Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sang pemburu gempa itu kehilangan momen terpentingnya. Pada sebuah siang, Yusuf Surachman Djajadihardja, doktor geologi kelautan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), menggelar jumpa pers menjelaskan soal patahan baru di Aceh. Ketika itu dia baru dua hari setelah mengakhiri ekspedisi mencari pusat gempa di pesisir barat Sumatera selama tiga pekan. Kapal riset canggih Natsushima milik Jepang, yang dipakainya berburu, juga sudah merapat ke darat.
Namun, hanya berselang 12 jam dari jumpa pers itu, gempa baru merontokkan Pulau Nias dan sekitarnya. Dan gempa itu cuma berjarak 160 kilometer dari dasar laut yang diteliti Yusuf. "Wah, sayang kami sudah pulang," keluhnya. "Pasti enak bener berada di sana saat gempa."
Sejak 16 Februari lalu, 19 peneliti gempa dari BPPT dan Jepang memang mencari jejak pusat gempa yang telah memicu tsunami pada 26 Desember 2004 lalu. Mereka menjelajahi dasar laut hingga kedalaman 3.000 meter dengan kapal selam tak berawak, Hyper Dolphin. Para pemburu pusat gempa itu juga memasang 19 pencatat gempa dasar laut (ocean bottom seismometer, OBS).
Riset itu terbagi dalam dua tahap, dan Yusuf kebagian memimpin perburuan tahap akhir dan berakhir 26 Maret 2005. Yusuf menuturkan, andai ke-19 pengukur gempa itu masih ada di dasar laut, pasti data gempa yang tercatat akan komplet. "Sekarang semua OBS itu sudah dicabut, tersisa dua saja hingga Juli nanti," ujar pria yang pernah meneliti patahan baru di sebelah selatan Pelabuhan Ratu di kedalaman 2.000 meter itu.
Mengapa pemburu gempa sekaliber Yusuf bisa kecele? Sebenarnya perkiraan tim riset itu tak terlalu meleset. Dari 19 pengukur gempa dasar laut itu, tim riset Natsushima berhasil mendeteksi bahwa gempa tsunami 26 Desember lalu masih terus menghasilkan gempa-gempa susulan. Bayangkan, selama tiga pekan di daerah itu terekam lebih dari 2.800 gempa susulan yang sebagian besar bersumber 40 hingga 60 kilometer di dalam cekungan Aceh (Aceh basin). "Saat ini masih terus terjadi karena perairan di dasar laut masih terlihat keruh," ujarnya sembari dia menunjukkan rekaman visual yang diperoleh lewat Hyper Dolphin.
Secara geologi, daerah pesisir barat Sumatera itu memang kawasan seribu gempa. Pulau Sumatera setiap tahun terdesak oleh lempeng Indo-Australia bergerak ke arah timur laut, menekan lempeng Eurasia yang memangku Pulau Sumatera. Lempeng Indo-Australia itu menghunjam dengan laju rata-rata 6 sentimeter per tahun. Secara logika, kata Yusuf, energi yang tersimpan akibat tumbukan kedua lempeng selama ratusan tahun telah seluruhnya terlepaskan dalam gempa dengan kekuatan 9,3 magnitudo, 26 Desember lalu. "Gempa di Aceh justru memicu deformasi struktur batuan di sekitar Nias sehingga terjadi pelepasan energi baru yang sangat besar."
Meski tergolong sangat kuat (kekuatannya 8,7 magnitudo), gempa di Nias tidak menyebabkan gelombang laut raksasa atau tsunami. Yusuf menduga itu terjadi karena patahan yang terjadi adalah patahan normal (back thrust) akibat adanya pelepasan energi itu di sekitar Pulau Nias dan Simeulue. "Karena yang mengalami deformasi itu di bawah pulau, tsunami tidak terjadi," kata dia. "Pulau Nias dan Simeulue justru diduga terangkat."
Model patahan itu berbeda dengan patahan gempa yang melahirkan tsunami 26 Desember lalu. Saat itu hunjaman lempeng Indo-Australia membuat lempeng Eurasia tertekan, melengkung, dan pecah (thrust fold). Sebagai bukti, tim riset Natsushima menemukan lipatan-lipatan di dasar laut itu hancur berantakan. Irisan pecahan dari lempeng Eurasia masih "segar", belum tertutup lumpur.
Salah satu cara untuk memprediksi gempa tsunami, menurut Yusuf, adalah dengan menanam instrumen sensor elastisitas di setiap lipatan sedimen bumi di dasar laut itu. "Kalau kita bisa tahu berapa besar daya tahan elastisitas batuan-batuan itu, kita dapat memperkirakan tsunami," kata dia. Pascariset Natsushima selama 41 hari, para peneliti di Badan Ilmu dan Teknologi Bumi-Laut Jepang (JAMSTEC) akan merintisnya. "Mereka akan mengebor batuan semacam itu," ujar Yusuf.
Menebak kapan gempa datang, di kawasan dengan potensi seribu gempa seperti di Nias dan Aceh, memang bukan perkara gampang. Kepala Seismologi Teknik dan Tsunami Badan Meteorologi dan Geofisika, Fauzi, malah mengatakan itu mustahil dilakukan. "Belum ada teknologinya," kata Fauzi.
Yang paling mungkin dilakukan adalah menebak berdasarkan statistik atau pengalaman. Itulah yang dilakukan pakar gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Danny Hilman Natawidjaja. Dua pekan sebelum gempa, Danny sempat waswas dengan potensi gempa di Nias, dan kepulauan sebelah timurnya, Mentawai. Hanya, saat itu dia tak punya jawaban pasti apakah Nias atau Mentawai yang lebih dulu digoyang gempa.
Soalnya, tegangan lempeng bumi Nias lebih kecil ketimbang Mentawai. Namun, posisinya lebih dekat dengan pusat gempa Aceh. Adapun Mentawai, tegangannya seperti bisul yang matang namun jaraknya lebih jauh dari pusat gempa Aceh.
Ternyata Nias yang berderak lebih dulu. Gempa itu datang lebih cepat dari siklus yang diramalkan Danny, yakni berulang setiap 200-230 tahun. Gempa besar di pulau itu terakhir terjadi pada 1861, jadi baru berumur 144 tahun. "Barangkali ini adalah perulangan yang lebih awal karena terpicu gempa di Aceh," Yusuf menambahkan.
Kini, kata Danny, yang harus diwaspadai adalah gempa di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Gempa terakhir di kepulauan itu terdiri dari dua segmen, yaitu di bawah Pulau Siberut pada 1650-an dan Sipora Pagai pada 1833. Periode ulangnya rata-rata 230 tahun "Itu sudah kita teliti habis-habisan. Skenario terburuk: segmen Siberut dan Sipora Pagai bisa melepaskan energinya bersama-sama. Kekuatannya bisa sampai 9 magnitudo," ujar Danny. Bila itu tercipta, sungguh tak nyaman hidup di negeri berselimut gempa.
Wuragil, Tjandra Dewi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo