ADA jembatan yang membikin macet pikiran. Ini terjadi di Desa Halangan Ratu, Kecamatan Gedungtataan, Lampung Selatan. Di desa itu ada sebuah jembatan gantung, penghubung dengan Desa Trisnomaju, dibangun dengan swadaya masyarakat sekitar 30 tahun silam. Warga desa yang 200 kepala keluarga itu bergiliran menjaganya. Jembatan sepanjang 65 meter dan lebar 1,25 meter itu tambang uang. Kecil-kecilan, mirip jembatan tol: tiap pejalan kaki dicukai Rp 50, yang berkereta angin Rp 100, dan sepeda motor Rp 250 sekali lewat. Sedangkan yang membawa beban dicukai Rp 100 per kuintal. Tiap hari sang jembatan menghasilkan Rp 6.000 sampai Rp 15.000 -- Rp 3.000 disetor ke kas desa. Sisanya dibagi buat yang bertugas hari itu. Ini sudah ketentuan. Suasana tenteram ini mendadak temaram, ketika salah satu warga, Sali, 29 tahun, membangun jembatan baru tak jauh dari jembatan lama. Pedagang kayu dan hasil bumi ini terbilang paling kaya di sana, mengaku perlu jembatan sendiri untuk kelancaran bisnisnya. Dengan Rp 8 juta dari kocek pribadi, ia rampungkan jembatan itu September silam. ''Karena dibilang mau dipakai sendiri, bukan untuk umum, ya, saya biarkan,'' kata Syahbardin, Kepala Desa Halangan Ratu. Namun kemudian Sali membukanya untuk umum juga, dan pakai cukai juga. Penduduk melotot, dan protes kepada kepala desa. Lalu Syahbardin, 29 tahu, membawa soal ini kepada camat, yang seterusnya dirapatkan dengan komandan rayon militer serta kepala kepolisian resor setempat. Hasilnya, pihak Muspika ini memanggil Sali dan Syahbardin. Camat Gedungtataan, Musiran, mengingatkan Sali agar menutup jembatannya itu. Ternyata peringatan ini tak digubris. Lalu Komandan Rayon Militer, Kapten S.E. Handoko, memanggil Sali. ''Li, kamu kan jual-beli. Anggap saja sekali ini kamu rugi. Hibahkanlah jembatan itu untuk desa,'' katanya. Sali setuju, cuma minta ganti rugi. Artinya, desa harus menanggung biaya. Handoko menyampaikannya kepada Kades Syahbardin. Penduduk yang diberi tahu ternyata menolak. Urusan kian runcing ketika ada keramaian remaja menyongsong pergantian tahun: ada keributan seorang remaja dengan Isa, 18 tahun, adik Sali. Ini menyundut amuk remaja lainnya. Mereka mengepung rumah Sali. Setelah dihalo-halo Kepala Kepolisian Sektor setempat, Pembantu Letnan Satu Seron Ali, mereka baru bubar. Meski Syahbardin menjamin tak akan ada amuk massa lagi -- kecuali pihak Sali yang memulai -- keadaan telanjur bagai api dalam sekam. Ini berkobar suatu malam, entah siapa yang mulai, rumah Sali serta dua rumah adiknya yang berdekatan lumat dibakar massa. Kasusnya kini ditangani polisi, namun belum ada yang ditahan. ''Motifnya baru persaingan jembatan gantung itu. Tapi agaknya memang ada yang menggerakkan massa,'' kata Kepala Kepolisian Wilayah Lampung, Letnan Kolonel R. Surbakti. Sali menyanggah sebagai sumber keributan. ''Mana mungkin kami memulai. Jumlah kami hanya lima keluarga, mereka ratusan,'' katanya kepada Kolam Pandia dari TEMPO. Dan akibat bersikukuh de- ngan jembatan Rp 8 juta itu kini kerugiannya sekeluarga, menurut Sali, meliputi Rp 180 juta. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini