Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH crane beroperasi di bawah sengatan matahari Taman Kalijodo, Jakarta, Rabu pekan lalu. Diawasi lima orang berompi jingga, alat berat itu memindahkan segmen demi segmen tembok beton setinggi 3,5 meter, lebar 1,2 meter, dan tebal 20 sentimeter. Total ada empat segmen tembok abu-abu ditegakkan bersisian di tengah area teater terbuka taman itu. Dua puluh tujuh tahun lalu, empat segmen itu merupakan bagian dari Tembok Berlin, yang memisahkan Jerman Barat dengan Jerman Timur selama nyaris tiga dekade.
Kini segmen itu menjadi bagian dari instalasi seni publik yang dirancang seniman Teguh Ostenrik. Instalasi berjudul Patung Menembus Batas itu akan berdiri seterusnya di Taman Kalijodo, "Selama taman ini masih diperuntukkan bagi publik," kata Teguh saat pemasangan instalasi.
Segmen Tembok Berlin menjadi pusat dari karya instalasi Teguh. Di sekeliling tembok, ia menempatkan 13 patung berwujud manusia pipih serupa orang-orangan kertas, tapi terbuat dari lempengan besi. Bobot tiap patung mencapai 700 kilogram. Teguh dapat membuat manusia besi pejal itu terlihat demikian fleksibel. Mereka berpose tersungkur di atas pasir, memanjat tembok, nyaris terjatuh dari puncaknya, menyelip di celah sempit di antara dua dinding, hingga berlari menuju kebebasan.
Di bagian depan tembok, Teguh membuat coret-coretan grafiti sebagaimana dulu di Jerman para warga dan seniman dunia juga mencoreti sisi barat dinding itu dengan berbagai mural perlawanan. Teguh menyelipkan banyak pesan dalam grafiti di tembok. Ada potongan sajak Rainer Maria Rilke, kata cultür dalam huruf Coca-Cola sebagai ejekan atas imperialisme kapitalis, dan gambar hiu kepala martil sebagai pesan akan makin langkanya hewan tersebut di lautan.
Teguh sendiri yang membawa potongan Tembok Berlin itu ke Jakarta pada 1990. Bagi Teguh, yang saat itu sedang kuliah di Hochschule der Kuenste, Berlin Barat, keberadaan Tembok Berlin, yang dibangun pada 1961 oleh Republik Demokratik Jerman, menjadi bagian dari hidupnya sehari-hari. Ia melewatinya dalam perjalanan ke kampus, bahkan pernah mencoreti dinding pemisah teritorial sekaligus ideologi komunis dan liberal itu dengan grafiti. "Tembok itu seperti dinding raksasa di ruang tamu," ujar Teguh.
Saat tembok tersebut diruntuhkan lewat revolusi rakyat pada 9 November 1989, Teguh sudah kembali ke Indonesia. Ia mendengar kabar bahwa perusahaan Limex GMbH telah ditugasi untuk menyelamatkan segmen utuh Tembok Berlin, menjualnya kepada khalayak, lalu mengumpulkan uang tersebut untuk membangun rumah sakit di Jerman Timur. Teguh tertarik. Dua pekan kemudian, ia terbang kembali ke Jerman dengan bantuan dana dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membeli tembok-tembok tersebut. "Saya sudah punya konsep karya seni publik yang hendak saya buat dengan tembok itu," ucapnya.
Teguh menemukan empat segmen utuh yang masing-masing beratnya 2 ton dan ditawarkan seharga 60 ribu mark Jerman (sekitar Rp 480 juta kala itu). Ia menawar sembari menunjukkan sketsa karya yang hendak dibuatnya. Teguh akhirnya berhasil mendapat empat tembok itu dengan total harga 18 ribu mark Jerman. Tembok itu kemudian dikemas dalam kontainer 40 kaki dan dibawa ke Jakarta.
Empat segmen ini menjadi satu-satunya bagian Tembok Berlin yang ada di Asia Tenggara. Di berbagai belahan dunia lain, segmen Tembok Berlin tersebar dan dipamerkan sebagai memorial di museum atau tempat terbuka, seperti di Sanctuary of Fatima, Portugal; World Peace Pavilion, Kanada; dan Wende Museum and Archive of the Cold War California, Amerika Serikat.
Di Jakarta, gubernur kala itu, Wiyogo Atmodarminto, merestui Teguh membuat karya Patung Menembus Batas, bahkan menyediakan bengkel kerja di daerah T.B. Simatupang. Teguh mendapat donasi lempengan besi dari Krakatau Steel. "Besi-besi itu sudah saya potong menjadi wujud orang-orangan, tinggal dilipat dan dibentuk," ucapnya.
Sayang, belum sempat dibentuk, Teguh tak dapat lagi melanjutkan proyeknya. Empat segmen Tembok Berlin beserta potongan besi itu selanjutnya didiamkan begitu saja di bengkelnya. Hingga beberapa bulan lalu dia mendapat kabar ada orang yang bersedia mensponsorinya kembali melanjutkan karya itu. "Saya benar-benar menangis saat dikabari begitu, akhirnya setelah 26 tahun," ujarnya.
Setelah 26 tahun pun karya Teguh masih sangat relevan karena berbicara tentang sekat antarkelompok serta upaya manusia mendobrak batas-batas suku dan budaya. "Tembok Berlin ada di mana-mana, termasuk di sini, di antara mereka yang berbeda agama atau suku," ucapnya.
Gubernur Djarot Saiful Hidayat menyediakan ruang terbuka Kalijodo yang baru saja direvitalisasi sebagai tempat instalasi itu. Hanya dalam waktu dua bulan, Teguh kembali bekerja merampungkan karya itu dan selesai memasangnya pekan lalu.
Instalasi tersebut diletakkan di sebuah petak berukuran 17 x 9 meter berisi pasir putih. Tujuannya jelas. Teguh tak ingin karyanya hanya dilihat dari kejauhan. Orang-orang, termasuk anak-anak, dapat mendekat, bermain pasir di sekitarnya, menyentuh karya, bahkan memanjatinya. Dia juga mempersilakan bila ada seniman yang hendak membuat pertunjukan memanfaatkan instalasi tersebut. "Sudah ada penari dari Shen Wei Dance Company New York yang mau menampilkan koreografi di sini tahun depan," ujarnya.
Moyang Kasih Dewi merdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo