SEJAK bisnis berkembang di Indonesia, bahasa Inggris semakin sering didesiskan. Bisnis yang berputar cepat hampir tak punya jeda untuk proses adaptasi bahasa. Selain memerlukan waktu, penerjemahan istilah bisnis potensial melahirkan perbedaan penafsiran. Beda pengertian, dalam kontrak misalnya, bisa menimbulkan kerugian tidak kecil. Maka, bagi kalangan bisnis, bahasa Inggris adalah media komunuikasi yang aman. Dengan latar belakang itu tahun lalu lahir dua majalah bisnis berbahasa Inggris. Yang satu muncul Desember silam dengan nama Indonesia Business Weekly (IBW), diterbitkan PT Jurnalindo Aksara Grafika, penerbit harian Bisnis Indonesia. Lainnya, Economic and Business Review Indonesia (EBRI), lahir delapan bulan sebelumnya. Yang ini dipimpin bekas Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika, Janner Sinaga. Kelahiran majalah ekonomi-bisnis berbahasa Inggris itu berkaitan dengan meningkatnya investasi dan peluang bisnis di Indonesia. Peluang-peluang ini terbuka tidak hanya bagi pengusaha dalam negeri, tapi juga bagi para investor asing. Karena itu ''banyak sekali relasi bisnis dari negara-negara Asia mendesak saya menerjemahkan harian Bisnis Indonesia ke dalam bahasa Inggris,'' tutur Lukman Setiawan, pemimpin redaksi IBW, yang juga pengelola Bisnis Indonesia. Permintaan ini dijawab Lukman dengan menerbitkan IBW. IBW diterbitkan dengan modal awal Rp 500 juta. Ada sejumlah nama besar di balik modal besar ini. Di antaranya Sukamdani Gitosardjono, Ciputra, Subronto Laras, dan Anthony Salim. Melihat nama pengsaha-pengusaha itu jamak bila muncul pertanyaan, bisakah IBW menurunkan berita bisnis yang tidak berat ke sektor tertentu. Lukman menjawab tegas, ''Saya jamin IBW akan bersikap profesional. Meski para pemegang saham adalah pengusaha yang punya kepentingan, pemberitaan akan mempertahankan alur yang bebas dan objektif.'' Pada masa kini berita ekonomi memang terasa tumpah ruah. IBW punya banyak pilihan. Banyak di antaranya terpaksa menunggu pemuatan, karena IBW baru bisa terbit setebal 48 halaman. Namun, dalam memilih, IBW menekankan aktualitas. Dalam edisi pertama IBW tampil dengan laporan utama tentang Bank Summa, berita binis yang menjadi berita besar. Dengan penuturan menarik dan bahasa Inggris yang rapi, kendati kaku, nomor perdana IBW tanggal 18 Desember tahun silam menyajikan laporan utama yang cukup komprehensif. Namun tidak semua isi IBW berhasil tampil menarik. Misalnya rubrik ''Interview'' yang menyajikan wawancara dengan Duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert Barry. Selain kalimat- kalimat pengantarnya monoton, wawancara ini tak sampai mengorek jawaban-jawaban bernas. Kelemahan lain terasa pada perwajahan. ''Memang sangat sulit mencari tata artistik yang menarik dan khas,'' Lukman mengakui. Ia mengungkapkan, sampai kini IBW belum mempunyai art-director tetap. ''Sumber daya manusia di sektor artistik, kendala paling besar dalam proses menerbitkan majalah,'' katanya berteori. Dalam soal tenaga keredaksian kesulitan yang dihadapi penerbitan khas macam IBW tak jauh dari masalah penguasaan bahasa Inggris. Persyaratan utama wartawan IBW, mau tak mau, menguasai bahasa Inggris lisan maupun tulisan. ''Ini mutlak,'' Lukman menegaskan. Tentang wawasan dan kemampuan jurnalistik, ia optimistis bisa dikembangkan sambil berjalan. Sementara ini baru 13 wartawan yang berhasil direkrut IBW. Cuma sejumlah ini yang tercatat memiliki kualifikasi yang dituntut. Di samping itu, seperti media berbahasa Inggris lainnya, IBW mempekerjakan dua native speaker sebagai redaktur bahasa. Kesulitan mencari wartawan yang fasih berbahasa Inggris bukan cuma persoalan IBW. Harian The Jakarta Post (JP) yang terbit 9 tahun lalu (oplahnya kini 32.000 eksemplar) baru berhasil menjaring 43 wartawan. Jumlah ini jauh dari cukup. Tapi, ''Sulit sekali mencari tenaga yang memenuhi persyaratan,'' kata Pemimpin Redaksi JP Soesanto Poedjomartono. Karena JP memakai bahasa Inggris Amerika sebagai standar, rekrutmen wartawan JP diperketat dengan tes bahasa Inggris TOEFL. Angka lulus yang dipersyaratkan 500 (angka memadai dalam tes ini rata-rata 200). Untuk media berbahasa Inggris, penyajian dalam bahasa ini merupakan salah satu ujung tombak bersaing. Dalam hal ini IBW tidak hanya berkompetisi dengan EBRI yang juga menurunkan berita- berita ekonomi. JP dan harian umum berbahasa Inggris lainnya, The Indonesia Times atau Indonesian Observer, juga merupakan pesaing. Baik Janner Sinaga maupun Lukman Setiawan sama-sama mengharapkan mencapai titik impas setelah tiga tahun. Menurut Janner Sinaga, perkembangan EBRI termasuk lumayan. Oplah EBRI telah mencapai 20 ribu eksemplar. ''Tapi iklan masih perlu kami tingkatkan,'' katanya. IBW sementara ini dicetak 10.000 eksemplar. Namun Lukman optimistis. Ia berpendapat bahwa pasar pembaca IBW dan EBRI tidak sebatas pembaca di Indonesia. ''Bukan mustahil IBW suatu hari bersaing dengan majalah internasional macam Far Eastern Economic Review,'' katanya. Ini tampaknya bukan sekadar angan-angan. Bahkan harian umum seperti JP punya target menembus pasar regional ini. Leila S.Chudori dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini