Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua kali Sultan Agung berusaha menyerang Batavia, pada 1628 dan 1629. Serangan pertama dipimpin Tumenggung Bahurekso dari Tegal. Serangan kedua dipimpin Adipati Ukur. Dalam serangan kedua, pasukan Mataram mendirikan lumbung-lumbung beras di Cirebon, Gebang, dan Karawang.
Selain dengan armada kapal yang digerakkan dari Jepara dan Tegal, Sultan Agung mengerahkan pasukan darat yang berkonvoi dari Yogyakarta menuju Batavia. "Pasukan Sultan Agung itu melalui Purwokerto, lalu menyisir ke arah barat melalui utara," kata Suhartono, guru besar sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Ia memperkirakan sebelum serbuan ini dijalankan pun jalan yang digunakan pasukan Mataram tersebut sudah ada. "Karena sulit tentunya untuk sebuah ekspedisi militer jika harus membuka jalur lebih dulu, apalagi jika jalurnya belum diketahui," ujarnya.
Suhartono memperkirakan ada kemungkinan Herman Willem Daendels menggunakan jalan setapak karena alasan ekonomi. Selain menghemat biaya,?langkah ini sangat menguntungkan karena jauh lebih mudah dalam merekrut pekerja.? "Saat itu sudah?banyak permukiman di Pantai Utara. Juga mudah memerintahkan penguasa lokal mengerahkan tenaga kerja untuk menyelesaikan Jalur Pos," katanya. Suhartono memperkirakan pertemuan antara rute perjalanan Sultan Agung dan Jalan Pos ada di Tegal atau Brebes. "Mulai dari titik itu Daendels meneruskan ke sepanjang pantai utara arah timur," ujarnya.
Akan halnya Sudarmawan?Yuwono dari PT Pos Indonesia, ia melihat jalur jalan di masa Sultan Agung sesungguhnya bisa dilihat dari Babad Tanah Jawi. Dalam Babad Tanah Jawi disebutkan pasukan Mataram sudah harus berangkat dari Ibu Kota Kerta (sebelah tenggara Kota Yogyakarta) pada bulan Mei. Untuk mencapai Batavia diperlukan perjalanan 90 hari. Rute yang dipakai adalah menyusuri Pantai Utara Jawa Tengah, yaitu Pekalongan, Tegal, dan Cirebon, lalu membelok masuk pedalaman Jawa Barat, yakni Sumedang, Cianjur, dan Pakuan (nama Bogor belum ada), lalu turun ke Ciliwung menuju Batavia. "Saat itu kota-kota di sepanjang jalur tersebut pasti sudah hidup," kata Sudarmawan.
Geografi Jawa Tengah pada abad ke-17 juga dapat ditelusuri dari buku Fruin Mees, De Geschiedenis van Java. Buku ini memuat beberapa catatan perjalanan dari Batavia ke Mataram, termasuk rute perjalanan utusan VOC untuk beraudiensi kepada Sultan Agung di Keraton Kerta. Dari Batavia, mereka biasanya naik perahu menuju Tegal lewat Cirebon dan dari sana naik kuda ke timur lewat Sumber, Pemalang, Wiradesa, Pekalongan, Batang, dan Subah. Lalu masuk ke pedalaman Jawa Tengah, mendaki lereng Gunung Pakiswiring, Larangan, Tajem, yang kemudian turun menyusuri pinggir Kali Progo lewat Jumo, Pakis, Payaman, Tidar, Sukerwe, Turen, Ariapati, Minggir, dan Pingit, yang letaknya dua jam perjalanan dari ibu kota Mataram.
Pendapat bahwa Daendels memanfaatkan jalan-jalan tradisional sebelumnya juga disepakati Agus Aris Munandar, guru besar arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. "Misalnya jalan dari Batavia ke Bogor, itu sangat mungkin karena itu adalah jalan yang sudah lama ada," ujarnya. Agus memperkirakan ada beberapa segmen jalan dari Sultan Agung, bukan semuanya yang digunakan Daendels. "Karena rutenya ringkas, merupakan jalur ekonomi, dan strategis untuk pertahanan." Berbeda dengan pendapat ketiga pakar di atas, sejarawan Peter Carey memilih berhati-hati tentang rute Sultan Agung yang digunakan Daendels.?"Saya belum memiliki bukti tentang jalan yang dibangun Sultan Agung," ucapnya.
Sudarmawan sendiri, selain memperkirakan rute Sultan Agung dimanfaatkan oleh Daendels, memperkirakan ada potongan jalan lebih kuno yang juga mungkin dilalui Jalan Pos, yaitu rute perjalanan yang ditempuh Bujangga Manik, pandita Sunda abad ke-15. Bujangga Manik atau Prabu Jaka Pakuan adalah pangeran dari Kerajaan Pajajaran yang memilih hidup sebagai resi. Ia melakukan perjalanan menyusuri Pulau Jawa sebanyak dua kali. Pertama, ia hanya sampai di Semarang, kemudian kembali lagi dengan menumpang perahu ke Sunda Kelapa.
Yang kedua, ia menyusuri Jawa hingga Bali, lalu kembali lagi ke Bogor. Perjalanan yang diperkirakan terjadi pada 1478-1500 Masehi ini ia abadikan dalam lontar beraksara Sunda Kuno. Dalam tulisannya, ia banyak menceritakan keadaan geografis daerah yang dilewatinya. "Kalau membaca sejarah Kitab, pendeta dari Pajajaran, Bujangga Manik, juga melewati daerah-daerah di Jalan Pos itu, misalnya Pemalang," ujarnya.
Undang Ahmad Darsa, filolog dari Universitas Padjadjaran, menyebutkan rute yang diambil Bujangga Manik adalah jalan lama. "Dari naskah, saya bisa memastikan Bujangga Manik tidak membuka jalan atau rute baru, tapi memakai jalan yang sudah ada," ujarnya. Ia memperkirakan, beberapa lokasi yang menjadi rute Jalan Pos antara lain dari Bogor ke Puncak, Brebes, Pekalongan, Gresik, dan Panarukan menggunakan jalan ini.
Berbeda dengan Undang, Agus Aris Munandar ragu jalan yang diambil Bujangga Manik kemudian dikembangkan sebagai Jalan Pos Daendels. Pasalnya, menurut dia, perjalanan Bujangga Manik?adalah untuk tujuan ziarah. "Rutenya selalu mendekati gunung, karena di sana ada tempat pemujaan, kabuyutan,?atau pendidikan resi," ujarnya. Bujangga Manik, menurut Agus, memang tak jarang melalui jalan-jalan utama kala itu, termasuk Pajajaran Highway, istilah bagi jalan berbentuk busur yang menghubungkan Galuh atau Ciamis dengan Bogor. "Tapi kemudian ia mengambil jalan pintas menuju kebuyutan itu."
Titi Bachtiar, anggota kelompok riset Cekungan Bandung, juga menyebutkan Bujangga Manik kerap menggunakan jalan pintas dan menuju satu gunung ke gunung yang lain. "Saat menuju Sumedang, tujuannya ke Gunung Tampomas, setelah itu ke Gunung Slamet," ujarnya. Selain itu, beberapa gunung lain ia lewati dalam perjalanannya, di antaranya lereng Gunung Mahameru, Gunung Ceremai, Gunung Gajah, Gunung Merapi bagian selatan, dan Gunung Galunggung.
Agus juga menyebutkan Bujangga Manik memulai perjalanannya dari Bogor, ibu kota Pakuan Pajajaran,menuju utara,lalu belok kanan ke arah Bekasi Selatan hingga sampai di utara Purwakarta.?"Dia tidak menyusuri Pantai Utara, agak ke selatan. Jadi rutenya bukan di tengah dan bukan Pantura, tapi di antara Pantura dan tengah Jawa," ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo