HAMPIR tujuh bulan Sarbudin lumpuh. Warga Desa Sidorejo di Pangkalanbun, Kalimantan Tengah itu tak dapat beranjak dari pembaringannya. Kedua telapak hingga mata kakinya yang kini cacat tampak berkerut-kerut dan berwarna putih susu, mirip bekas luka bakar. Ketika akhir bulan silam ditemui TEMPO, kondisi Pak Tua itu belum pulih benar. Langkahnya tertatih-tatih. ''Saya sempat lumpuh dan tak mengira bisa berjalan lagi. Sekarang kalau jalan tak kuat jauh-jauh, sakit,'' ujarnya. Malapetaka itu terjadi ketika Sarbudin melintasi Jalan Usaha Tani. Ruas jalan becek sepanjang satu kilometer itu berada persis di sisi luar tembok pabrik plywood PT Korindo. Saat melintas itulah, kaki Sarbudin terperosok ke tanah gembur yang di bawahnya berlapiskan pasir membara. Akibatnya, bukan hanya sandal plastik Sarbudin yang meleleh, tapi kedua kakinya matang dan melepuh. Sarbudin hanyalah satu dari sejumlah korban gara-gara jalan yang rupanya difungsikan sebagai tempat pembuangan limbah PT Korindo. Perusahaan besar ini mengoperasikan pabrik plywood patungan Indonesia-Korea, yang mempekerjakan 3.500 orang. Sedikitnya 40 warga mengalami luka bakar dan 20 orang lainnya menderita cacat menahun, gara-gara terinjak jalan yang bagaikan ranjau darat, menebar bahaya bagi mereka yang lewat. Menurut Takrim, seorang penduduk, pembuangan limbah Korindo telah berlangsung sejak dua tahun lalu. ''Setiap hari Korindo membuang limbah dan membakarnya di situ. Limbah itu belum sempat terbakar habis, sudah ditambah limbah baru,'' tuturnya kesal. Biasanya, limbah basah itu dibakar dengan minyak tanah dan oli, hingga api dalam tanah tak pernah padam. Kini, seantero warga Kelurahan Mendawai (13.000 orang) merasa resah. Mereka telah berulang kali menghubungi pihak Korindo tetapi tak digubris. ''Jangankan memberi tanggapan atau menyantuni korban, menolong orang yang terperosok pun tak pernah mereka lakukan,'' kata penduduk. Sikap kepala batu Korindo mendorong penduduk untuk menyampaikan persolan itu ke Bupati Kotawaringin Barat. Namun, belum sempat Bupati bertindak, September lalu Pangkalanbun sepanjang radius 10 km bagai digoyang gempa. Semula terdengar dua kali ledakan dahsyat, lalu diikuti rontoknya kaca rumah penduduk. Ledakan itu ternyata berasal dari sebuah tongkang bekas, tempat penyimpanan formalin dan metanol milik Korindo. Dalam peristiwa itu lima karyawan Korindo tewas secara mengerikan -- ada yang kepala dan kakinya hilang. Bahkan tiga mayat ditemukan di hutan, sekitar 200 meter di seberang Sungai Arut. Sejak itu, penduduk Pangkalanbun benar-benar dicekam ketakutan. Mereka tahu, di pabrik Korindo terdapat 14 tangki yang berisi sekitar 2.600 ton formalin, metanol, resin, dan fenol. ''Kami merasa setiap saat diintai maut. Bayangkan, jika tangki-tangki itu meledak,'' kata Prasetyo Hadiwijoyo, Ketua DPRD Kotawaringin Barat. Alamul Bakri, seorang pamong, juga mencemaskan hal yang sama. ''Bagaimana pengamanannya. Apakah bisa dijamin atau tidak? Yang kami tahu, setiap hari tangki-tangki itu disirami agar tidak memanas dan meledak,'' ujarnya. Karena itulah, Oktober lalu Alamul dan 17 warga yang mewakili penduduk Mendawai, berkirim surat ke Kotak Pos 5000. Selain membeberkan masalah di atas, diungkap pula ihwal pencemaran Sungai Arut. Dalam surat itu Korindo dituding sebagai biang keladi yang mengakibatkan kali itu tak bisa lagi dimanfaatkan untuk keperluan penduduk sehari-hari, sementara ikan-ikan bermatian. Laporan itu akhirnya ditanggapi. Kabarnya, akhir November lalu, Kantor Menteri Negara KLH meminta Gubernur Kal-Teng agar menelitinya. Sebuah tim dibentuk, dengan Sekwilda Sukirman se- bagai ketua. Penelitian selesai tengah bulan lalu, dan menurut Sukirman, ''Segala yang dilaporkan benar adanya.'' Namun, karena kurang mengerti bahaya limbah, Sukirman meminta pihak Korindo melakukan amdal (analisa dampak lingkungan). Maka, satu konsultan amdal didatangkan dari Jakarta, tapi hasilnya belum bisa diketahui hingga kini. Penduduk tampaknya kecewa, baik oleh sikap tim amdal maupun tim yang dipimpin Sukirman. Yang pasti, kasus Jalan Usaha Tani yang mengandung bara -- karena itu disebut tanah api -- sampai kini belum menemukan jalan keluar. Ketika TEMPO menghubungi KLH dan Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) di Jakarta, kedua lembaga itu menyatakan tidak tahu-menahu soal kasus jalan buangan limbah PT Korindo ataupun kasus ledakan. Entah apa alasannya, Sukirman mengatakan bahwa jalan limbah itu milik PT Korindo. Sebaliknya penduduk mengklaim jalan itu diberikan sebagai pengganti satu-satunya jalan desa yang dicaplok Korindo. Dan Kakanwil Pertanian Kal-Teng sempat pula meresmikan jalan tersebut, mewakili Gubernur. Kembali ke soal limbah, jalan, dan ledakan, ternyata tak satu pun bisa dikorfimasikan ke Korindo. ''Pimpinan kami yang berkompeten soal itu tak bersedia Anda temui,'' ujar Buchari, kepala humas Korindo. Lalu, apa yang harus dilakukan penduduk? ''Pencemaran hanya bisa dihentikan jika pejabat Jakarta turun tangan,'' kata seorang pejabat lokal. ''Kami dan para pejabat di Kal-Teng terlalu kecil berhadapan dengan perusahaan raksasa itu.'' G. Sugrahetty Dyan K. dan Almin Hatta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini