"TIDAK mungkin, kamu bohong!" kata Rudy Nurcahyo pada dokter yang memeriksanya. Teriakannya menggema di ruang periksa Rumah Sakit Trabajador, Santiago, ibu kota Cili. Ia tidak percaya bahwa keempat ruas jarinya akan dipotong akibat radang beku. Untuk kesekian kalinya ditatapnya keempat ujung jarinya yang telah menghitam. Apa boleh buat, akhirnya ruas teratas jari manis, jari tengah, dan telunjuk tangan kanan serta satu ruas jari manis tangan kirinya harus direlakan untuk dibuang. Sebelumnya ia masih berharap, serangan radang beku itu tak sampai mematikan saraf-saraf ujung jarinya. Tapi ketika tim dokter menusukkan jarum ke ujung jari-jarinya, rasa sakit yang biasanya segera muncul tidak ia rasakan. Ujung-ujung jari Rudy telah mati rasa akibat frostbite atau radang beku itu. Ketika Rudy berangkat dalam tim Mapala UI untuk pendakian Aconcagua, 7 Februari 1992, tidak ada bayangan sama sekali ia akan menjadi orang Indonesia pertama yang kehilangan jarinya karena radang beku. Sepanjang pengalaman pendaki Indonesia, hanya tim ekspedisi Pumori dari Wanadri yang sempat mengalami serangan dingin pada jari-jari ini. Tapi tim Wanadri dari Bandung itu tak sampai diamputasi. Sebenarnya, hingga pendakian dimulai, semua terbilang lancar. Pihak KBRI di Santiago dengan ramah menyediakan mobil yang mengantar tim Mapala UI ini hingga Puenta Del Inca, desa kecil di kaki selatan Aconcagua, yang sudah berada di wilayah Argentina. Lima anggota tim itu pun tak mengalami masalah apa pun dalam menyesuaikan diri dengan iklim setempat. Pada 16 Februari tim sudah mencapai Plaza Argentina, yang berada di ketinggian 4.200 meter. Di situ mereka mendirikan kemah utama (base camp). Masalah mulai muncul esok harinya, 17 Februari. Cuaca dirasakan semakin tidak menentu dan es terlalu keras di Gletser Polacos. Dalam pendakian selanjutnya, yang makan waktu tujuh hari, tiga pos pendakian didirikan: kemah I (di ketinggian 4.625 meter), kemah II (5.400 meter), dan kemah III (6.300 meter). Dari kemah III tim memutuskan melipir ke rute normal di Plaza Independencia (6.400 m), karena menduga rute ini lebih mudah ditempuh. Pada hari kedelapan, Senin 24 Februari, tim ini beristirahat untuk persiapan melakukan penaklukan puncak atau summit attack esok harinya. Sesuai dengan rencana, Selasa pagi itu Didiek Samsu dan Norman Edwin mulai mendaki ke puncak Aconcagua. "Cuaca memburuk, dan angin badai bertiup kencang," cerita Dian Hapsari, satu-satunya wanita dalam ekspedisi ini. Maka, Didiek dan Edwin kembali turun setelah mendaki sekitar 150 meter. Karena penundaan summit attack ini, Didiek dan M. Fayez kemudian turun ke kemah II untuk mengambil perbekalan tambahan. Dalam perjalanan turun ke kemah II inilah Fayez mengalami kecelakaan. Pada jarak sekitar dua meter dari tempat yang hendak dijadikan tempat istirahat, dalam perjalanan melipir itu, Fayez tergelincir jatuh ke jurang hingga 500 meter. Kecelakaan ini mengakibatkan tangan kanan Fayez tak bisa digerakkan. Didiek, yang berusaha menolongnya, kehabisan tenaga. Didiek lalu kembali ke atas memanggil Norman dan Rudy. Hari mulai gelap. Tapi tentu saja anggota tim tak mungkin membiarkan Fayez yang tak bisa menggerakkan tangan berada di bawah. Dan orang yang paling prihatin saat itu adalah Becak, panggilan akrab Rudy. "Pikiran saya hanya tertuju pada Fayez, bagaimana menyelamatkan dia secepat mungkin," katanya mengenang. Becak dan Norman segera melakukan glissading, teknik melorot di medan es, untuk memburu waktu. Norman di atas, Rudy di bawah. Kendali mereka adalah kapak es. Mau tak mau pecahanpecahan es yang terkapak menerpa sarung tangan wol yang mereka beli di Santiago. Lama-kelamaan Rudy mulai merasakan ujung jari-jarinya tangannya membeku. "Pada waktu itulah saya rasa radang beku mulai menyerang. Saya lebih parah daripada Norman karena tangan saya lebih sering terkena es dibandingkan tangan dia," cerita Rudy. Pada saat keduanya mencapai Fayez, badai salju bertiup. Suhu udara turun dengan tiba-tiba. Dan malam turun sudah. Sulit rasanya bagi mereka untuk kembali naik ke kemah III. Lebih mudah bagi mereka bertiga meluncur turun ke kemah II. Dan yang kedua itulah yang mereka pilih. Esoknya mereka turun ke Puenta de Vacas, salah satu desa kecil macam Puenta del Inca, tempat untuk memulai pendakian ke puncak Aconcagua. Di Puenta de Vacas, 10 km di timur Puenta del Inca, inilah rupanya tim ini kembali utuh: anggota yang malam itu masih berada di kemah III rupanya kemudian juga turun gunung. Dari De Vacas tim Mapala UI ini lalu mencari kota terdekat yang punya rumah sakit, dan itulah Uspallata, 60 km di timur laut. Sial, birokrasi di rumah sakit ini begitu berbelit, hingga tim tersebut memutuskan untuk mencari rumah sakit yang lebih besar, dan itu berada di Mendoza, sekitar 60 km di tenggara Uspallata. Perjalanan dari Puenta de Vacas sampai Mendoza menghabiskan waktu tiga hari. Waktu mereka sampai di rumah sakit di Mendoza, ujung jari tangan Rudy sudah mulai menghitam. Pihak rumah sakit menyatakan bahwa Rudy dan Norman memang terkena frostbite, dan harus dilakukan pemotongan. Tapi rumah sakit di Mendoza itu sendiri tak berani melakukan amputasi. Rudy sendiri merasa bekum yakin dengan diagnosa tersebut. "Saya belum yakin kalau itu frostbite dan harus dipotong," tuturnya. Karena itu mereka lalu menyeberang perbatasan, ke ibu kota Cili, Santiago, yang berada sekitar 180 km dari Mendoza. Perjalanan itu bisa mereka lakukan dengan lancar karena pihak Kedubes RI di Santiago rupanya mengirim orang ke Mendoza. Di Santiago observasi lebih lanjut dilakukan di Rumah Sakit Trabajador. Setelah jari-jari Rudy dites dan ternyata sudah kehilangan kepekaan, ia mengaku syok. Di sinilah puncak emosinya keluar hingga ia berteriak membantah pada dokter yang memeriksanya. "Tetapi sesudah berteriak itu saya pasrah. Selama dua hari pengamatan lanjutan saya hanya berdoa. Mengharapkan ada mukjizat atau apa," tuturnya. Selama dua hari itu beberapa dokter datang bergantian melihat perkembangan kasus yang jarang itu. Mereka kadang-kadang berdiskusi sambil menunjuknunjuk tangan Rudy. "Untuk memberi perlindungan mental, sejak hari kedua, keempat jari saya dibalut perban," tambah Rudy lagi. Dan mukjizat yang ditunggu Rudy tak juga datang. Pada tanggal 6 Maret 1992, amputasi terhadap beberapa ruas jarijari Rudy dilakukan. Pembiusan dilakukan pada pukul 12.00, dan pada pukul 17.00 Rudy sudah siuman. "Saya siuman dengan tidak merasakan apa-apa. Tangan yang dibungkus pun sama, tidak ada perubahan. Baru esok hari saat dibuka, saya ngeri melihat ujung jari saya hilang, apalagi ada jahitan-jahitannya," tutur Rudy. Untunglah, hal itu tak sampai menjatuhkan mental Rudy. "Saya sudah siap dan tidak terlalu terpengaruh," katanya. "Tiga hari kemudian saya sempat menemani Norman dan Didiek berbelanja, lalu mengantar mereka ke stasiun Tobalaba untuk kembali ke kaki Aconcagua untuk pendakian kedua." Pada tanggal 18 Maret amputasi kedua terhadap ujung jari kelingking kanan Rudy dilakukan. Kali ini Rudy lebih siap menghadapinya. Tapi ada yang membuatnya bimbang, ia bertanya-tanya bagaimana perasaan Didiek dan Norman yang sedang berjuang menaklukkan Aconcagua. "Mudah-mudahan cacat saya tidak menjadi beban mereka berdua," tutur Rudy. Dan kini semua tahu, pertanyaan Rudy tak ada jawabannya. Kedua rekannya itu tak sempat memberikan jawaban. Kini Rudy hanya berpikir untuk meneruskan cita-cita kedua almarhum. Tekadnya sudah bulat: "Saya akan menabung untuk kembali ke sana, ke puncak Aconcagua."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini