Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Transisi Tenabang

21 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siang itu Muninsiri, pedagang tekstil di Tanah Abang, Jakarta Pusat, tampak sibuk mengurus dagangannya. Lama juga dia berpangkal di pasar yang dikenal sebagai "benteng pribumi" itu, yakni hampir lima tahun. Tapi akhir-akhir ini kesibukannya terasa digoda oleh kecemasan akan bongkarnya pasar yang biasa disebut Tenabang itu. Pasar tua yang kabarnya dibangun Belanda pada 1916 itu sudah diputuskan oleh Gubernur Ali Sadikin untuk mendapat giliran peremajaan, bertingkat tiga, dengan luas 2,6 ha. Dan pelaksanaannya, menurut sementara orang PD Pasar Jaya, "akan dimulai sebelum bulan puasa", kendati timbul protes di sana-sini untuk mengundurkan saja sampai setelah Lebaran.

Setidaknya kecemasan Muninsiri itu juga dirasakan oleh kurang-lebih 2.500 pedagang—baik pribumi maupun yang bukan—yang sudah belasan tahun membuka kios di sana, termasuk sekitar 25 persen pedagang grosir macam-macam barang. Pangkal kesulitan menghadapi peremajaan sudah tentu bukan karena pedagang itu tidak ingin melihat bentengnya menjadi lebih baik. Tapi, seperti biasa, terbentur soal fulus.

"Jangan buru-buru bilang kami banyak uang kalau melihat tumpukan dagangan sebanyak ini," kata Mohamad, pedagang tekstil lain. "Paling banter modal kami hanya 25 persen atau seluruh dagangan, kebanyakan terdiri atas barang titipan."

Modal, barang titipan, dan peremajaan pasar rupanya bersangkut-paut dengan adanya keharusan menabung bagi para pedagang. Melihat pengalaman berbagai pasar yang diremajakan telah menggeser banyak pedagang kecil ke luar pangkalannya, Gubernur Ali Sadikin akhirnya ingin menghindari hal serupa terulang di Tanah Abang. Untuk itu Sadikin telah mengedarkan apa yang disebut Surat Perintah Menabung (SPM) bagi pedagang di Tanah Abang yang berkisar antara Rp 3.500-50.000 angsuran setiap bulan. Maksudnya, agar nanti pada waktunya setiap pedagang bisa mempertahankan tempatnya, yang tentu saja dibebani uang penebus yang sulitnya tidak disebutkan berapa besar.

Bagi para pedagang, tidak adanya ancar-ancar besarnya uang tebusan sudah tentu menimbulkan kegelisahan berapa lama mereka harus menabung. Meskipun ada penegasan gubernur bahwa "prioritas pertama" akan dilimpahkan kepada mereka. Tapi, melihat biaya resmi peremajaan yang Rp 3 miliar, terdiri atas tiga blok bangunan bertingkat tiga dengan luas 2 ha yang sanggup menampung parkir 5.000 mobil, mudah dipastikan uang tebusan akan mencapai hitungan jutaan rupiah. Ini pun masih disertai serba kemungkinan melangitnya harga bahan bangunan, yang sampai sekarang belum ada tanda-tanda turun.

Dan satu lagi: munculnya main harga yang tidak resmi, mengingat permintaan dari mereka yang kuat modal toh akan melebihi tempat yang disediakan.

Maksud baik Gubernur, seperti kata Muninsiri, dikhawatirkan berbalik serupa demam kisah peremajaan Pasar Senen, Jatinegara, dan lain-lainnya yang mengakibatkan "tersingkirnya pedagang lama yang lemah dan masuknya pedagang baru yang kuat". Amir, pedagang Tenabang yang sudah masuk kotak, menggerutu, "Jangankan Rp 50 ribu, bisa untung tiga perak setiap yard saja sudah bagus."

Dari beberapa pedagang tekstil, secara kasar dapat ditarik kesimpulan bahwa keuntungan rata-rata jatuh satu-dua setengah rupiah per yard. "Sudah bagus kalau bisa laku tiga piece sehari," kata Alius, pedagang grosir. Kalau diingat satu piece itu jatuh 40-50 yard, bisa dibayangkan akan hal mereka yang bukan grosir alias pengecer. Walhasil, para grosir yang kelas "teri" bila dibandingkan dengan tingkat Pintu Kecil itu merasa cemas. "Modal kami akan habis dimakan wajib tabung, hingga dagangan lumpuh tidak berputar," kata salah seorang dan mereka.

Untunglah suasana para pedagang yang merasa dimakan modalnya itu bukan tidak bergema ke luar Tenabang, meskipun dari pihak Kadin DKI Jaya baru seorang anggota pengurusnya yang buka suara. Sementara itu, Harian Pedoman dalam tajuknya menilai kasus Pasar Tanah Abang sebagai "benih berbahaya". "Kita masih mempunyai cukup waktu mencegah timbulnya sesuatu akibat baru yang tercela."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus