Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jemaah Pirang dari Mawang

Sejak 2006, Jamaah An Nadzir, yang berarti pemberi peringatan, membangun permukiman di kawasan puluhan hektare di Desa Mawang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Penampilan mereka unik. Berjubah hitam. Mereka juga berambut panjang berwarna kuning keemasan.

Mereka hidup berdampingan dengan warga tanpa bergesekan, bahkan kehadiran mereka memberi kontribusi positif bagi lingkungan sekitar karena mengubah daerah itu menjadi lebih produktif. Pendiri komunitas ini, Kiai Syamsuri Madjid (almarhum), dianggap Imam Mahdi.

Tempo berkesempatan mengunjungi permukiman An Nadzir di Mawang, Gowa, menemui jemaah dan pemimpinnya yang mengklaim diri mereka sebagai penerus Imam Mahdi berjulukan Pemuda Bani Tamim.

21 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desa Mawang, Kelurahan Romang Lompoa, Kecamatan Bontomarannu, Gowa, Sulawesi Selatan. Rambut mereka gondrong kuning keemasan. Mereka mengenakan jubah dan sorban hitam. Mereka bergegas masuk masjid melakukan salat berjemaah pada Jumat terakhir Juni lalu. Hari pertama puasa Ramadan.

Kaum yang menamakan diri Jamaah An Nadzir itu telah berpuasa semenjak dua hari sebelum kebanyakan muslim di Indonesia memulainya. Komunitas mereka dapat kita temui di kawasan sisi jalan poros Makassar-Malino, sekitar tujuh kilometer dari Sunguminasa, ibu kota Kabupaten Gowa. Penampilan mereka demikian khas. Kaum pria mengenakan jubah dan sorban serba hitam. Namun, bagaikan rocker, rambut mereka panjang pirang keemasan. Adapun para perempuan menggunakan pakaian hitam dan bercadar.

Salat Jumat hari itu baru dimulai pada pukul 13.40 waktu setempat. Jamaah An Nadzir memiliki aturan sendiri mengenai jadwal salat. Waktu salat Jumat dan zuhur baru masuk pada akhir waktu salat zuhur yang biasa dilakukan muslim kebanyakan di Indonesia. Sedangkan waktu ashar dipercepat pada pukul 15.00. Mereka juga melambatkan masuknya magrib sekitar pukul 18.30. Adapun isya dimulai pada dua pertiga malam, sekitar pukul 03.00. Sedangkan subuh dimulai pada pukul 05.30, ketika terbit fajar. Jadwal salat ini, menurut mereka, sesuai dengan perintah Nabi.

"Kami mencontoh perilaku Muhammad, termasuk rambut ini," kata Ustad Lukman Asli Baki, 44 tahun, juru bicara Jamaah An Nadzir, yang juga menjabat wakil panglima. Jamaah An Nadzir selalu mengklaim diri sebagai ahlul bait atau kelompok pengikut Nabi Muhammad. Menurut mereka, pelaksanaan sunah Nabi seharusnya dimulai dari yang kecil hingga besar.

Ustad Lukman membenarkan kabar bahwa semua pria An Nadzir, termasuk anak-anak yang sudah akil balig, memanjangkan rambut sebahu. Rambut dipotong lurus tanpa model tertentu dan diwarnai: kadang merah tembaga atau kuning keemasan. Anggota Jamaah An Nadzir pun bersorban. Menurut Lukman, hal demikian sesuai dengan sosok Nabi. Ada banyak rujukan mengenai itu, misalnya kitab Al-Barasanji, yang membahas postur dan sosok Rasul, serta hadis-hadis yang mencontohkan perilaku Nabi.

1 1 1

Kemunculan Kiai Syamsuri Abdul Madjid, ulama Dumai, Riau, pada 1998 merupakan cikal terbentuknya komunitas ini. Syamsuri gencar berdakwah di berbagai provinsi sebelumnya menetap di Sulawesi Selatan. Awalnya komunitas ini menamakan diri Majelis Jundullah, tapi tak berlangsung lama lantaran diprotes Agus Dwikarna, pemimpin Laskar Jundullah yang mengklaim lebih dulu menggunakan istilah itu. Tak ingin berpolemik, Syamsuri akhirnya mengganti nama menjadi Jamaah An Nadzir, yang berarti pemberi peringatan.

An Nadzir pertama berkembang di Luwu dan sekitarnya, kemudian merambah ke beberapa daerah, seperti Gowa, Bone, dan Makassar. Meninggalnya Kiai Syamsuri pada 2006 membuat komunitas ini mengalami stagnasi dan puncaknya ketika pemerintah daerah Luwu mengeluarkan surat keputusan menghentikan aktivitas An Nadzir karena dianggap menimbulkan keresahan masyarakat.

Pada tahun itu juga An Nadzir menggelar silaturahmi nasional pertama di kawasan Danau Mawang. Tempat ini dipilih karena telah berkembang Jamaah An Nadzir yang diorganisasi oleh Rangka Hanung Daye Kiyo. Keputusan pertemuan itu menjadikan Danau Mawang sebagai markas. "Kami sepakat di sini akan dijadikan prototipe perkampungan mukmin," kata Lukman mengenang. Membangun permukiman ternyata tidak mudah. Banyak yang menuding mereka menyebarkan aliran sesat. Mereka juga terus diintai aparat keamanan karena diduga menjadi sarang teroris. "Kami selalu menghadiri dialog dan undangan dari Departemen Agama atau TNI/Polri untuk menepis isu yang tidak benar itu," ujar Lukman, alumnus Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Muslim Indonesia.

Jemaah An Nadzir dari berbagai provinsi di berbondong-bondong hijrah ke Danau Mawang. Dalam Silaturahmi Nasional III 2009, terjadi perbedaan prinsip yang menimbulkan perpecahan. Cabang-cabang An Nadzir daerah memutuskan memisahkan diri dan membentuk Majelis Latiful Akbar. "Setelah itu Jamaah An Nadzir hanya ada di kawasan ini," ujar Lukman.

Tidak terlalu sulit menjangkau permukiman Jamaah An Nadzir ini karena berada di pinggir jalan utama yang menghubungkan Makassar-Malino yang beraspal mulus. Luas kawasan permukiman ini mencapai 23 hektare. Ada sekitar 130 keluarga atau seribu anggota jemaah yang bermukim. Tapi pemerintah setempat belum mempunyai data terinci pengikut An Nadzir. "Kami belum pernah mendata secara khusus, apalagi jemaah baru dari daerah lain sering masuk tanpa melapor," ujar Muhammad Arif, Lurah Romang Lompoa.

Memasuki Perkampungan An Nadzir, pengunjung akan mendapati dua zona berbeda: pondok di bagian selatan dan markas di sebelah utara. Area pondok memiliki luas 10 hektare, merupakan tempat tinggal bagi sebagian besar anggota jemaah mukim yang telah berkeluarga dan jemaah perempuan. Area pondok terdiri atas lima kampung kecil: Kampung Lama, Bunne', Medan, Batua, dan Baru, yang berdekatan, hanya dipisahkan oleh jalan utama. Satu kampung berisi 10-30 rumah. Pemimpin Jamaah An Nadzir, Panglima Rangka Hanung Daye Kiyo, tinggal di Kampung Batua. Rumah mereka berbentuk panggung semipermanen yang terbuat dari papan dan beratap daun rumbia.

Wilayah markas berada di dalam kawasan konservasi Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian Gowa. Awalnya markas ini berada di pinggir Danau Mawang, tapi sejak awal 2000 dipindahkan ke pinggir Danau Ballang La'bua, yang berjarak satu kilometer. Di sini terdapat masjid berbahan kayu seluas 15 meter persegi yang merupakan pusat ibadah dan reproduksi pengetahuan agama. Tak jauh dari masjid ada bangunan untuk menerima tamu, empat rumah, dan satu vila untuk tamu menginap.

Markas ini biasanya juga disebut lahan kerja karena terdapat sejumlah usaha yang dikelola secara bersama. Di sekeliling danau juga terdapat tenda-tenda yang menjadi tempat tinggal remaja atau pria An Nadzir yang belum berkeluarga. Satu tenda biasanya dihuni sekitar 10 orang.

1 1 1

Jemaah An Nadzir rata-rata tidak menyekolahkan anaknya di sekolah formal. Menurut Ustad Lukman, penyebabnya karena sering terbentur aturan sekolah. Misalnya anak laki-laki yang memanjangkan rambut dan anak perempuan yang memakai cadar. "Kami berharap ada solusi untuk masalah ini. Kami tidak fobia dengan pendidikan formal."

Mereka lalu mengembangkan sistem pendidikan sendiri. Anak-anak yang beranjak dewasa diberi ilmu terapan di bidang pertanian, peternakan, menjahit, dan lainnya. Pengenalan aksara dan berhitung diajarkan di rumah masing-masing sejak balita. Jemaah An Nadzir tidak tertutup terhadap bantuan lembaga swadaya masyarakat untuk pelatihan anak-anak mereka. "Anak laki-laki yang sudah akil balig memang diasramakan dan disekolahkan dengan ilmu terapan," kata Burhanuddin, 31 tahun, anggota jemaah asal Kolaka yang telah dua tahun menetap di kawasan itu.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Jamaah An Nadzir mendirikan tujuh departemen bidang ekonomi dan sosial, yakni departemen pertanian, peternakan, perikanan, perdagangan, industri, pendidikan, dan kesehatan. Masing-masing dipimpin oleh koordinator yang bertanggung jawab langsung kepada panglima. Jamaah An Nadzir menjalankan sejumlah usaha yang dimiliki atas nama jemaah, seperti pertanian padi; kebun cabai rawit, jagung, ubi, sawit, jambu, dan nanas; peternakan sapi, kambing, ayam, dan burung puyuh; serta budi daya ikan air tawar. Terdapat pula usaha percetakan, bengkel, depot air minum, dan warung kebutuhan sehari-hari yang dibangun berderet di sepanjang jalan poros sebelum pintu masuk kawasan An Nadzir.

Semua penghasilan dari usaha yang berada di kawasan disetorkan ke baitul mal. Adapun jemaah yang berusaha di luar kawasan wajib menyetorkan 20 persen dari hasil yang didapat kepada baitul maal. Hasil yang ditampung itu lalu didistribusikan kepada jemaah menurut kebutuhan. "Pola baitul mal ini sesuai dengan nilai kehidupan yang diajarkan Rasul di Madinah," ujar Lukman.

Jamaah An Nadzir tidak melakukan dakwah secara terbuka. Mereka cenderung eksklusif dalam hal ajaran agama, tapi tetap terbuka bagi orang yang ingin belajar agama. Tata cara ibadah An Nadzir dalam banyak hal menyerupai ibadah kaum Syiah. Seperti tidak bersedekap saat salat, mengucapkan salam hanya sekali tanpa memalingkan muka, dan tidak mengusap wajah setelah mengucapkan salam. Tapi mereka menegaskan bukan termasuk kalangan Syiah ataupun Sunni.

An Nadzir juga mengenal imam atau guru yang disematkan pada sosok Kiai Syamsuri, yang mereka panggil Syekh Muhammad Al-Mahdi Abdullah alias Abah. Yang menarik, komunitas ini percaya Syamsuri adalah wujud lain dari pejuang DI/TII, Kahar Muzakkar. Mereka meyakini sang imam telah gaib tiga kali: pertama ketika masih kecil, kemudian gaib di Lasolo saat Kahar Muzakkar dinyatakan mati tertembak, dan terakhir saat Syamsuri meninggal pada 2006. Mereka percaya dia adalah sosok Imam Mahdi yang membawa peringatan kepada umat manusia.

Mereka juga mempercayai bahwa kepemimpinan Iman Mahdi akan dilanjutkan oleh panglima perang yang disebut Pemuda Bani Tamim dan datang dari kalangan mereka. Pada Idul Adha 2013, di depan jemaahnya, Ustad Rangka mendeklarasikan diri sebagai Pemuda Bani Tamim. Dia mengaku sudah ditunjuk pada 1998. "Tapi baru sekarang diumumkan karena baru mendapat petunjuk Allah," kata Ustad Rangka. Pemuda Bani Tamim akan menyiapkan jalan kedatangan kembali Imam Mahdi yang akan memimpin pasukan sebanyak 313 murid terpilih untuk melakukan perjalanan akhir zaman. "Dalam hadis Nabi, dijelaskan kemunculan 313 orang yang memurnikan Islam dari belahan timur," Lukman menambahkan.

1 1 1

Dan sore itu, di perkampungan An Nadzir, Tempo menemui anggota jemaah bernama Syahrul Tani, 69 tahun. Pria kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu dulu pengusaha agribisnis dan ahli konstruksi. Ia sempat belajar merakit kapal di perusahaan Lurssen Werft di Bremen-Vegesack, Jerman, dan kuliah jurusan ekonomi di Universitas Hamburg. Ayah empat putra ini sempat bekerja di Krakatau Steel, Trakindo, dan Hutama Karya.

Ia mengakui semua kerabatnya sempat menganggap ia mengikuti aliran sesat, saat ia memutuskan hijrah ke An Nadzir. Syahrul mengenal An Nadzir pada 2008 dari anaknya sulungnya, Umar. Sesekali ia mengikuti salat Jumat bersama, lalu dilanjutkan dengan mengikuti kajian agama. Seorang anggota Jemaah An Nadzir kemudian mengundang Syahrul menghadiri salat Idul Fitri di Danau Mawang. Setelah melihat kondisi pondok dan keseharian jemaah serta berdiskusi dengan Ustad Rangka, ia sekeluarga akhirnya mantap menjadi pengikut serta memutuskan hijrah ke Gowa pada 28 Oktober 2008.

Di perkampungan itu Syahrul membeli sebidang tanah untuk rumah semipermanen bagi anak-anaknya. Dia pun menghibahkan sebagian tanah itu untuk jemaah yang baru hijrah. Tempat itulah yang kini menjadi Kampung Medan. Syahrul tidak tinggal di situ. Ia memilih menempati rumah kayu dan bambu berukuran 20 meter persegi di tepi Danau Ballang La'bua, sisi paling utara perkampungan. Sehari-hari ia bercocok tanam serta membudidayakan tanaman hias dan ikan air tawar di sekitar rumahnya.

Meskipun kehidupannya jauh berbeda dengan sebelumnya, ia tidak pernah menyesal apalagi merasa rugi. Kakek 13 cucu ini meny atakan hidupnya kini jauh lebih tenang. Siti Fatma, 53 tahun, istrinya, juga mengaku kini sudah betah dan sangat menikmati hidup di rumah yang ia juluki nest of love itu. "Keluarga sudah bisa menerima walaupun belum 100 persen," kata Syahrul. Dia bercerita, saat berkunjung, sang kakak mengatakan, "Kalian kok primitif sekali hidupnya."

Di Jakarta, pecahan Jamaah An Nadzir membentuk Majelis Latiful Akbar. Rumah pengajian jemaah ini berada di ujung Jalan Bougenville, Kompleks Nyiur Melambai, Kelurahan Rawabadak, Koja, Jakarta Utara, milik Baidabba Gustaman, 66 tahun. Baidabba adalah menantu Kahar Muzakkar. Dia suami Titiek Kahar, putri ketiga Kahar dan Susana Corry van Stenus. Tiap Jumat, jemaah menggelar salat Jumat. Seperti disaksikan Tempo awal Juli lalu, ada sekitar 30 anggota jemaah yang ikut beribadah. Mereka datang dari Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

"Sudah sejak 2001 kami beribadah di sini," ujar amir jemaah Latiful Akbar, Lazuardi Sadewa, 46 tahun. Lazuardi pertama kali bertemu dengan Kiai Syamsuri, pendiri Jamaah An Nadzir, di masjid di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. "Di sana saya sering mendengarkan ceramah Kiai Syamsuri," katanya. Lazuardi menjadi pengikut Syamsuri sejak 2001. Sesi ceramah di Kramat kemudian pindah ke rumah Baidabba. Di rumah ini pula Kiai Syamsuri meninggal pada 5 Agustus 2006 dan dimakamkan di pondok pengajiannya di Dumai yang sudah disiapkan lama sebelumnya. "Kiai Syamsuri memang tak pernah mengaku sebagai Kahar Muzakkar, tapi kami meyakininya," kata Lazuardi.

Hariandi Hafid (Gowa), Ananda Badudu (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus