Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Kriminalisasi Yang Terekam

Permintaan Pemutaran Rekaman Penyadapan Kriminalisasi Di Mahkamah Konstitusi Ditolak Pemimpin Sementara KPK. Sejumlah Orang Yang Ada Di Transkrip Rekaman Membenarkan Isi Komunikasi.

9 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NOVEL Baswedan berkukuh dengan kesaksiannya di Mahkamah Konstitusi pada 25 Mei lalu. Meski pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan sebaliknya, penyidik senior ini menegaskan ada bukti rekaman berisi teror, intimidasi, ancaman, dan dugaan kriminalisasi terhadap pemimpin dan pegawai lembaga itu pada Januari-Februari lalu. "Keterangan saya tetap," kata Novel, Selasa lalu.

Dalam sidang uji materi Pasal 32 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang diajukan Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto, anggota Biro Hukum, Rasamala Aritonang, menyampaikan keputusan pemimpin lembaganya. Keputusan diambil dalam rapat yang dipimpin ketua sementara, Taufiequrachman Ruki, pada 30 Juni lalu.

Hasil rapat itu tertuang dalam surat KPK nomor B-5245/01/06/2015 yang ditujukan kepada Mahkamah Konstitusi. Isinya tiga butir keputusan. Pertama, menyampaikan bahwa komisi antikorupsi tidak memiliki rekaman bukti kriminalisasi dan intimidasi. Butir kedua, pemimpin KPK menyatakan tidak pernah memerintahkan penyadapan yang berkaitan dengan dugaan kriminalisasi dan intimidasi.

Ketiga, jika terdapat rekaman, kriminalisasi, intimidasi, ataupun ancaman, menurut kelima pemimpin sementara komisi antikorupsi dalam suratnya, hal itu dilakukan perorangan. "Permintaan rekaman tersebut seharusnya langsung ditujukan kepada orang yang merekam, bukan kepada lembaga KPK," ujar Rasamala.

Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Adji, mengatakan rapat telah mengklarifikasi kebenaran rekaman hasil penyadapan. "Sama sekali tidak pernah ada sadapan dan rekaman," ujarnya.

Sejumlah pejabat level menengah di instansi penegak hukum justru menguatkan keterangan Novel Baswedan. Mereka membenarkan adanya rekaman penyadapan komunikasi sejumlah orang yang merancang kriminalisasi. Ada juga rekaman intimidasi terhadap penyidik dan pegawai KPK. "Rekaman itu ditranskrip beberapa orang," kata seorang narasumber yang mengatakan pernah mendengar rekaman tersebut.

Penyadapan bermula dari penyelidikan perkara dugaan permainan jual-beli jabatan pada masa transisi pemerintah dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Joko Widodo. Obyek penyelidikan adalah Hasto Kristiyanto, ketika itu pelaksana tugas Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan deputi tim transisi.

Ketika pemerintahan berganti, Presiden Jokowi mencalonkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian RI. Segera setelah itu, komisi antikorupsi pimpinan Abraham Samad menetapkan sang calon sebagai tersangka perkara suap dan gratifikasi. "Sejak itu, terekam percakapan suara orang mirip Hasto dengan beberapa orang," ujar seorang narasumber.

Dalam transkrip rekaman, orang yang diduga Hasto berbicara dengan orang yang ditengarai sebagai anggota Divisi Hukum PDI Perjuangan, Arteria Dahlan; Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Yogyakarta Komisaris Besar Karyoto; dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara Abdullah Makhmud Hendropriyono. Ada juga komunikasi Hasto dengan seseorang yang diduga Presiden Direktur PT Maknapedia Pusaran Utama Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto dan orang dekat Budi Gunawan.

Jauh sebelum Novel bersaksi di sidang, pemimpin KPK--masih diketuai Abraham Samad--pernah memperdengarkan sejumlah rekaman teror dan intimidasi kepada Tim Sembilan, Februari lalu. Tim Sembilan dibentuk Presiden Jokowi untuk meredakan ketegangan antara KPK dan Markas Besar Polri.

KPK menyerahkan pula sejumlah rekaman ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Februari lalu. Anggota Komnas HAM, Natalius Pigai, membenarkannya. "Ada rekaman CCTV, ada juga rekaman pembicaraan yang diduga intimidasi dari perwira polisi kepada penyidik KPK," katanya Kamis pekan lalu. Pigai membenarkan, lembaganya menerima beberapa rekaman lain, kendati dia menyatakan tidak mengetahui isinya.

****

ARTERIA Dahlan masih mengingat percakapannya dengan Hasto Kristiyanto, Januari lalu. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini mengatakan Hasto memintanya mengumpulkan data sengketa pemilihan Bupati Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2010. "Saya diminta mengumpulkan bukti-bukti keganjilannya," ujarnya Senin lalu.

Pernyataan Arteria memberi konfirmasi pada lalu lintas komunikasi yang tercantum dalam transkrip pembicaraan. Di situ tertulis, Hasto meminta Arteria mengumpulkan data pemilihan yang berakhir dengan kekalahan Sugianto Sabran, calon PDI Perjuangan, di Mahkamah Konstitusi. Seseorang yang diduga Hasto meminta Arteria secepatnya memenuhi permintaannya.

Arteria membenarkan isi pembicaraan dalam transkrip. Dia menyatakan, tiga hari setelah pembicaraan dengan Hasto, menyerahkan satu bundel dokumen dan rekaman persidangan sengketa hasil pemilihan Bupati Kotawaringin Barat. "Saya memberikan semua data yang saya miliki," kata Arteria, yang dalam sidang sengketa menjadi pengacara Komisi Pemilihan Umum Kotawaringin Barat. Adapun Bambang Widjojanto menjadi penasihat hukum Ujang Iskandar, calon yang menggugat hasil pemilihan.

Hasto juga tidak menyangkal berbicara dengan Arteria tentang pemilihan Bupati Kotawaringin Barat. Ia beralasan membicarakan soal itu untuk mendapatkan informasi sengketa di Mahkamah Konstitusi yang merugikan kader partainya. "Bukan untuk mengkriminalisasi Bambang Widjojanto," ujarnya.

Kendati disangkal, lalu lintas komunikasi kedua orang itu menggambarkan upaya pengaturan perkara untuk menjatuhkan Bambang Widjojanto, yang bersama Abraham Samad mengumumkan penetapan tersangka Budi Gunawan. Segera setelah komunikasi Hasto dan Arteria, Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri menyatakan Bambang sebagai tersangka pada 22 Januari 2015. Menurut polisi, Bambang mengarahkan saksi-saksi agar memberikan keterangan palsu dalam persidangan sengketa di Mahkamah Konstitusi.

Topik pembicaraan lain adalah pertemuan Abraham Samad dan Hasto di The Capital Residence, Jakarta Selatan, pada Februari 2014. Hasto dan Arteria disebutkan sedang menyiapkan bahan untuk menggelar konferensi pers yang menyatakan Abraham melanggar kode etik. "Nanti akan konferensi pers dan dibawa ke Capital, tempat pertemuan," kata seseorang yang ditengarai sebagai Hasto kepada Arteria.

Segera setelah itu, Hasto menggelar konferensi pers yang mengungkap pertemuannya dengan Abraham Samad di The Capital Residence. Pertemuan yang dibantah Abraham ini disebutkan sebagai penjajakan calon wakil presiden pendamping Jokowi. Lobi politik seperti ini terlarang bagi pemimpin komisi antikorupsi. Seusai konferensi pers pada 22 Januari 2015, Hasto membawa wartawan mengunjungi Capital Residence.

Hasto lagi-lagi tidak menyangkal komunikasi dengan Arteria. Dia mengatakan wajar mendiskusikan pertemuannya dengan Abraham kepada Arteria, yang juga menjadi pengacaranya. "Seandainya saat itu Pak Abraham mengakui pertemuan dengan saya, tidak akan seperti ini," ujarnya.

Arteria juga tidak membantah salinan transkrip percakapan dengan Hasto. Menurut dia, percakapan muncul karena keterangan koleganya di media massa ramai diperbincangkan di lingkup internal PDI Perjuangan. Ia menambahkan, pengurus pusat partai menugasinya mengklarifikasi kebenaran enam kali pertemuan Hasto dan Abraham. "Klarifikasi itu termasuk dengan mendatangi Pak Hendropriyono," kata Arteria.

Di samping dengan Arteria, ada percakapan dan komunikasi pesan pendek dua orang yang diduga Hasto dan Komisaris Besar Karyoto. Pembicaraan keduanya mengenai pertemuan Abraham dengan Jokowi menjelang pemilihan presiden di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, 3 Mei tahun lalu. Topik berikutnya yang dibicarakan adalah rencana pertemuan mereka di Hotel Oakwood di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

Karyoto tak menyangkal pembicaraannya dengan Hasto. Ia lalu mempersoalkan penyadapan. "Itu sudah melanggar aturan. KPK sewenang-wenang menyadap. Apa ada kasus korupsi yang disadap?" ia menjawab pertanyaan Tempo melalui pesan di telepon seluler, Senin lalu. Karyoto menyatakan tidak ada kriminalisasi terhadap Abraham dan Bambang.

Adapun Hasto menjelaskan, pertemuannya dengan Karyoto di Hotel Oakwood membahas tulisan Sawito Kartowibowo di situs Kompasiana yang berjudul "Rumah Kaca Abraham Samad". "Saya bertemu untuk memberi keterangan sebagai saksi atas pelaporan tulisan itu," ujarnya.

****

IHWAL tulisan "Rumah Kaca Abraham Samad" sebenarnya tak bisa dilepaskan dari Hasto. Hal itu terlihat dalam transkrip yang memuat percakapan seseorang yang ditengarai Hasto dengan Presiden Direktur PT Maknapedia Pusaran Utama Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto. Keduanya memperbincangkan rencana tulisan yang akan diterbitkan di Kompasiana guna menyerang Abraham dan Bambang. "Besok kita gebuk BW lagi dengan Kotawaringin Barat," kata seseorang yang disebutkan sebagai Anton kepada Hasto.

Percakapan keduanya ini tidak hanya melalui telepon. Ada juga pembicaraan lewat surat elektronik. Salah satu percakapan melalui Internet itu menggunakan alamat e-mail Anton. Anton ketika dimintai konfirmasi membantahnya. "Saya enggak tahu soal itu. Saya enggak ngerti apa yang kamu bicarakan," katanya singkat. Adapun Hasto menjawab diplomatis, "Saya akan jawab setelah KPK mengumumkan secara resmi bahwa mereka menyadap saya."

Percakapan berikutnya diduga Hasto dengan orang dekat Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Keduanya membicarakan bagaimana menanggapi kasus Budi serta perkara Abraham dan Bambang lewat media massa. "Penegak hukum kita hormati, kalau perlu dipuji-puji. Tapi yang besar itu ketika aspek etika dari AS dan BW yang juga melanggar hukum," ujar Hasto. Selanjutnya, orang dekat Budi itu menginformasikan ke Hasto bahwa Bambang sudah jadi tersangka.

Budi enggan menjawab saat dimintai konfirmasi di sela rapat dengan DPR, Senin lalu. Pengacaranya, Fredrich Yunadi, menampik adanya percakapan tersebut. "Jika ada pihak yang masih berani menyadap Pak BG, itu jelas perbuatan tindak pidana," katanya. Kali ini Hasto menyangkal pernah berkomunikasi dengan orang dekat Wakil Kepala Polri itu.

Novel Baswedan, yang juga menjadi obyek kriminalisasi, menyatakan rekaman penyadapan itu disimpan di komisi antikorupsi.

Rusman Paraqbueq, Yandhrie Arvian, Raditya Pradipta (jakarta), Iqbal T. Lazuardi (bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus