Apa yang terakhir selama empat hari di puncak Aconcagua ,ketika badai salju mengamuk, dan Norman Edwin serta Didiek Samsu berada di sana? Itulah salah satu hal yang dicoba diungkapkan oleh Tantyo Bangun, anggota Mapala UI, dalam obituarinya tentang kedua seniornya, yang jenazahnya tiba pekan ini di jakarta dari Santiago, berdasarkan dokumen-dokumen yang disimpan oleh Mapala UI. NORMAN Edwin ditemukan di ketinggian 6.650 meter, hanya sekitar 300 meter dari Puncak Aconcagua. Ia telungkup menghadap ke puncak, dalam posisi masih mendaki. Di tangannya masih tergenggam kapak es, dan di punggungnya masih tergendong ransel merah yang di dalamnya tersimpan bendera Mapala UI yang sedianya akan dikibarkannya di puncak. Sampai napas terakhirnya, pendaki berusia 37 tahun itu masih mencoba untuk pantang menyerah. Cuma, seperti kata penyair Chairil Anwar, "tapi dulu memang ada suatu bahan, yang bukan dasar perhitungan kini." Kapan dan di mana kita akan kembali padaNya, hanya Yang Mahapencipta yang tahu. Berita kematian Norman sampai di Posko Musibah Aconcagua di Jakarta esok harinya, Selasa 3 April 1992. Seorang pegawai Departemen Luar Negeri mengantarkan selembar teleks. Adi Seno, anggota senior Mapala UI yang menginap di Posko, turun ke bawah menerimanya. Tak lama Adi naik ke atas dan menyerahkan teleks itu kepada yang lain tanpa sepatah kata pun. Lalu ia menangis. Semuanya maklum sudah. "Pada hari ini tanggal 2 April pukul 14.15 kami menerima berita dari Direktur Defensa Sipil Mendoza, Dr. Jose Ignacio Ortegala yang memberitakan bahwa Saudara Norman Edwin sudah ditemukan meninggal dunia di Gunung Aconcagua pada ketinggian 6.700 meter...." Itulah bunyi teleks yang diterima Adi. Sebenarnya, setelah lebih dari tiga hari kami tak menerima berita tentang Norman Edwin, sahabat dan guru kami di Mapala UI, kami "sudah siap" untuk menerima kemungkinan yang terburuk. Toh, kami tak bisa mencegah pelupuk mata berkacakaca. Awalnya adalah berita faksimile Rudy Nurcahyo, anggota ekspedisi yang memantau dari Santiago. "Yang ini rada serius. Tanggal 22 Maret tim SAR Aconcagua menelepon ke Wisma Duta bahwa Tim (Norman Edwin dan Didiek Samsu) ada masalah dan sampai sekarang belum tiba di Puenta Del Inca. Saya dan Bapak Duta Besar Soekarno akan berangkat ke Puenta Del Inca untuk memastikannya." Kepastian didapat pada tanggal 24 Maret. Carlos Tenjerina, seorang pendaki profesional yang bekerja di Hotel Plaza de Mulas, bertemu dengan Soekarno dan Rudy. Ia bercerita bahwa Didiek ditemukan meninggal, dan Norman masih dalam pencarian. Jenazah Didiek ada pada ketinggian 6.400 meter di Refugio Independencia. Sedangkan Norman hanya ditemukan jejaknya turun ke arah Gletser Polacos. Terminal subway Tobalaba, Santiago, Rudy Nurcahyo berpesan pada Didek dan Norman, sesaat sebelum kedua orang itu kembali ke Mendoza untuk mengulang pendakian pertama yang gagal: "Yang penting selamat. Saya tidak mau ada korban jiwa." Menurut Rudy, mereka tak menjawab, "Seperti biasa, hanya senyumsenyum cengengesan." Berita ditemukannya mengakhiri perdebatan, menyatukan kami kembali. Selama hampir dua minggu harapan itu telah membelah kami. Sebagian di antara kami masih optimistis, sebagian lagi tak banyak berharap. Yang optimistis bilang, ada kemungkinan Norman masih hidup karena belum ada bukti ia meninggal. Mereka juga berpegang pada pengalaman-pengalaman sebelumnya. Dalam beberapa kali penjelajahan, Norman selalu lolos dari maut. Tapi optimisme itu sebenarnya lebih mewakili ketidakrelaan emosional dari sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Semua tahu bahwa medan yang kini dihadapi Norman bukanlah medan yang pernah ia hadapi. Aconcagua dijuluki puncak Gunung Setan, karena alamnya yang tak bersahabat dan badai salju serta anjloknya suhu bisa terjadi tanpa isyarat lebih dahulu. Dengan gambaran seperti itu, kami yang optimistis berharap Norman sedang berusaha survive entah di lereng mana, di ketinggian berapa di Gunung Aconcagua. Namun hari demi hari harapan makin menipis. Ada secercah harapan datang dari Letkol. Juan Antonio Tora, komandan SAR Argentina. Ia menyimpulkan, Norman kemungkinan besar terjebak di padang crevasse (celah es) di bawah kaki Gletser Polacos. Berita yang menyebabkan Karina Arifin, istri Norman, yang selalu mencoba optimistis bertanyatanya, "Apa benar begitu beritanya? Apa itu maksudnya bukan pendaki lain?" Ternyata memang bukan pendaki lain, tapi asumsi pihak SAR Gendermarie Argentina itu meleset. Pihak SAR tersebut menduga-duga nasib Norman berpegang pada temuan Carlos Tenjerina, anggota SAR yang menemukan jenazah Didiek Samsu, bahwa ada jejak turun ke bawah. Berdasarkan itu, pencarian diarahkan dari Refugio Independencia (6.400 meter), tempat ditemukannya jenazah Didiek ke arah bawah. Tapi, di Jakarta, saya dan beberapa teman merasa ada sesuatu yang aneh dengan berita itu. Jika Didiek ditemukan meninggal dan Norman diasumsikan berjalan turun, Norman tentunya tidak sulit mencari pertolongan, dalam kondisi lemah sekalipun, karena rute tersebut adalah rute normal dengan medan yang bagi Norman yang bepengalaman itu tentulah tidak terlalu sulit. Nasib paling buruk, seandainya Norman sudah tidak sanggup lagi berjalan, tentunya ia akan ditemukan di bawah Didiek. Saya saat itu lebih condong untuk memperkirakan Norman ada di suatu tempat di atas Didiek. Dia pasti berusaha mencapai puncak. Sedangkan kondisi terakhir Didiek masih menjadi tanda tanya. Apakah saat itu ia juga bersama Norman berupaya mencapai puncak ataukah ia hanya menunggu di Independencia. Keduanya pernah berada di Independencia pada summit attack yang gagal, 25 Februari. Kini nyata sudah, Didiek menunggu di bawah, dan Norman terus mendaki. Temperamen kedua orang ini memang unik. Norman, walaupun usianya lebih tua, lebih temperamental daripada Didiek. Meski bukan berarti Didiek seorang penyabar jika dipakai pengertian umum. Ditambah dengan sifat keduanya yang penuh disiplin diri dan keyakinan diri bila berada di alam bebas, tampaknya faktor watak bisa menjelaskan kejadian yang menimpa mereka ini. Keduanya dikenal suka mengambil risiko, yang sering memiriskan hati banyak orang. Norman misalnya, sehabis diamputasi ruas sebuah jarinya, masih berkata dengan ringan, "Hilang satu ruas jari tidak apaapa, yang penting telah menyelamatkan satu nyawa." Maksudnya tentu tentang bagaimana ia dan Didiek terpaksa melakukan glissanding bersama Rudy untuk menyelamatkan Fayez (lihat Jari-jari Rudy yang Menghitam). Dan teman-teman di Mapala UI tentu tak akan lupa bagaimana Didiek pernah berujar, "Kalau gua dilarang naik gunung ama kantor gua, gua keluar." Kekerasan tekad seperti itulah tampaknya yang kemudian mengantar mereka mendaki kembali Aconcagua meski telah mendapatkan pengalaman pahit sebelumnya. Tanggal 12 Maret, mereka berangkat kembali naik ke Plaza De Mulas, setelah pendakian tanggal 25 Februari gagal. Padahal kondisi fisik mereka tampaknya kurang prima. Menurut laporan pendaki Inggris yang bertemu dengan mereka di Independencia, kondisi mereka sudah mulai menurun. Tanggal 19 Maret adalah waktu terakhir mereka diketahui dalam keadaan hidup. Empat hari kemudian Didiek ditemukan meninggal. "Kami harus turun karena masih banyak puncak-puncak lain yang akan didaki," akhir tulisan yang sering digunakan Didiek Samsu dalam laporan pendakiannya. Posisi Didiek saat ditemukan seperti orang yang sedang istirahat. Ia bergolek di karung tidurnya. Satu tangannya berada di atas kepala. Tangan satu lagi memegang goggles, kacamata khusus, tersandar di perutnya. Perlengkapan mendaki masih melekat di badannya. Tampaknya ia sedang menunggu. Carlos Tenjerina, yang menemukan Didiek, menduga hipotermia dan penyakit gunung mencabut nyawa Didiek. Hipotermia terjadi karena suhu tubuh menurun dengan cepat, sedangkan tipisnya oksigen, penyakit gunung itu, menyebabkan kapasitas kerja fisik menurun disertai rasa kantuk yang hebat. Norman, menurut ahli mendaki gunung dan anggota SAR Argentina itu, kemungkinan terkena gejala yang sama. "... kami melangkah dan mendaki kembali. Saat itulah saya merasa kantuk yang luar biasa. Gejala penyakit gunung. Beberapa kali saya hampir tertidur. Saya terus berusaha menambah ketinggian dengan mengayunkan kapak es dan menancapkan crampoon." (Norman Edwin pada laporan pendakian McKinley). Mengenai apa yang menimpa mereka antara tanggal 19 dan 23 Maret, semuanya masih ada dalam rekaan. Cuaca di sekitar puncak Aconcagua pada tanggal 18 dan 19 dilaporkan berbadai. Tanggal 20, cuaca di sana tidak jelas. Tanggal 21 hingga 23 dilaporkan cuaca Aconcagua cerah. Tim SAR mempunyai dua skenario. Pertama, keduanya mendaki bersama-sama dan setelah sampai di puncak, Didiek sampai di Independencia terlebih dahulu dalam keadaan lemah. Ia menunggu Norman tapi yang ditunggu rupanya mengalami sesuatu. Skenario kedua, Norman meneruskan mendaki dan Didiek menanti hingga ajal masing-masing menjemput. "Dian, pokoknya kalau di atas nanti kamu ngantuk banget jangan sampai ketiduran. Kalau ketiduran bisa keterusan 'lewat' nggak bangun-bangun," (Nasihat Didiek kepada Dian Hapsari saat pendakian pertama.) Kedua orang ini memang tumbuh bersama-sama di kegiatan alam bebas. Didiek, 31 tahun, memang banyak belajar dari Norman. Kemudian ia perlahan tapi pasti bisa menyejajarkan diri dengan "guru"nya itu. Mereka berkenalan ketika Didiek mendaki Gunung Semeru. Ketika itu ia masih di kelas II SMA. Setelah itu Didiek masuk UI. "Gua inget waktu masih botak habis ikut plonco di Arkeologi, sudah diajak naik gunung sama Norman," cerita Didiek suatu ketika. Jalan hidup keduanya memang agak sedikit mirip: bertualang di alam bebas namun tertib di keseharian. Didiek paling sering mendapat jatah mengurus administrasi perjalanan atau memegang keuangan dalam ekspedisi-ekspedisi kami. Sedangkan Norman dengan buku karyanya membuktikan dirinya seorang petualang yang berpengetahuan. Di rumah, Didiek, arek Malang yang jadi wartawan majalah Jakarta-Jakarta, berbahasa Jawa halus kepada kedua orangtuanya. Sedangkan di luar, dengan teman-temannya, ia fasih berprokemprokem. Dan Norman dengan Melatinya, yang kini 7 tahun, ah, siapa yang tak trenyuh melihat ayah dan anak ini mendaki gunung bersama? Kebersamaan Norman dan Didiek kemudian terwujud dalam Pendakian Puncak Tujuh Benua. Norman, yang saat itu hampir dua tahun absen dari kegiatan Mapala UI, saya ajak bergabung kembali untuk menaklukkan McKinley. Ia setuju dan berlatih kembali bersama rekannya yang jauh lebih muda. McKinley dan Elbrus kami taklukkan. Didiek kemudian sempat dua kali ke Carstensz. Sedangkan Norman berhasil menebus kegagalannya dahulu di Kilimanjaro pada bulan Oktober 1991 lalu. Selama mendaki McKinley, Elbrus, hingga Aconcagua, yang mereka cemaskan bukanlah pada pendakiannya. Mereka cemas akan anggapan miring yang dilontarkan terhadap kegiatan alam bebas. Mereka juga cemas akan peneruspenerus mereka. Upaya membawa tiga yunior mereka dalam pendakian Aconcagua adalah untuk menjawab kecemasan itu. "Gua heran, anak-anak muda sekarang makin segan pergi naik gunung. Sepertinya generasi sekarang makin manja, jauh dari alam," Norman menggerutu. Keluhan mereka berdua yang lain adalah soal makin sulitnya kami mencari dukungan untuk rangkaian ekspedisi ini. Memang banyak orang menilai bahwa kegiatan mendaki gunung adalah untuk kepuasan pribadi semata. Tapi, begitu orang berhasil, ditulis di mediamedia, baru orang ikut bangga. Persamaan lain antara Didiek Samsu, anak ketiga dari lima bersaudara, dan Norman Edwin: mereka paling konsisten dalam pendakian di antara anggota Mapala UI. Mereka berdua juga sama-sama petualang yang mencari hidup sebagai wartawan. Dan kalau mereka berdua sama-sama nekat mencoba menaklukkan Aconcagua, itulah keputusan yang diambil antara seorang pendaki dan gunungnya. Ini adalah masalah paling pribadi. Kita memang tak tahu apa yang ada di benak si bujangan Didiek dan si bapak satu anak Norman. Orangorang yang cenderung atau terbiasa berpikir praktis pasti setuju bahwa kegiatan mendaki gunung adalah "perjuangan penuh risiko tak untuk apa pun". Tapi bukankah penyair Chairil Anwar, yang dikutip di awal tulisan ini, juga pernah menulis bahwa "Hidup hanya menunda kekalahan ... Sebelum akhirnya kita menyerah"? Mungkin dalam "kesia-siaan" itulah, di atas puncak yang sepi dan dingin, justru terasakan dengan nyata betapa rapuh, kecil, dan tak berartinya manusia ini. Dan karena itu justru ada terasa suatu makna hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini