaan cukup baik. Chapter pertama berjudul “Dua Sumbu” berhasil mendapat 266 ribu like dengan 3.200 komentar. Lima episode lain mendapat 50-70 ribu like dengan total ribuan komentar. Tagar #filmvertikaltiktok yang konten utamanya adalah promosi serial ini tercatat telah memperoleh 228 juta penayangan. Lewat tagar ini, pengguna TikTok lain pun turut mengunggah reaksi mereka atas serial X&Y.
Embel-embel sinema vertikal tentu tak semudah mengubah format video datar menjadi tegak. Ada konsep visual dan bingkai gambar yang juga harus didekati dengan cara berbeda serta kesadaran bahwa sebagian besar penonton, kalau bukan semua, akan mengaksesnya lewat layar gawai. Pandangan penonton yang tadinya menangkap segala yang terjadi di kiri-kanan layar kini berubah ke sudut atas dan bawah. Pilihan menempatkan Omar dan Winda di kamar berbeda lantai adalah keputusan menarik karena dapat memaksimalkan sisi atas hingga paling bawah layar sekaligus menunjukkan jarak di antara mereka.
Namun, dalam sebagian besar adegan lain, hampir tak ada terobosan visual berarti yang dapat memanfaatkan medium layar tegak dengan maksimal. Kamera masih cenderung bergeser mendatar dari kiri ke kanan sebelum mencapai fokus adegan. Hal ini menunjukkan bahwa sudut pandang masih terpatok pada sisi lebar layar, sementara sudut atas dan bawah tetap terabaikan. Dalam satu adegan, Omar dan Winda diatur duduk bersisian di sebuah ayunan. Jelas butuh ruang lebih lebar untuk menampilkan dua orang duduk bersebelahan yang kurang dapat diakomodasi oleh bingkai tegak. Adegan duduk berdampingan yang semestinya intim itu malah menjadi lemah karena kita lebih sering melihat Omar dan Winda disorot terpisah agar muat dalam layar.
X dan Y produksi Studio Antelope. Tiktok
Format vertikal bukanlah hal yang benar-benar baru dalam ekspresi sinema. Perkembangannya makin dikuatkan dengan penetrasi smartphone dalam setiap aspek kehidupan kita. Sejak 2014 bahkan sudah ada Vertical Film Festival yang digagas kakak-adik Adam dan Natasha Sebire di Blue Mountain, Australia. Festival ini diselenggarakan tiap dua tahun dengan penayangan film yang khusus dilakukan di lokasi dan layar yang dapat mengakomodasi kebutuhan layar tegak.
Satu judul film pendek vertikal yang telah mendapat 43 juta lebih view di YouTube dapat menjadi contoh betapa menariknya format ini jika digunakan dengan tepat. Film untuk promosi produk iPhone ini disutradarai Damien Chazelle, yang sebelumnya sukses dengan La La Land. Berjudul Vertical Cinema, film sembilan menit ini menyoroti seorang aktor pemeran pengganti adegan laga. Chazelle dengan maksimal menggunakan layar tegak untuk mengaksentuasi kesan ketinggian atau terimpit yang harus dihadapi si aktor laga. Adegan, misalnya, diambil di gedung pencakar langit yang dapat kita lihat dari lantai dasar hingga puncak teratasnya atau di celah dua tebing sempit. Format vertikal membuat aksi-aksi itu menjadi lebih dramatis.
Upaya serial X&Y menerapkan model ini pada latar sehari-hari patut dianggap sebagai langkah awal yang baik. Kita memang sudah sampai pada saat yang tepat untuk bereksperimen dengan layar vertikal. Jutaan orang generasi Z telah membuktikan ragam kreativitas yang dapat dicapai dengan TikTok dan layar tegak. Sudah saatnya pula penonton punya pilihan untuk menikmati sinema cukup dengan satu tangan memegangi gawai.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
X&Y
Sutradara: Jason Iskandar
Penulis skenario: Jason Iskandar
Pemain: Arawinda Kirana, Jourdy Pranata
Produksi: Studio Antelope dan TikTok Indonesia
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo