Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUNIA seni rupa Indonesia geger. Kolektor kawakan dr Oei Hong Djien menjadi episentrum guncangan. Ini berawal dari niat baiknya membuka museum seni rupa di Magelang, Jawa Tengah, April lalu. Bermaksud membuat kejutan-menyajikan banyak lukisan Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio yang sebelumnya tak pernah diketahui publik-ia justru menuai badai.
Pengamat seni dan keluarga pelukis ragu terhadap keaslian gambar-gambar itu. Mereka menduga dr Oei menjadi "korban" sindikat lukisan palsu. Sang dokter membantah. Sebuah diskusi diselenggarakan pada akhir Mei lalu di Galeri Nasional, Jakarta, untuk menjernihkan masalah. Tapi kontroversi tetap merebak.
Tempo menelusuri sejarah tiap lukisan hingga ke masa silam: mewawancarai keluarga pelukis dan kolektor. Juga sejumlah saksi sejarah-antara lain tentara yang mengawasi Hendra Gunawan saat pelukis yang akibat prahara 1965 itu dibui bertahun-tahun di penjara Kebon Waru.
Hasilnya: banyak koleksi Oei Hong Djien di museum barunya sulit diyakini keasliannya.
Lukisan itu berjudul Wahyu, yang menggambarkan seseorang terbaring di alam surgawi. Lukisan tersebut karya Soedibio (almarhum). Angka tahunnya 1981. Saitem, sang istri, tertegun memandang lukisan yang dipajang pada pembukaan Museum Seni Rupa Oei Hong Djien (OHD) di Jalan Jenggolo 14, Magelang, awal April lalu tersebut.
"Itu tak mungkin gambar Pak Dib," dia bergumam.
Saitem ingat betul. Sepanjang 1981, suaminya sakit dan akhirnya wafat pada bulan Desember. Dia yakin saat itu suaminya sudah tak sanggup menggarap lukisan sepanjang dua meter tersebut. Sepanjang tahun itu, suaminya hanya menyelesaikan lima lukisan: Semar, Dewi Sri, Gunungan, Ramayana, dan Menuju Nirwana. Semua lukisan tersebut adalah pesanan Harmonie Jaffar, kolektor fanatik karya Soedibio.
Saitem mengunjungi pameran tersebut bersama Rama Chandra, putra Harmonie Jaffar. Seperti Saitem, Rama pun terkejut terutama menyaksikan seri lukisan pasukan Pembela Tanah Air (Peta) karya Soedibio, yang menggambarkan orang yang ditusuk, digantung, dan disiksa. Lukisan yang memperlihatkan kekejian itu bertahun pada 1946-1955. Rama tak pernah melihat gaya Soedibio seperti itu. Dari 200 lukisan koleksi ayahnya, lukisan Soedibio rata-rata bertema pewayangan atau alam mistik yang halus, tenang, dan esoterik. "Dari koleksi almarhum Bapak, tidak ada satu pun yang penuh kemarahan seperti itu," ujar Rama.
Menurut Chandra, saat ia mengantarkan Ibu Saitem pulang ke Solo, sepanjang perjalanan perempuan yang kini berusia 63 tahun itu tak banyak berkata. Padahal semula Saitem merasa senang karena Oei Hong Djien menahbiskan Soedibio sebagai maestro, yang artinya suaminya setara dengan pelukis Affandi, Sudjojono, dan Hendra Gunawan. Setelah melihat sendiri lukisan tersebut, Saitem tampak syok. "Ibu kaget karena tak bisa membayangkan suaminya melukis hal-hal yang sadistis," kata Rama.
Saitem menikah dengan Soedibio pada 1970. Saat itu dia baru berusia 21 tahun, sedangkan Soedibio 59 tahun. "Terus terang kalau karya Bapak yang di bawah 1970 saya tak mengenal," ujar Saitem saat ditemui Tempo di rumahnya yang sederhana di kawasan Kadipuro, Sumber Nayu, Solo. Sehari-hari ia menjual barang kebutuhan rumah tangga dan bensin eceran. "Saya tak tahu apakah gambaran yang kejam itu memang benar lukisan Pak Dib atau bukan," dia menambahkan.
Ternyata bukan hanya keluarga Soedibio yang merasa ragu akan keaslian karya yang dipajang pada pameran tersebut. Keluarga pelukis Sudjojono, baik pihak istri pertama almarhum, Mia Bustam, maupun istri kedua, Rose Pandanwangi, juga ragu terhadap karya yang terpajang di museum tersebut. Tedjabayu Sudjojono, 68 tahun, putra pertama Sudjojono-Mia Bustam, mengunjungi museum seni rupa baru itu. Baru saja melangkah masuk, dari jarak beberapa meter, Tedjabayu melihat lukisan Pangeran Diponegoro yang digantung di dinding sebelah kiri. Dia merasa agak ganjil jika lukisan itu disebut karya bapaknya. "Tidak mungkin Bapak gegabah membuat bayonet prajurit Diponegoro yang bentuknya seperti bayonet pada masa Perang Dunia II," katanya.
Tedjabayu ingat, ayahnya selalu bekerja berdasarkan riset yang luar biasa. Pernah sekali waktu Sudjojono melukis ibu Tedja, Mia Bustam, di daerah Prambanan dengan latar belakang tiang listrik. Sudjojono bolak-balik ke Prambanan. "Untuk menggambar tiang listrik saja, Bapak menggambar sketsa selama dua hari."
Inilah pertanyaan-pertanyaan penting yang tak hanya harus dijawab karena dipertanyakan oleh keluarga para pelukis. Lebih jauh lagi, apakah lukisan-lukisan itu juga otentik lukisan karya Soedibio dan Sudjojono?
Serangkaian isu bahwa museum baru OHD memajang "lukisan-lukisan bagongan" merebak menjadi kontroversi paling hot dalam dunia seni rupa Indonesia hingga hari ini. Isu kasak-kusuk itu adalah lukisan bodong di sana bukan hanya satu-dua, melainkan sekitar puluhan. Kehebohan ini dimulai dengan tulisan kolektor lukisan Syakieb Sungkar di blognya. Syakieb menyatakan kecurigaannya terhadap lukisan karya Sudjojono yang menampilkan Rose Pandanwangi dalam keadaan tanpa busana di depan sebuah jendela. Ini kemudian diramaikan oleh kurator Amir Sidharta. Sebuah diskusi bertajuk "Fine Art Round Table Discussion: Indonesian Modern Paintings" yang digelar Lin Che Wei dan Sarasvati Art Management di Galeri Nasional Indonesia pada akhir Mei lalu, yang terselenggara tanpa kehadiran keduanya, tidak menyelesaikan kontroversi. Diskusi ini malah memanaskan persoalan.
"Kami mengimbau agar OHD bersedia menurunkan lukisan yang diragukan itu untuk sementara. Bila dibiarkan, ini akan menghancurkan seni rupa Indonesia," ujar Budi Setiadharma, kolektor lukisan yang juga Presiden Komisaris PT Astra International Tbk. Budi Setia termasuk mereka yang sangsi akan keaslian sejumlah koleksi di museum itu.
Ditemui Tempo di Magelang, Oei Hong Djien tampak kokoh menerima terpaan. "Setiap hari saya selalu pandang terus-menerus koleksi saya. Saya makin yakin. Bila ada yang menuntut menurunkan, harus ada bukti sangat kuat," katanya. Dr Oei, 73 tahun, dikenal sebagai "raksasa" seni rupa Indonesia. Koleksinya lebih dari 2.000 buah, yang jika ditaksir nilainya mencapai ratusan miliar rupiah. Sudah jadi rahasia umum jika ia juga dikenal sebagai "sinterklas" yang gemar mengangkat perupa muda Yogyakarta menjadi perupa sukses. Ia bahkan dijuluki The Godfather perupa kontemporer Indonesia.
Oei Hong Djien lahir dari keluarga pengusaha tembakau. Meski lulus sebagai dokter dari Universitas Indonesia dan mengambil spesialisasi patologi anatomi di Katholieke Universiteit Nijmegen, Belanda, Oei memilih menjadi grader (penguji kualitas tembakau) di PT Djarum. Dia dibesarkan di Semarang, Bandung, dan Jakarta. Oei tumbuh dan akrab di rumah yang selalu penuh lukisan, terutama saat dia berdiam di rumah sepupunya di Bandung, Oei Sian Yok, kritikus seni di mingguan Star Weekly.
Oei menjadi fenomena karena ia aktif menularkan hobinya mengoleksi karya seni kepada rekan-rekan bisnisnya, para pedagang tembakau. "Semula mereka cuma datang untuk dagang. Tapi, karena sering melihat lukisan di rumah saya, mereka akhirnya tertarik juga," kata Oei. Bahkan dia mampu menyebarkan hobinya kepada pengusaha-pengusaha papan atas, seperti Sunarjo Sampoerna, putra taipan Boedi Sampoerna. Ia menjadi salah satu kolektor panutan paling terhormat dan berpengaruh di Asia.
Oei sebetulnya hendak memberi kejutan. Di museumnya, ia memamerkan karya Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Soedibio, yang selama ini jarang diketahui publik. Oei yakin masih banyak karya para maestro Indonesia yang tersembunyi. "Seorang kolektor harus memiliki visi mencari. Justru itu sumbangannya untuk sejarah seni rupa," katanya.
Yang jadi persoalan adalah seorang kolektor tak hanya harus mencari, tapi juga memastikan bahwa barang yang dibeli memang asli. Apalagi jika lukisan itu berniat dipamerkan ke publik, maka sang kolektor (dan kurator) dibebani tanggung jawab luar biasa. Saat membeli, Oei bertumpu pada mata dan perasaannya sendiri untuk memastikan keaslian lukisan tanpa bantuan ahli lain. Bahkan, untuk membuka museum yang tiketnya dijual seharga Rp 100 ribu per kepala kepada masyarakat umum tersebut, Oei menulis sendiri buku tentang apa yang ada dalam museum barunya itu tanpa melibatkan kurator atau sumber lain.
"Kami tak pernah dilibatkan, tahu-tahu bukunya sudah jadi," kata Nuraini, istri Hendra Gunawan. Dr Oei, misalnya, tidak mewawancarai keluarga pelukis yang masih hidup. Padahal, bila dia melakukan wawancara, niscaya buku itu akan lebih lengkap. Salah satu koleksi lukisannya berjudul Memperhatikan Suatu Poster (1956) dianggap salah satu karya besar asli Sudjojono. Sayang disayang, buku tulisan Oei hanya memberi uraian yang minim tentang lukisan tersebut. Padahal jika dia mau bergerak sedikit saja, bertanya langsung kepada keluarga pelukis yang menyaksikan dan mengetahui proses pembuatan lukisan tersebut, pasti buku itu akan jadi salah satu buku penting bagi penggemar lukisan Indonesia.
"Saya ingat Bapak mengajak saya ke kampus Universitas Gadjah Mada. Saat itu mahasiswa tengah memutar film kepahlawanan Jenderal Rommel berjudul The Desert Fox. Bapak heran, kok mahasiswa mutar film fasis," demikian Tedjabayu Sudjojono mengenang.
Tedjabayu ingat betul proses pembuatan lukisan itu di rumah Pakuningratan Nomor 40, Yogyakarta. "Satu per satu kami bergiliran berdiri dari arah kiri ke kanan. Nasti, adik saya; saya sendiri; Mbah Putri Maridjem; Deli, aktivis buruh; dan Kasno, pembantu dari Prambanan," kata Tedjabayu. "Lantai tempat saya berdiri dilingkari dengan cat oleh Bapak, sehingga posisi kaki saya tidak berubah," dia menambahkan. Tedjabayu mengemukakan, adik kembarnya kemudian mencoret-coret kanvas tersebut-itulah sebabnya ada ureg-uregan gambar anak-anak di pojok kiri atas lukisan. Petite histoire semacam ini sayangnya tidak tersaji dalam buku yang ditulis Oei itu.
"Untuk sebuah museum publik, seharusnya ada pembentukan sebuah tim," kata pengamat seni rupa Agus Dermawan T. Tanpa tim tersebut, Oei bisa kewalahan menghadapi pertanyaan-pertanyaan kritis yang diberondongkan kepadanya. Misalnya polemik seputar Perjuangan Belum Selesai (1967). Sebagian penikmat lukisan menganggap lukisan ini berbau kiri. Enam laki-laki dewasa dan seorang anak berada dalam sebuah rumah di Bantul, Yogyakarta. Di kanan terlihat seseorang membuat lukisan besar bertema segerombolan petani sedang demonstrasi. Ada pula yang mengacungkan arit.
Menurut Watu Gunung, 64 tahun, putra ketiga Sudjojono-Mia Bustam, tak mungkin bapaknya pada 1967 menggambar orang mengacungkan celurit. Ia ingat, pada 1967, bapaknya masih mengalami trauma atas pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia. Bapaknya pernah menjadi anggota partai itu. "Bapak gemblung kalau menggambar demikian," katanya. Watu ingat, saat itu Sudjojono berkata kepadanya, "Nung, seorang komunis harus hidup seperti tank. Dia tahu kapan harus bergerak, kapan harus diam." Periode itu, menurut Watu Gunung, adalah periode diam Sudjojono. Kurator Aminudin T.H. Siregar sependapat dengan Watu Gunung. Dia yakin lukisan ini bodong karena tertera tulisan "Djokdjakarta, di sebuah rumah di Bantul".
"Setelah G-30-S, Sudjojono merunduk di Jakarta, bukan di Yogya. Lukisan ini orangnya juga kaku-kaku, tidak seperti gaya Bapak," kata Rose Pandanwangi.
Apa jawaban Oei terhadap sikap sangsi ini? "Mungkin saja Sudjojono bernostalgia." Oei yakin lukisan itu asli karya Sudjojono. Untuk memastikan keaslian lukisan tersebut, ia khusus bertanya kepada sahabat tepercayanya di Temanggung, pelukis Kwee Ing Tjiong, 74 tahun. Ing Tjiong adalah murid Sudjojono yang juga dikenal sebagai pedagang tembakau.
"Menurut Ing Tjiong asli," kata Oei. Tempo berusaha mengecek kepada Ing Tjiong, tapi dia tampak menghindar. Saat ditelepon, belum-belum ia mengatakan, "Saya tidak tahu lukisan palsu." Tempo menyambangi rumahnya di Jalan K.S. Tubun Nomor 33, persis di samping Gereja Kristen Indonesia, dan Ing Tjiong tidak keluar. Menurut Laura, istri Ing Tjiong, suaminya sedang tidak sehat karena giginya bermasalah. "Minta maaf dan pengertiannya. Kwee Ing Tjiong tidak ingin salah-salah bicara soal lukisan," ujar Laura.
Yang menambah pelik adalah keberanian Oei membuat judul sendiri untuk lukisan yang dibelinya tanpa judul. Dalam wawancara, ia mengakui memberi judul Pekarangan Rumah pada lukisan Sudjojono, yang menggambarkan suasana halaman yang ditumbuhi daun talas dan pohon bambu serta ada seonggok patung kepala laki-laki hingga sedada. Ternyata ini membuat masalah tersendiri. "Kami tidak pernah memiliki pekarangan seperti ini," kata Tedjabayu. Aminudin Siregar menduga lukisan itu bodong dan dicomot dari gambar Sudjojono, In a Village (1950), yang menggambarkan sebuah pekarangan rumah kampung dengan patung kepala seorang perempuan sedada.
Dari semua koleksi karya Sudjojono di Museum Oei Hong Djien, Aminudin ragu akan keaslian 12 lukisan. Dia menunjukkan adanya kesamaan pola pada belasan lukisan yang janggal tersebut. Pertama, ada beberapa gimmick yang dicomot dari lukisan asli karya Sudjojono, terutama karya pada 1950-1960-an. Hasilnya, lukisan tak sama persis, tapi ada irisan tema dan ikon sosok atau bentuk yang dipakai. "Kalau untuk lukisan pada 1944-1955, saya berani memastikan itu karya Bapak atau bukan. Saya berani disetrum," kata Tedjabayu, yang setelah tragedi 1965 mendekam selama 14 tahun di penjara Wirogunan dan Pulau Buru.
Sudah seharusnya keluarga seniman yang masih hidup juga menjadi tempat konsultasi Oei. Saitem mengaku sangat paham garis dan warna yang dibuat suaminya. Dia bisa mengenalinya bahkan jika lukisan itu diperlihatkan melalui Internet. Saitem juga ragu akan lukisan berjudul Arjuna Wiwaha dan Hayam Wuruk. Meski temanya wayang dan sejarah kerajaan Jawa, keraguan itu didasarkan pada garis dan warna yang ditorehkan di kanvas lukisan tersebut.
Menurut Saitem, sering kali Soedibio dipanggil melukis ke rumah para kolektor, seperti Harmonie Jaffar, Ping Cat, dan Oesman Nabhan. Kadang-kadang Soedibio bisa tak pulang 1-2 bulan. Meskipun tak melihat lukisan pesanan yang dibuat sang suami, Saitem menekankan dia bisa mengenali lukisan suaminya.
Anak-anak Harmonie Jaffar juga mewarisi catatan ayahnya. "Ayah intens mencatat proses kreatif Pak Soedibio," kata Ratna Megawangi, 54 tahun, anak kedua Harmonie Jaffar. Mereka juga memiliki beberapa buku sketsa Soedibio yang berisi serangkaian renungan sang pelukis selama mengucilkan diri di Madiun. Renungan itu mulai sajak, dialog filsafat, vinyet, notasi musik dalam bahasa Belanda, hingga Krama Inggil Jawa. Buku-buku sketsa itu berisi tulisan kontemplatif.
"Dalam buku catatan Ayah, Soedibio menyatakan lukisan-lukisannya pada 1940-an terpaksa dibuat di atas kain bagor (tenunan serat rami) atau di atas sarung bekas yang diproses menjadi selembar kanvas," kata Rama Candra. Rama menambahkan, Soedibio mengakui lukisannya pada tahun-tahun itu sulit dilacak. Ia malah menduga lukisan itu rusak atau musnah dimakan zaman. "Maka saya heran Pak OHD bisa memiliki karya-karya Soedibio tahun 1949 yang terlihat masih bagus, berkanvas besar, dan tak begitu banyak crack."
Para kritikus seni rupa dan penikmat lukisan menganggap munculnya karya Sudjojono dan Soedibio yang "baru" itu berarti satu hal: lukisan-lukisan tersebut dilukis oleh pemalsu yang sama. Ada beberapa sosok pada lukisan kedua pelukis itu yang mirip. Misalnya, gambar orang berteriak di lukisan Sudjojono Perjuangan Belum Selesai hampir sama dengan gambar orang yang berteriak di lukisan Soedibio Tak Ada Tempat Oentoek Berlindung. "Bahkan muka orang-orang di lukisan Hendra Gunawan, Gemah Ripah Loh Jinawi, juga mirip sekali dengan lukisan Sudjojono. Saya duga ini mungkin dibikin oleh orang yang sama. Ini perlu diperdebatkan," kata Budi Setiadharma.
Tapi Oei Hong Djien menolak analisis tersebut. "Persamaan-persamaan itu sesuatu yang lazim. Pada waktu permulaan itu mereka satu sama lain saling mempengaruhi. Semua itu sudah saya pertimbangkan," katanya.
Lain Sudjojono, lain Soedibio. Lain pula Hendra Gunawan. Lukisan-lukisan Hendra Gunawan yang disajikan dr Oei di museumnya di Jalan Jenggolo, Magelang, membuat banyak penikmat terperangah. Selain Gemah Ripah Loh Jinawi (1951), rata-rata yang dipajang adalah lukisan besar Hendra berukuran 2,5 meteran yang belum pernah terlihat dan masih kinclong. Lukisan yang dipajang antara lain Penjual Es Lilin (1970), Berjudi (1975), Pesta Kemenangan (1978), Perayaan 17 Agustus (1980), Penarik Gerobak (1980), Pasar Malam (1981), Perang Buleleng di Bali (1982), dan Panen Padi (1980).
"Karya-karya monumental Hendra yang lebih dari 2,5 meter di museum Hong Djien meragukan," kata Amir Sidharta. Sebagai auctioneer (pelelang) profesional, Amir melihat permintaan karya Hendra sangat tinggi, sementara persediaan sangat sedikit. Inilah yang melahirkan pemalsuan lukisan. "Lukisan Hendra berformat besar sebelumnya jarang ada di pasar. Tapi pada 2005, ketika lukisan Hendra booming, ada puluhan karya ditawarkan dan banyak yang ragu," ujarnya.
Astri Wright, ahli karya Hendra Gunawan dari Universitas Victoria, Kanada, mengatakan kepada Tempo bahwa dia sering mendapat surat dari Indonesia, Singapura, Amerika Serikat, dan Eropa yang bertanya keaslian lukisan Hendra. "Saya sedih bahwa sebagian besar tidak asli," katanya. Menurut Astri, seniman pemalsu karya Hendra sering mengambil sebuah elemen dari lukisan Hendra dan mengkombinasikannya dengan elemen lukisan Hendra yang lain. "Setiap lukisan Hendra yang dibeli setelah 1988 kemungkinan besar palsu," Astri menuturkan.
Tapi baiklah. Mari kita lacak kemungkinan Hendra membuat lukisan ukuran jumbo. Mulai 1965 sampai 1978, Hendra ditahan di penjara Kebon Waru, Bandung. Apakah masuk akal ia banyak membuat lukisan berformat besar? Bukankah kanvas saat itu sulit? Untuk mengetahui hal ini, Tempo mencari saksi mata saat Hendra dipenjara. Setiap hari para narapidana tahanan politik Kebon Waru diawasi bintara pembina Polisi Militer Siliwangi. Tempo mendapat informasi dua mantan bintara masih hidup. Namun salah seorang mantan bintara sudah terkena stroke. Nah, mantan bintara yang masih sehat walafiat itu, kita sebut saja namanya Pak Us, sudah berusia 75 tahun.
Pak Us turut menjaga Hendra dari 1965 sampai 1978. "Dia royal. Banyak pejabat Polisi Militer ditawari lukisannya," kata Pak Us, mengenang. Di rumahnya yang sederhana di kawasan Cicadas, Bandung, tergantung dua lukisan Hendra yang belum diketahui keasliannya. "Itu mulanya milik Karnain, bintara bagian pemeriksaan. Dia mau pulang ke Garut, tapi tak punya ongkos. Saya ganti uang jalan saja," kata Pak Us.
Pak Us mengatakan sering mengawal Hendra keluar dari penjara membeli cat merek Kuda Terbang di toko besi di Bandung. "Hendra jarang bikin yang gede. Kanvas zaman itu susah. Hendra sering melukis pakai karung goni," kata Pak Us. Menurut dia, jika sedang ke luar sel, Hendra kerap membawa lukisannya yang kecil, "Untuk ditukar dengan kacang, gula, dan kopi di toko di pengkolan Cikaso (sekarang Ahmad Yani-red)."
Seingat Pak Us, satu-satunya peristiwa Hendra melukis kanvas yang panjangnya melebihi 2,5 meter adalah ketika dia dipesan mengisi ruang aula markas Polisi Militer di Jalan Jawa. Pak Us tak ingat judul-judul lukisan itu. Tapi, dari sumber pedagang lukisan di Bandung yang malang-melintang memburu lukisan Hendra di rumah-rumah anggota Polisi Militer, Tempo menerima informasi judul lukisan itu adalah Kartosuwiryo, Clash 2, Pasukan Garuda di Kongo, Peristiwa Lubang Buaya, dan Trikora Kalimantan Utara. "Pada 1980-an, saya keluar-masuk rumah mantan orang-orang Polisi Militer, bahkan sampai Sumedang, untuk mencari lukisan-lukisan asli Hendra. Tapi tak ada yang sebesar milik OHD. Rumah orang dulu kan kecil-kecil. Yang monumental, ya, hanya di aula Polisi Militer," kata pedagang lukisan itu.
Nuraini, istri Hendra Gunawan, adalah mantan marionette drum band yang masuk penjara dari 1968 sampai 1972. Hendra dan Nur menikah di penjara pada 1968. Nur menempati sel di Blok A, sedangkan Hendra di sel Blok B. Nuraini mengakui Hendra mendapat pesanan karya dari Pomdam. "Hendra digaji Rp 2.500 per hari, saya dan murid yang membantu Rp 250 per hari. Gajian dibayar sepekan sekali," kata Nur. Ia ingat pesanan juga datang dari Aboeng Koesman, Komandan Polisi Militer Siliwangi yang kemudian menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat. Aboeng menginginkan lukisan bertema Bandung Lautan Api.
Sayang, ketika Tempo menemui Aboeng Koesman di rumahnya di Jalan Kalimantan, Bandung, lelaki yang kini berusia 87 tahun itu sudah sulit diwawancarai. Pendengaran dan ingatannya telah merosot. Tubuhnya dihajar penyakit gula dan asam urat. Sehari-hari Aboeng dijaga perawat yang bergantian. Istri Aboeng, Siti Hatidjah, 82 tahun, mengaku tak tahu soal lukisan Bandung Lautan Api. Tapi di rumahnya bertengger sebuah lukisan "abstrak kubistik" berukuran 2 x 1,5 meter, yang menampilkan berbagai pita meliuk-liuk, menyilang tak beraturan, dengan pita utama warna merah. Tepat di sudut kanan lukisan itu tertera nama Hendra dan angka tahun 1971. Menurut Siti, lukisan itu pemberian orang. "Lukisan itu berjudul Indonesia Permai," katanya. Yang menarik, begitu kita melihat lukisan "kubistik" Hendra tersebut, ingatan langsung tertuju pada lukisan koleksi Oei Hong Djien berjudul Gatotkaca (1972). Sungguh mirip.
Selepas dari penjara, Hendra tinggal bersama Nur di rumah di Jalan Gang Amung Nomor 12, Leuwipanjang, Bandung. Ia sempat mengadakan pameran di Ancol pada 3-14 Juli 1979. Saat itu, Hendra menampilkan 21 lukisan, di antaranya Pandawa Dadu, Aing Dasamuka, Arjuna Menyusu, Tuak Manis, Lie Sumirat Jagal Raksasa dari Bandung, serta Perang Antara Pangeran Sumedang dan Daendels. Lukisan paling mahal, Arjuna Menyusui, seharga Rp 12 juta dibeli Ciputra. Pada 1980, Hendra pindah ke Bali. Ia tinggal di puri menara Ubud dan kemudian di Batuan.
Selama tiga tahun tinggal di Bali, Hendra mulai didera penyakit jantung dan hipertensi. Di tengah sakitnya, dia berniat menyumbangkan lukisan berukuran besar untuk museum-museum provinsi. Untuk Museum Sri Baduga, Jawa Barat, ia menghadiahkan Perang Antara Pangeran Sumedang dan Daendels. Untuk museum Jakarta: Ali Sadikin pada Waktu Perang Kemerdekaan. Untuk museum Jawa Tengah, Hendra menyerahkan Pangeran Diponegoro Terluka. Sedangkan untuk Bali, dia memberikan Trunyan dan Perang Buleleng. Hendra juga ingin menyumbang museum di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Lombok, dan Ambon. Tapi, seiring dengan menurun kesehatannya, produktivitas pelukis itu merosot. Obsesinya tak bisa diwujudkan. Hendra meninggal di Rumah Sakit Sanglah, Bali, pada 17 Juli 1983.
Ciputra, kolektor karya Hendra, berkisah, saat ia mengunjungi Hendra di Bali pada 1983, kondisi sang pelukis memang sudah parah. "Ia sudah tak mengenali saya," kata Ciputra. Perkenalan Ciputra dan Hendra terjadi pada 1979. Kemudian mereka melakukan surat-menyurat. "Saya ingat ia pernah menulis, 'Tolong Pak Ci, beli lukisan kami. Kami ini seperti anjing yang hanya makan remah-remah dari meja orang kaya.'"
Pada awal perkenalannya, Ciputra membeli 10 lukisan Hendra. Saat menjenguk Hendra di Bali, ia kaget ketika tahu bahwa sekitar 20 lukisan sang pelukis dijaminkan ke bank. "Kemudian saya tebus semua. Beli semua," kata Ciputra. Selain Ciputra, Nuraini mengatakan tidak ingat siapa saja yang membeli lukisan suaminya ketika di Bali. "Saat di Bali, mungkin 1-2 (lukisan) lolos ke orang lain, (yang) tidak dibeli Papa," kata Rina Ciputra.
Lukisan monumental Hendra, Pangeran Diponegoro Terluka dan Ali Sadikin, kini menjadi koleksi Ciputra. Perang Buleleng (400 x 200 sentimeter) dan Trunyan (300 x 206 cm) kini menghiasi ruang Museum Mahudara Mandara Giri Bhuvana, kompleks Taman Budaya, Denpasar. Kepala Bagian Dokumentasi dan Informasi Taman Budaya Dewa Ayu Laksmiadi menjamin kedua karya Hendra itu asli. Nah, ada masalah besar: OHD juga memiliki lukisan Perang Buleleng Bali sepanjang 3 meter yang bertahun 1982. Apakah masuk akal jika dalam kondisi sakit-sakitan Hendra menggambar tema yang sama?
Bila kita bandingkan, lukisan yang digantung di Taman Budaya, Denpasar, menampilkan seorang prajurit Bali meloncat dari kuda menombak tubuh serdadu VOC. Keris di tangan kirinya berdarah. Serdadu VOC lain jungkir balik terkena sabetan dan tendangan rekan-rekannya. Akan halnya lukisan milik OHD memperlihatkan seorang prajurit Bali menghunjamkan lembingnya ke dada tentara VOC yang menunggang kuda. Saling cekik, tikam-menikam. Sama-sama luar biasa. "Bila muncul Perang Buleleng lain yang ukurannya besar, memang jadi tidak masuk akal karena butuh energi yang luar biasa. Hendra kan kurang waktu," kata pengamat Agus Dermawan T.
Tapi OHD yakin itu bisa saja terjadi. "Sampai akhir hayatnya, lukisan Hendra masih kuat. Lihat saja koleksi Ciputra yang Perang Diponegoro, ukurannya 5 x 2 meter dan dilukis pada 1982," katanya. Pendapat ini dibela, misalnya, oleh pengamat seni rupa Edy Soetriyono. "Hendra bekas pelukis geber bioskop. Justru para pemalsu akan terengah-engah menirunya," katanya. Edy melihat lukisan Hendra milik OHD malah bisa jadi tolok ukur untuk melihat lukisan Hendra yang palsu. "Lihatlah gudik dan koreng di kaki rakyat, terasa spontan. Kalau pelukis itu meniru, pasti hati-hati. Semua tuduhan kepada Pak OHD adalah fitnah."
Oei menekankan, Hendra mempunyai insting yang kuat. Dia bercerita, sekali waktu, di sebuah lelang Glerum di Singapura, ada sebuah karya yang sudah tidak ada tanda tangannya. Di situ ditulis itu karya Affandi. Tapi Oei merasa itu karya Hendra, bukan Affandi. Dia membelinya dengan harga murah. Untuk menguji penciumannya, Oei mengirim lukisan itu ke London untuk direstorasi. "Setelah pembersihan selesai, ternyata timbul di kanvas tulisan 'Hendra Patangpuluhan, Yogya'. Saya excited sekali," kata Oei puas karena merasa instingnya tepat.
Oei Hong Djien menganggap semua keraguan atas keaslian lukisan-lukisan itu karena para pengkritiknya mengeluarkan analisis sepotong-sepotong. Dilihat unsur kakinya, lentik-lentik jarinya, liuk tubuhnya, bentuk monyong mulutnya, pekat paletnya, dan seterusnya. "Saya sudah meninggalkan analisis sepotong-sepotong. Menilai lukisan itu harus keseluruhan. Dilihat geregetnya, jiwanya muncul tidak," katanya. Ilmu itu ia peroleh dari Affandi dan Widayat.
Sore itu Oei mengajak Tempo ke Jalan Jenggolo, sekali lagi untuk melihat isi museumnya. Di depan Saritem, karya Hendra yang menggambarkan suasana tempat pelacuran di Bandung, ia berhenti. "Anda harus perhatikan sosok orangnya demikian banyak. Kalau palsu, (pemalsunya) mesti kepeleset, tokh?" Lalu, di depan Perang Buleleng, Oei berhenti agak lama. Ia menerangkan betapa komposisinya begitu kompleks. Betapa Hendra mampu menampilkan raut serdadu yang bunuh-membunuh bisa "sangat Bali" dan "sangat Belanda". Ia menggeleng-gelengkan kepala, seolah-olah tak mengerti mengapa ada yang ragu terhadap lukisan tersebut. Suara Oei seperti gemetar, "Lihat. Dahsyat, kan? Begitu saya dapat, langsung saya gantung. Begini kok bisa dibilang palsu?" l
Tim Liputan Penanggung jawab proyek: Seno Joko Suyono Kepala proyek: Kurniawan Penulis: Seno Joko Suyono, Kurniawan, Agung Sedayu, Nurdin Kalim Penyumbang bahan: Kurniawan, Agung Sedayu, Nurdin Kalim, Dian Yuliastuti, Juli Hantoro, Anwar Siswadi (Bandung), Sigit Zul Munir (Tasikmalaya), Pribadi Wicaksono, Addi Mawahibun Idhom, Anang Zakaria (Yogyakarta), Ahmad Rafiq (Solo) Penyunting: Seno Joko Suyono, Leila S. Chudori Bahasa: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian Periset foto: Nita Dian Afianti Desain: Djunaedi, Aji Yuliarto, Agus Darmawan Setiadi, Tri Watno Widodo |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo