Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis terhadap Dwi Sumaji alias Iwik, terdakwa pembunuh wartawan harian Bernas Fuad M. Syafruddin, dijadwalkan pada 27 November 1997 atau 113 hari setelah sidang kasus ini dimulai. Di luar dugaan banyak orang, jaksa yang semula mendakwanya dengan empat pasal berlapis malah mengajukan tuntutan agar Iwik dibebaskan. Nasib Iwik sepenuhnya ada di tangan majelis hakim yang dipimpin Endang Sri Murwati, yang juga Ketua Pengadilan Negeri Bantul.
Sehari sebelum sidang, Endang bertamu ke rumah Sahlan Said, koleganya sesama hakim di Pengadilan Negeri Bantul. Salah satu hal yang dibicarakan adalah sidang kasus Udin—panggilan akrab Fuad Muhammad Syafruddin. "Saya bilang, kalau ingin membebaskan Iwik, tak usah takut. Wilayah tugas hakim kan berpindah-pindah," kata Sahlan, awal Oktober lalu, saat ditemui Tempo di rumahnya di Jalan Lingkar Selatan, kawasan Gonjen, Desa Tamantirto, Kasihan, Bantul.
Sahlan berusaha meyakinkan koleganya itu bahwa ia tak perlu takut atas apa pun putusan yang akan diambilnya, meski tak sejalan dengan aspirasi Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kabupaten Bantul. Sahlan pernah mendengar cerita dari Endang tentang kemarahan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo terhadap Udin karena beritanya. Sikap pengadilan yang berbeda memang bisa membuat Endang, yang juga anggota Muspida, tak nyaman.
Endang mengakui sengaja meminta pendapat sejumlah koleganya, termasuk Sahlan, sebelum sidang putusan Iwik. "Itu hanya minta pendapat. Musyawarah putusan tetap hanya saya bahas dengan hakim Suparno dan Mikaela Warsito," kata Endang saat ditemui Tempo di kediamannya di Perumahan Griya Alvita, Bantul, pertengahan September lalu. Suparno dan Mikaela adalah anggota majelis hakim kasus ini.
Mengenang peristiwa 17 tahun lalu itu, Endang mengakui bahwa ia terkejut dengan sikap jaksa yang dalam sidang 3 November 1997 menuntut Iwik dibebaskan dari dakwaan. Tapi, bagi dia, alasan di balik putusan majelis hakim kasus Udin bersikap sama dengan tuntutan jaksa adalah bukti dan saksi-saksi yang diajukan dalam sidang lemah sebagai dasar Iwik divonis bersalah.
Dalam sidang, hakim meninjau dakwaan berlapis jaksa yang membuat Iwik terancam hukuman mati. Dia dijerat dengan empat pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, semuanya tentang pembunuhan, dengan dakwaan primer pembunuhan berencana. Namun, dalam sidang, Iwik mencabut keterangan yang pernah disampaikannya kepada polisi pada 21-24 Oktober 1996, yang intinya Iwik cemburu terhadap Udin, yang punya hubungan asmara dengan istrinya.
Kata Iwik, pada mulanya ia dijanjikan akan diberi rumah dan pekerjaan serta dijamin keselamatannya dan keluarganya. Hasil pemeriksaan dalam sidang mengungkap bahwa "pengakuan dosa" Iwik ini adalah hasil skenario Edy Wuryanto, Ketua Tim 9 Polres Bantul, yang bertugas mengusut pembunuhan Udin. Majelis hakim dalam amar putusannya mengatakan, "Pencabutan keterangan ini bisa diterima."
Sikap hakim ini juga karena keterangan saksi yang mendukung klaim bahwa Iwik bukan pelaku pembunuhan. Sejumlah saksi, seperti Ponikem, Nur Sulaiman, dan Ayik Fatonah, dalam sidang tidak bisa memastikan bahwa ia pelakunya. Pengakuan lebih telak datang dari istri Udin, Marsiyem, yang sempat berbicara beberapa menit dengan orang yang dia yakini sebagai pembunuh suaminya. Dia yakin pembunuh suaminya berbeda dengan orang yang kini duduk di kursi pesakitan. "Tak satu pun saksi melihat terdakwa sebagai pelaku," kata majelis hakim.Â
Keterangan keempat orang ini diperkuat kesaksian tetangga Udin, yaitu Heri Karyono, Gunarso Wibowo, Sunarti, dan Ibu Hartowiyono alias Tuminem. Sunarti adalah istri Iwik, Tuminem adalah mertuanya. Keterangan keempatnya menyatakan, pada malam pembunuhan Udin, 13 Agustus 1996, Iwik ada di rumah dan tak ke mana-mana. Ia hanya keluar pada pukul 24.00 karena ada suara ribut di luar rumah, karena sepeda motor tamu tetangganya, Suzuki Tornado, hilang.
Saksi yang menyebut Iwik sebagai terdakwa adalah saksi tambahan jaksa, yaitu Diharjo Purboko, Slamet Wijayanto, dan Edy Wuryanto. Dua nama yang disebut belakangan adalah polisi. Dalam sidang, polisi pernah memperlihatkan foto terdakwa kepada Marsiyem. Saat itu Marsiyem mengatakan mulut orang di foto itu kurang besar dibanding pria yang ia temui dan kemudian membunuh Udin. Tapi polisi yang bersaksi itu tetap menduga Iwik pelakunya.
Hal yang sama terjadi pada barang bukti pipa besi berisi cor-coran semen sepanjang 35 sentimeter dan berdiameter 3 sentimeter, kaus lengan panjang warna merah, serta Vespa dengan nomor polisi AB-6739-KE. Pipa besi yang diduga sebagai alat Iwik memukul Udin itu tak cocok dengan keterangan saksi. Marsiyem mengaku pipa besi yang dipakai pembunuh suaminya lebih kecil, warnanya putih mengkilap, dan itu berbeda dengan bukti yang dibawa ke pengadilan.
Menurut jaksa, pipa besi ini diambil dari perusahaan Iwik bekerja, Dimas Advertising. Namun Ratna Ismartiana, karyawan administrasi Dimas, dalam sidang mengatakan bahwa pipa besi yang ada di perusahaannya berukuran lebih kecil, lebih panjang, lebih berkarat, dan berisi tanah. Dengan keterangan ini, hakim menganggap barang bukti itu tak cocok dan dinyatakan sebagai bukan alat yang digunakan pelaku pembunuhan.
Hal lainnya soal kaus lengan panjang warna merah terdakwa. Barang bukti ini tak sesuai dengan keterangan Marsiyem yang menyebutkan bahwa pelaku memakai kemeja lengan panjang merah bata dengan satu kancing bagian teratas yang terbuka. Saksi lain tidak ada yang menerangkan penganiaya Udin memakai baju kaus yang dijadikan bukti dalam sidang. Kesaksian ini membuat hakim yakin bahwa kaus itu bukan baju yang dipakai penganiaya Udin.
Begitu juga soal barang bukti Vespa. Ayik Fatonah adalah tetangga Udin yang mengetahui kejadian tak lama setelah Udin dipukul. Saat Marsiyem menjerit setelah melihat Udin terkapar bersimbah darah, Ayik ke luar rumah dan melihat orang yang diduga sebagai pelaku penganiayaan naik sepeda motor berboncengan ke arah utara. Sepeda motor itu jelas bukan jenis Vespa seperti yang diajukan dalam sidang.
Keterangan tetangga Udin, Heri Karyono, Gunarso Wibowo, Sunarti, dan Tuminem, menguatkan itu. Pada malam kejadian, Vespa yang dijadikan barang bukti itu ada di dapur rumah. Kalaupun Iwik membawanya keluar, tak mungkin Tuminem tidak tahu karena ia dan anak Iwik tidur di kamar bagian depan, yang dekat dengan jalan satu-satunya jika Vespa hendak dikeluarkan dari rumah.
Soal keterangan saksi ahli DNA Djaja Surya Atmadja dan ahli golongan darah Tunggono juga dikesampingkan hakim. Djaja hanya menafsirkan hasil uji DNA dari Universitas Strathclyde Glasgow, Inggris. Tunggono sekadar memeriksa golongan darah di sejumlah barang bukti. Sebab, barang bukti yang disita dari terdakwa bukan barang yang digunakan pelaku pemukulan.
Untuk itu, "Majelis berkeyakinan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Karena itu, Dwi Sumaji harus dibebaskan dari dakwaan tersebut," kata majelis hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo