Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jejak Sepi Sang Imam Mahdi

Makam kiai pendiri An Nadzir itu kini sepi. Pernah dianggap sebagai Kahar Muzakkar.

21 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bangunan putih berukuran sekitar 10 x 10 meter tempat pengajian Rabiyatul Adabiyah itu cukup mencolok di tengah permukiman warga di Jalan Pemuda Laut, Kelurahan Pangkalan Sesai, Dumai, Riau. Bentuknya kubus mirip Ka'bah. Di tengah-tengah bangunan yang dinamai pondok itu pun terdapat bangunan seperti Ka'bah lain, yang di dalamnya terdapat makam tak berbatu nisan.

"Itu makam Kiai Syamsuri Abdul Madjid," kata Mulyadi Fauzi, anak angkat Syamsuri, pendiri Rabiyatul Adabiyah. Di pondok itu jemaah melakukan pengajian dan salat berjemaah. Bagian dalam pondok yang berlantai dua itu tampak bersih dengan lantai keramik putih. Seluruh dinding bagian dalam dihiasi kaligrafi Al-Quran 30 juz.

Pada Kamis malam awal Juli lalu, sekitar pukul 20.30, pondok itu tampak sepi. Padahal malam itu bertepatan dengan malam kelima Ramadan. Menurut Mulyadi, sejak Kiai Syamsuri meninggal pada 2006, aktivitas pengajian mulai sepi. Kini anggota jemaah yang tersisa tinggal sembilan orang.

Mulyadi mengatakan sejak beberapa tahun lalu jemaah Kiai Syamsuri tidak lagi menggunakan nama An Nadzir. Segala identitas An Nadzir sudah mereka tinggalkan, termasuk papan nama yang sebelumnya terpampang di depan pondok bertulisan "Yayasan An Nadzir". Menurut dia, jemaah Kiai Syamsuri di Dumai tidak ada kaitannya dengan Jamaah An Nadzir di Desa Mawang, Sulawesi Selatan. Mulyadi mengakui, Kiai Syamsuri dan pemimpin Jamaah An Nadzir Mawang, Daeng Rangka, memang pernah bertemu, baik di Mawang maupun di Dumai. Namun hubungan mereka hanya sebatas guru dan murid.

Mulyadi mengatakan jemaah Kiai Syamsuri di Dumai mengaku kecewa terhadap anggapan yang terlalu berlebihan dari Jamaah An Nadzir di Mawang terhadap Kiai Syamsuri. Kiai Syamsuri, kata dia, tidak pernah mengajarkan aturan yang dibuat oleh Jamaah An Nadzir Mawang, seperti aturan harus berambut pirang panjang. Juga memakai jubah. Menurut Mulyadi, anggapan Al-Mahdi bagi Jamaah An Nadzir di Mawang sebenarnya hanya pendapat pribadi dari pemimpin mereka, Daeng Rangka, yang terlalu dibesar-besarkan. "Ini anggapan yang terlalu mengada-ada," katanya.

Ia juga kecewa ada sebagian orang menganggap Kiai Syamsuri sebagai Kahar Muzakkar, tokoh pemimpin DI/TII Sulawesi Selatan pada 1950-an. Mulyadi menegaskan, selama mengikuti pengajian sejak 1991, tidak pernah sekali pun Kiai Syamsuri mengaku sebagai Kahar Muzakkar. Setahu dia, Kiai Syamsuri adalah ulama dari Banjar, Kalimantan, yang kemudian menetap di Dumai.

Mulyadi menyatakan Kiai Syamsuri memang kerap melakukan perjalanan dakwah ke berbagai daerah hingga ke Malaysia dan Singapura. "Tapi dari mana datangnya anggapan bahwa dia adalah Kahar Muzakkar? Kami sedih," ujarnya.

Riyan Nofitra (Dumai), anwar siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus