Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rudy Wowor duduk di belakang meja. Ia mengenakan helm tentara. Pebalet terkenal itu bukan hendak berdansa flamenco. Malam itu ia menjadi seorang "narator". Di meja ada sebuah botol perlambang iblis. Ia membawa wayang klithik bersosok Untung Surapati. Ia menceritakan kisah seorang serdadu bernama Yusuf Dupraz.
"… Selepas dari hutan, Yusuf Dupraz makin kurus. Di jalan berdebu dia berjalan, di jalan berbatu dia berjalan. Berjalan lelah," ujarnya.
Di panggung mulanya kita melihat sebuah papan kotak persegi panjang yang menampilkan tiga pasang kaki sebatas dengkul beriringan berjalan jenaka dengan irama masing-masing. Kaki-kaki itu seolah-olah mengejawantahkan langkah serdadu Yusuf menapaki jalan panjang penuh batu. Komposisi Igor Stravinsky menyeruak. Kaki-kaki seolah-olah menyesuaikan langkahnya dengan ketukan komposisi.
Kaki-kaki itu kemudian menghadapkan telapak kakinya ke arah penonton. Mereka memainkan jempolnya dan kembali seperti berjalan. Sepasang kaki terlihat seperti sedang mengatasi rasa gatal di betis kiri dengan jari kaki kanannya.
Pemilik tiga pasang kaki ini kemudian memunculkan seluruh badannya di panggung, lalu bergerak cepat memindahkan papan kotak berukuran hampir 1 x 1 x 1 meter. Tiga penari, Rury Avianti, Siko Setyanto, dan Hendro Yulianto, bermain-main dengan kotak papan itu, memindahkan kotak itu lalu bersembunyi di dalamnya. Salah satu dari mereka memainkan jari-jarinya dari lubang di kotak tempatnya bersembunyi.
Sementara itu, Rudy Wowor menyampaikan lanjutan cerita.
Serdadu Yusuf tiba di sebuah kerajaan yang sepi dan kena tulah. Yusuf disambut sebagai juru selamat yang datang membawa harapan baru dan keceriaan.
Dan tiga penari itu bergerak dengan jenaka, gegap-gempita penuh sukacita. Wajah mereka pun berbinar dengan senyum lebar. Rudy kemudian menyambut dengan kipas angin tangan dengan lampu berkelap-kelip dan pistol gelembung air.
Pentas tari ini didasarkan pada hikayat prajurit yang ditulis penulis Swiss, C.F. Ramuz, dan komposer Igor Stravinsky pada 1918. Cerita yang didasarkan pada cerita rakyat Rusia, The Runaway Soldier and The Devil. Tentang serdadu muda Yusuf yang andal bermain biola dan miskin yang berusaha menukar jiwanya dengan uang dan takhta yang ditawarkan iblis. Kisah yang hampir sama dengan legenda kuno Eropa, Faust, ilmuwan tua yang menukar jiwanya dengan setan agar tetap muda.
Rudy membawakan narasi dengan memain-mainkan wayang klithik prajurit Untung Surapati dan sebuah botol untuk sosok sang iblis. Secara jenaka, serdadu Yusuf dari Eropa tersebut diimajinasikan Rudy menjadi seorang prajurit Jawa.
Koreografer Gerard Mosterd menggandeng Goenawan Mohamad menafsir ulang kisah ini. Goenawan mengubah teks yang aslinya kaku ke dalam bahasa Indonesia yang mengalir, tak berjarak dengan penonton. Dalam gubahannya, penyair ini tetap mempertahankan struktur libretto dan inti cerita Ramuz. "Kisah Faust" ini lebih menekankan bagaimana kelindan hubungan iblis dan manusia yang tak pernah berakhir. Goenawan menjelaskan teks yang dibawakan Rudy Wowor telah disesuaikan lebih pendek, menurut jumlah nada musik Stravinsky yang dipentaskan.
Dalam naskah itu, Yusuf bertemu dengan iblis di tepi sungai di tengah hutan, lalu bertukar biola dengan buku kehidupan milik si iblis. Yusuf tertipu, lalu keluar dari hutan dan tiba di kampung halamannya yang tak seorang pun mengenalinya. Yusuf teperdaya lagi oleh iblis dengan menawarkan kekuasaan, uang, takhta, dan jabatan di sebuah kota dan kerajaan.
Gerak yang ditampilkan penari kental dengan gerak tari Jawa bercampur gerak balet dan kontemporer. Karya ini pernah dipentaskan di Tropentheater, Amsterdam. Saat itu Mosterd menampilkan tiga penari, Hendro, Rury, dan Miroto. Kali ini Miroto digantikan Siko, yang memiliki latar belakang penari balet. Koreografi ini juga pernah ditampilkan dalam Indonesia Dance Festival 2012 di Jakarta serta pentas Dutch Chamber Music Company di Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Formasi pemain saat itu adalah dua penari, Eko Supriyanto dan Miroto, serta seorang teaterawan, Sri Qadariatin.
Mosterd mengaku lebih mudah mendapatkan koreografi yang diinginkan dalam pentas di Salihara ini. Termasuk ketika para penari menampilkan ekspresi-ekspresi aneh dalam koreografi. Koreografi kali ini pun terasa lebih musikal dibanding versi pertama, yang sangat menonjolkan karakter. "Sangat lucu seperti yang saya mau," ujar Mosterd. Padahal Rury dan Hendro mengakui koreografi dengan musik Stravinsky ini sangat sulit. "Musiknya sulit. Begitu ketinggalan satu ketukan, buyar sudah koreografinya," kata Rury, yang diiyakan Hendro.
Mereka mampu membawa koreografi yang sarat gerakan jenaka, kadang-kadang slapstick. Gerakan yang kocak ini mengundang tawa penonton. Seperti gerakan para pedangdut yang sedang tenar di televisi atau tokoh Bagong atau Gareng berjalan. Berjalan tertatih, dengan tangan menyiku di samping dan kepala bergerak-gerak. "Di Jawa kan kita punya Bagong, bukan badut. Ya sudah, gerakan ini yang kita pakai," ujar Hendro, yang dulu bersama Miroto mendapatkan ide koreografi ini. Saat kisah sampai ke perkelahian, koreografi menampilkan sedikit gerakan seperti gerak jurus silat.
Mosterd mengakui teks yang digubah Goenawan mengalir dengan menyindir sana-sini isu kekinian. Hendro dan Siko menutup pentas dengan koreografi yang sangat intim. Seperti sepasang kekasih yang saling mencinta. "Cerita ini memang sebenarnya menunjukkan keintiman antara manusia dan setan," ujar Mosterd.
Dian Yuliastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo