Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jangan Kami Ditinggalkan...

Dalam dua detik, Nias litak diguncang gempa. Aura duka di mana-mana.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NIAS, 40 jam setelah gempa. Malam hampir jatuh ketika kami, saya dan beberapa wartawan lain yang menumpang pesawat ringan CASA, mendarat di pulau ini. Gelap perlahan-lahan menampakkan kuasa. Tak ada aliran listrik, tak tersedia pula lampu petromaks. Hanya kelap-kelip lilin dan lampu minyak yang muncul di beberapa sudut. Gunung Sitoli, ibu kota Kabupaten Nias, menjadi kota mati seperti dalam komik-komik. Angker, gahar, tapi murung.

Bagi saya, ini perjalanan kedua ke Pulau Nias setelah gempa berkekuatan 8,7 skala Richter mengaduk dahsyat bumi Nias, Senin malam 28 Maret lalu. Perjalanan pertama terjadi ketika saya menumpang Fokker-27 milik TNI Angkatan Udara, sehari setelah gempa. Perjalanan pertama ini memang tidak dengan misi pendaratan. Tujuan penerbangan, menurut Kapten Riva Yanto, pemimpin misi ini, adalah mengitari Nias dan menilai kerusakan yang menimpa pulau ini dari udara. "Tugas utama kami adalah menganalisis kondisi lapangan terbang," kata Kapten Riva.

Dari jendela Fokker-27, memang tersuguh pemandangan menyesakkan. Gedung-gedung runtuh, amblas bagai rumah kartu. Gambaran kasarnya, 10-15 persen bangunan di Gunung Sitoli hancur berantakan. Sisanya masih tampak tegar berdiri. "Ah, tidak seseram yang kita khawatirkan semula," kata seorang wartawan kantor berita asing yang ikut serta dalam rombongan.

Namun, penilaian dari ketinggian 2.000 kaki itu tidak mencerminkan apa yang sesungguhnya terjadi. Senja itu, ketika saya menjejakkan kaki dan menyusuri sebagian Pulau Nias, kondisi yang sebenarnya terpampang. Kawasan kota, Gunung Sitoli, mengalami kerusakan 40-50 persen. Beberapa kawasan jalan, tempat pasar dan pertokoan yang padat, hancur seratus persen. Tak banyak yang utuh tersisa.

Kesuraman menggantung di udara yang dipenuhi anyir bau mayat yang masih tertimbun bangunan runtuh. Di halaman gereja, masjid, juga vihara, mayat-mayat yang dikumpulkan oleh penduduk, tentara, maupun relawan terus berdatangan. Sebagian dimasukkan dalam peti kayu, lainnya cuma dibungkus plastik hitam, bahkan ada yang cuma dibalut kain ala kadarnya. Darah kering berceceran di sekitar mayat. Tak sedikit mayat yang tampak menggelembung seolah hendak meledak, dikerumuni lalat atau bahkan ulat.

Di tengah udara penuh duka, saya menjelajah Kota Gunung Sitoli. Perjalanan yang rumit, karena badan jalan patah dan merekah di sana-sini. Mendapatkan sewa mobil atau sepeda motor pun bukan perkara gampang lantaran persediaan bensin masyarakat terus menipis. Kalaupun ada ojek yang mau disewa, ongkosnya amat mahal, Rp 300 ribu sampai Rp 1 juta sehari. "Kalau Kakak bawa bensin sendiri, saya bisa kasih murah," kata Adi, pengemudi ojek yang kami jumpai.

Di sepanjang jalanan Gunung Sitoli, orang-orang berpelukan dan bertangisan. Percakapan yang muncul bukanlah tegur sapa yang lazim. "Berapa orang famili kau yang mati? Itu mayat mama kau sudah dapat? Mayat papa si Fulan sudah dapat? Bagaimana dengan adik kau? Sudah kau antar suami kau ke Tuhan Yesus?" begitu pertanyaan yang kerap terdengar. Pertanyaan yang biasanya langsung disusul hujan air mata atau sekadar tatapan kosong. Hampa.

Dengarlah cerita Hwa, 39 tahun. Penduduk Jalan Sudirman, kawasan padat di Gunung Sitoli, ini kehilangan ibu, sua-mi, dan tiga anaknya. "Tak ada apa-apa lagi buat saya," katanya sambil menangis di bahu seorang kawan. Rumah Hwa terkena imbas bangunan berlantai dua milik tetangganya.

Ada pula kisah lain. "Cukup lima detik, rumah kami langsung ambruk. Hancur," kata Deswinta, 40 tahun, mengenang dahsyatnya kejadian Senin malam 28 Maret itu. Sorot mata, raungan histeris, juga segenap urat di wajahnya berbicara tentang ketakutan dan kehilangan yang teramat dalam. "Suami dan tiga anak saya habis sudah," katanya. Deswinta sendiri selamat, biarpun mengalami luka-luka karena terlempar sejauh dua meter ke jalanan.

Wajah duka merata di segala sudut Nias. Di sebuah pojokan Rumah Sakit Umum Gunung Sitoli, misalnya, seorang lelaki terbaring tanpa daya dengan selang infus di tangan kiri. Sebuah borgol dengan dingin mengikat pergelangan tangannya dengan kerangka tempat tidur. Rupanya, sang lelaki malang ini sempat mengamuk hebat, merasa hidupnya di dunia sudah tak lagi berguna, dan dia bahkan mengancam akan membunuh orang-orang di sekelilingnya. "Dia tertekan, stres berat, karena anak-istrinya semua jadi korban," kata seorang paramedis.

Malam yang lesu. Sekitar pukul 20.00, seorang bapak tergopoh-gopoh menemui tim penyelamat gabungan dari Spanyol dan Norwegia yang bermarkas di kompleks pendopo kabupaten. "Tolong, Bapak, saya dengar ada suara minta tolong dari bangunan yang runtuh. Mungkin orang di dalam masih hidup," kata bapak itu.

Olaf Lingiaerae, salah satu anggota penyelamat, bergegas menyiapkan timnya. "Ayo, ayo, jangan sampai terlambat. Satu menit sangat berharga," kata lelaki berperawakan besar ini. Tak berapa lama kemudian, enam orang anggota tim ini sudah beraksi di reruntuhan bangunan berlantai tiga. Pelan-pelan mereka menyingkirkan batu demi batu reruntuhan bangunan. "Halo, halo..., ada orang di dalam?" begitu berkali-kali tim penyelamat berteriak sambil menajamkan kuping.

Tak ada alat berat yang digunakan tim ini. Sebagian besar usaha penyelamatan dilakukan dengan tangan kosong, mengandalkan keluwesan tubuh meliuk-liuk mencari siasat memasuki celah-celah bangunan yang sudah ambruk. "Soalnya, penggunaan alat berat berisiko membuat bangunan runtuh lebih hebat," kata Miguel Roncero, anggota tim yang berasal dari Bombero (Kesatuan Pemadam Kebakaran) Spanyol.

Pukul 2 dini hari, kerja keras Olaf dan kawan-kawan berbuah. Bocah berusia 12 tahun itu bisa selamat dikeluarkan dari bangunan. Kakinya cedera akibat 52 jam terjepit reruntuhan. Tubuhnya lemas. Maklum, hampir tiga hari si bocah tidak tersentuh makanan dan minuman. "Wow, bahagia tidak terkatakan kalau kita berhasil menyelamatkan hidup orang seperti ini," kata Miguel Roncero.

Namun, Roncero menambahkan, operasi penyelamatan tidak selalu berakhir bahagia. Sering kali informasi disampaikan warga lebih banyak berlandaskan harapan yang terlampau melambung. Asa tentang kemungkinan anak, istri, atau kerabatnya masih bisa diselamatkan, bagaimanapun berat situasinya.

Esok paginya, Kamis 31 Maret, ucapan Roncero terbukti. Pagi itu seorang bapak meminta Olaf dan kawan-kawannya datang ke sebuah gedung di dekat pasar Gunung Sitoli. "Semalam saya lihat ada sinar senter, warna merah, berkelebat dari dalam celah reruntuhan gedung. Mungkin adik saya masih hidup di sana," kata si peminta tolong.

Upaya penyelamatan langsung digelar. Batu-batu telah disingkirkan, kuping telah ditajamkan, berbagai jalan menembus reruntuhan pun sudah ditempuh. Namun, tetap tak ada tanda-tanda kehidupan yang terdeteksi. Satu, dua, tiga jam berlalu sampai akhirnya Miguel Roncero menggelengkan kepala dengan lemah. "Mohon maaf, Bapak, I am so sorry. Tak ada tanda kehidupan di dalam sini," katanya.

Akhir yang tidak happy, menurut Roncero, wajar terjadi karena tim penyelamat datang relatif terlambat. Olaf dan kawan-kawan, misalnya, baru tiba di lokasi pada hari ketiga setelah bencana lantaran kesulitan transportasi. Tim serupa yang datang dari Singapura, Prancis, dan Jepang juga baru menjejak bumi Nias pada hari keempat dan kelima setelah gempa. "Seandainya tim penyelamat datang pada hari pertama," kata Olaf, "mungkin akan lebih banyak nyawa bisa diselamatkan."

Kelambanan pengerahan regu penyelamat hanyalah satu soal. Ada banyak lagi masalah yang berjalin berkelindan, terutama lemahnya tali koordinasi, yang menjadikan penanganan bencana di Nias lamban dan cenderung amburadul. "Sampai hari keempat ini kami belum dapat bantuan. Mau beli makanan pun tak ada lagi yang mau jual," kata seorang pengungsi.

Keluhan seperti ini hampir merata kami jumpai di segenap desa dan kota di Pulau Nias. Untuk itulah seorang ibu, Nyonya Gulo, warga Jalan Soekarno, Gunung Sitoli, menyampaikan harapan. Katanya, "Jangan kami ini ditinggalkan sendirian."

Mardiyah Chamim (Nias)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus