Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Melatih Keaktoran dari Sawah

Rachman Sabur menggelar pementasan di sebuah sawah di Ciwidey. Ia dinyatakan lulus sebagai doktor teater.

2 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Melatih Keaktoran dari Sawah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RACHMAN Sabur membagikan sebutir padi satu per satu ke penonton yang mengelilingi sebuah sawah di tepi jalan Desa Lebak Muncang, Ciwidey, Bandung. Termasuk kepada komponis Rahayu Supanggah, budayawan Jacob Sumardjo, teaterwan Putu Wijaya, penari Sardono W. Kusumo, dan perupa Setiawan Sabana. Mereka adalah dewan penguji Rachman Sabur. Sore itu, 22 September, Rachman tengah menjalani ujian S-3 Penciptaan Institut Seni Indonesia Surakarta. Judul pementasan itu Tubuhku Ingin Menjelma Menjadi Padi yang Merunduk.

Lelaki 60 tahun itu lalu meraih cangkul. Ia masuk ke sawah, mengayunkan cangkulnya, menggoyangkan orang-orangan pengusir burung, kemudian menginjak-injakkan kaki ke lumpur hingga terdengar bunyi keras. Tangannya menepuk-nepuk lumpur seolah-olah memainkan timpani. Tanah menjadi sumber bunyi. Ia kemudian membuat gundukan-gundukan kecil lumpur di pematang dan menanamkan padi hijau. Ia seolah-olah tercenung. Menatap lumpur dalam-dalam.

Dan braaak.... Ia merobohkan diri ke lumpur sampai seluruh wajah dan tubuhnya terbenam. Adegan berbahaya lain ia lakukan: tubuhnya terpelanting ke belakang dari trap sawah yang tinggi. Ia menggulung-gulungkan tubuhnya. Terakhir, ia berjalan berkeliling dengan menyunggi mula-mula setandan dan kemudian dua tandan padi. Ia lalu membasuh badannya menggunakan air yang mengucur, dan masuk ke sebuah bilik. Begitu keluar, ia mengenakan pakaian putih-putih seperti pandita.

Selama tiga tahun terakhir, Rachman mengembara dari persawahan yang satu ke persawahan lain di Jawa Barat. Dari Ciamis, Tasik, Garut, Sumedang, sampai Bandung. Apabila berkesempatan ke luar negeri, ia menjajal sungai dan rawa setempat. Tatkala berada di Taipei, misalnya, ia berkubang di Sungai Gongguan. Saat di Seattle, Amerika Serikat, ia pergi ke sebuah pulau yang memiliki sungai dan hutan lebat. Video petualangannya ditayangkan sore itu. Kita dapat melihat ia bersama beberapa aktor di banyak sawah membenamkan diri di lumpur membentuk rangkaian-rangkaian rantai tubuh serta membentuk patung-patungan dan berinteraksi dengan patung itu.

Rachman Sabur selama ini dikenal sebagai pelopor teater nonverbal. Selama 25 tahun bersama Teater Payung Hitam yang dipimpinnya, ia melahirkan karya-karya physical theater yang fenomenal, seperti Kaspar dan Merah Bolong. Dengan menampilkan sebuah performance kehidupan petani dan padi, ia ingin mengajukan tesis bahwa latihan-latihan yang bertolak dari kehidupan tubuh sehari-hari seorang petani di sawah dapat membentuk kebertubuhan aktor yang baik yang sangat "mengindonesia"."Saya ingin melanjutkan eksperimen-eksperimen tubuh yang sudah dilakukan Sardono, Rendra, Arifin, dan Putu," ujarnya.

Kegelisahannya bermula saat melihat banyak pementasan di panggung menampilkan akting panggung yang kebule-bulean. "Akan jadi persoalan jika teori tubuh di Barat ditelan mentah-mentah. Tubuh aktor akan menjadi teknis," ucapnya. Putu Wijaya melihat Rachman menolak tubuh Indonesia dipaksa menjadi tubuh Barat. "Ia ingin mengatakan dominasi referensi teater ke arah Barat harus dihentikan. Semua referensi kini setara," kata Putu.

"Saya tidak menolak pengajaran akting model Stanislavsky," ucap Rachman Sabur, menyebutkan nama dramawan Rusia yang bukunya, Persiapan Seorang Aktor, menjadi rujukan banyak cara berakting. Pengetrapan teori akting Barat yang salah, menurut Rachman, akan mengarahkan tubuh aktor menjadi tubuh Amerika, tubuh Prancis, dan lain-lain yang bukan tubuh Indonesia.

Kultur tubuh petani di sawah menanam padi, Rachman mengungkapkan, bisa menjadi gerakan-gerakan melatih pancaindra aktor lebih sensitif. "Metode pelatihan saya ini bukan hanya untuk mereka yang menggeluti physical theater, tapi juga aktor-aktor teater realis." Ia mengatakan, di Institut Seni Budaya Indonesia Bandung- tempatnya mengajar sehari-hari- selain mengembangkan teater nonverbal, dia tetap memperhatikan teater realis. "Saya banyak menguji mahasiswa yang melakukan pementasan realis. Saya ada di dua wilayah ini," tuturnya.

Memang yang diperagakan Rachman Sabur di sawah Ciwidey itu tidak menjurus ke sebuah metode pelatihan yang baku. Semuanya lebih bertolak dari insting. Ini berbeda, katakanlah, dengan Tadashi Suzuki, teaterwan ternama Jepang, yang pada 1960-an menolak metode pelatihan ala Barat dan secara spesifik menaruh perhatian kepada kekuatan kaki. Menurut Rachman, kunci kekuatan aktor-aktor Jepang terletak pada kaki. Itu yang diabaikan oleh teori-teori tubuh Barat.

Rachman kemudian mengumpulkan berbagai cara dan teknik berjalan yang ada di teater tradisi Jepang Kabuki, Noh, dan Kyogen, serta mengembangkan menjadi sebuah modul dan metode pelatihan sistematis yang disebut Grammar of Feet. Aktor dari mana saja yang ingin disutradarai Suzuki akan digembleng keras dengan pembentukan tubuh berdasarkan berbagai variasi kaki tersebut. Hal itu, menurut Suzuki, akan mampu menghasilkan tubuh dan suara yang berbeda dengan bila belajar keaktoran ala Stanislavsky.

"Saya ingin teater kontemporer Indonesia tidak menjadi bayang-bayang teater Barat," kata Rachman Sabur. Putu Wijaya menganggap usaha Rachman mengangkat kehidupan tubuh petani di sawah menjadi sebuah metode pelatihan persiapan keaktoran adalah sesuatu yang menarik. "Ambisi Rachman menemukan teater Indonesia yang tidak di bawah bayang-bayang (referensi) Barat itu penting. Dan menurut saya berhasil." Selamat datang, Doktor Sabur.

Seno Joko Suyono, Prihandoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus