Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Gelap Titik Nol Anyer

Tak Banyak Data Menyebutkan Ihwal Pembangunan Jalan Raya Pos Di Wilayah Banten. Multitafsir Tentang Titik Nol Anyer-panarukan.

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hujan baru saja berhenti. Dua pemuda itu menikmati pemandangan laut. Di tepi dermaga, mereka mendatangi tugu titik nol setinggi hampir satu meter yang dibangun pada Juni tahun lalu. Tak jauh dari tugu peringatan itu, terlihat Mercusuar Anyer, yang sedang dibenahi paving block-nya di bagian kaki menara. Di sinilah selama ini khalayak menganggap titik nol alias awal pembangunan jalan raya yang membentang dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1.000 kilometer.

Mercusuar ini berada di pinggir Jalan Raya Anyer, Anyer Kidul, Cikoneng, Serang. Titik awal pembangunan Jalan Raya Pos atau Grote Postweg hingga kini masih belum disepakati apakah betul persisnya di Mercusuar Anyer. Pernah ditulis dalam tugu penanda (kini tugu itu sudah tak ada) titik nol dengan angka 1806. Padahal Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels menginjakkan kaki di Jawa pada 1808.

Sejarawan Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, yang banyak mempelajari Daendels, menyebutkan Daendels turun dari kapal di Pelabuhan Anyar (Pelabuhan Anyer sekarang). Dia juga menduga titik nol berada di Pantai Anyar, meski sekarang sudah tak ada jejak dan menjadi laut.

Pelabuhan Anyer kini merupakan pelabuhan kecil yang sepi, tak jauh dari Pasar Anyer. Letaknya 400 meter masuk melalui jalan selebar tiga meter dari Jalan Raya Serang. Di pelabuhan itu hanya terdapat dua bangunan milik Kementerian Perhubungan, halamannya ber-paving block, dan beberapa perahu nelayan tertambat. Siang itu Tempo melihat tak ada aktivitas bongkar-muat.

Mantan Ketua Bantenologi IAIN Sultan Maulana Hassanudin, Mufti Ali, juga tak yakin apakah titik nol dimulai dari Pelabuhan Anyar atau di dekat mercusuar. Sebab, menurut dia, mercusuar itu sudah ada sebelum Daendels datang. "Kalau hadis, tempat mendaratnya Daendels dan titik nol pembangunan itu hadis yang belum sahih," ujarnya.

Dari mercusuar itu, jalur ke utara adalah jalur menuju Jakarta melalui Cilegon dan Serang. Sepanjang kiri-kanan jalan kini merupakan kawasan industri berat. Selepas dari Kota Serang, jalan ke Jakarta bisa ditempuh melalui Ciruas, Kragilan, dan Cikande. Di sini kini juga terdapat belasan pabrik-pabrik gula, kopi, baja, bahan kimia, dan lainnya. Setelah Cikande, jalan sedikit berbelok, menuju Balaraja, hingga menembus Jalan Daan Mogot, yang merupakan wilayah Tangerang. Truk kontainer dan bus antar-jemput karyawan pabrik memadati kawasan ini.

Sebelum ada jalan tol Jakarta-Merak, rute Cilegon-Serang-Cituas-Kragilan-Cikande-Balaraja ini merupakan rute utama Jakarta-Serang hingga Merak. Djoko Marihandono menjelaskan bahwa rute ini sebagai rute asli Grote Postweg. "Cuma satu itu jalan, lurus sampai masuk Daan Mogot," ujarnya.

Yang memperkuat bukti jalan raya ini merupakan jalan asli Raya Pos adalah pada masa lalu lebar jalan ini tujuh-delapan meter, di sisi kiri-kanan jalan terdapat parit sebagai tanda jalan ini terpelihara. Setiap beberapa meter ditanami pohon asam atau pohon ambon atau semacam pal, tugu kecil. "Saya masih lihat jalan itu sejak saya kecil sampai 1990-an, hilang ketika mulai pelebaran jalan," ujar Mumu Muhtadi, salah seorang tokoh di Desa Cikande.

Di rute asli ini kini tak banyak bus antarkota atau antarprovinsi melintas. Bus antarprovinsi yang kerap terlihat hanya sampai Balaraja. Untuk mencapai Serang, penduduk hanya mengandalkan kendaraan pribadi atau angkutan kota. "Dulu mah ramai. Tanggung juga kali ya untuk bus. Sekarang, ya, cuma bus jemputan karyawan yang banyak," ucap Hafid, 39 tahun, warga Kragilan.

Yang menarik, ada sejarawan yang menyebutkan Daendels juga membangun jalur selatan melewati Lebak hingga Jasinga. Jalur menuju pedalaman ini, menurut pensiunan Pusat Penelitian Cagar Budaya Serang, Obay Sobari, adalah untuk mengangkut hasil bumi dan perkebunan. Sedangkan menurut pengajar sejarah di program studi sejarah STKIP Setiabudi Rangkasbitung, Neli Wachyoedin, rute Lebak-Jasinga juga dimanfaatkan penguasa lokal Kesultanan Banten.

Tapi data tentang "cabang lain" jalan Daendels di Anyer ini masih minim. Cerita tentang pembangunan Jalan Raya Pos di kawasan Banten tak banyak terkuak. Wachyoedin menduga ada data perjalanan Daendels yang belum dipublikasi. Dia mendengar, untuk pengerjaan jalan Tangerang-Balaraja, Daendels meminjam tenaga kerja rodi etnis Tionghoa dari Kapiten Tionghoa dari Sewan hingga 8.000 orang. Di Anyer, Demang Cilegon konon mengerahkan buruh perkebunan kapas hingga 2.700 orang. "Mencari tenaga kerja pribumi di Banten saat itu sangat sulit karena orang Banten saat itu banyak yang mengungsi, terutama ke Lampung, ketimbang dipaksa bekerja," kata Wachyoedin.

Dari data sejarah Kesultanan Banten sendiri, Daendels minta buruh untuk proyek pembangunan pelabuhan Teluk Lada, Ujung Kulon, buat pertahanan militer sebanyak 1.000-1.500 orang per hari. Sultan Aliyudin II menolak memenuhi permintaan Daendels. Menurut Mufti Ali, utusan Daendels, Letnan Du Puy, malah dipenggal kepalanya, dan memicu kemarahan Daendels.

"Ini yang kemudian memicu Daendels membumihanguskan Keraton Surosowan pada 22 November 1808," ujar Mufti Ali. Cerita tentang Letnan Du Puy sangat terkenal di masyarakat. Bahkan sempat muncul cerita mistis. Ada yang pernah melihat sosok tinggi besar tanpa kepala muncul di dekat sisa-sisa pintu gerbang Keraton Surosowan kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus