POLISI-POLISI buruk sebetulnya bukan kejutan baru. Polisi seperti itu banyak dijumpai di mana-mana. Sebutan untuk perilaku mereka bermacam-macam dan terkadang sudah menjadi sesuatu yang bersifat standar, seperti police brutality, police corruption, police misconduct, systematic harassment, atau street justice. Namun, jika kehadiran ''polisi-polisi buruk'' itu diumumkan sendiri oleh atasannya, misalnya di Polda Jawa Timur, hal itu sungguh istimewa. Kejadian yang hampir sama juga diperagakan oleh Polda Jawa Barat beberapa waktu lalu, saat menyelenggarakan seminar tentang penyuapan di jalan raya terhadap polisi. Lain Polri, lain LAPD (Los Angeles Police Department) yang terkenal itu. Oleh komandan LAPD, Daryl F. Gates, perbuatan anak buahnya yang menghajar Rodney G. King pada malam 3 Maret 1991 itu memang dimintakannya maaf. Tetapi sekaligus juga dibelanya sebagai suatu penyimpangan. Polisi-polisi itu adalah tenaga yang baik, begitu bicaranya di depan kamera TV. Namun, masyarakat sulit menerima hal tersebut sebagai suatu penyimpangan. Publik justru mengaitkannya dengan kebijaksanaan resmi LAPD. Masyarakat yang kritis mengatakan bahwa LAPD selama bertahun-tahun telah menjalankan street justice yang ditujukan kepada orang-orang mis- kin, orang-orang kulit berwarna, dan mereka yang tidak punya koneksi. Ditempatkan pada latar belakang demikian itulah bahwa sikap Polri, dalam hal ini Polda Jawa Timur dan Polda Jawa Barat, menarik untuk disimak. Bahwa Polri malah tampil dengan pernyataan tentang adanya polisi-polisi yang berperilaku tidak baik dalam korpsnya. Asal-usul perilaku polisi yang negatif itu barangkali bisa dilacak sampai pada pertukaran antara kekuasaan yang diberikan kepada polisi dan faktor peluang. Faktor peluang tersebut menjadi sangat dominan pada polisi, sejak ia berada pada jajaran terdepan dari eksekutif, yaitu berhubungan langsung dengan masyarakat. Faktor kekuasaan serta penggunaan kekuatan juga menonjol pada polisi. Apabila negara memiliki monopoli kekuasaan, hal itu diberikannya kepada polisi. Bagi polisi sendiri, kekuasaan dan kekuatan bersifat fungsional. Tanpa penggunaan kekuatan, polisi tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya. Suatu pernyataan umum mengenai polisi di Amerika ada yang berbunyi, ''Para polisi patroli peka terhadap perbuatan yang tidak semestinya.'' Pernyataan umum tersebut diikuti oleh rentetan pembuktian, bahwa ''di wilayah yang paling sepi dari patroli pun terbuka peluang untuk melakukan penahanan yang didasarkan atas ukuran di luar hukum. Untuk menerima uang bagi tidak dikenakannya tilang lalu lintas. Untuk melakukan street justice terhadap ucapan-ucapan anggota masyarakat yang agresif'' (Richard Lundman, Police Behavior, 1980). Dalam suatu negara seperti Indonesia, di mana rakyatlah yang berdaulat, tindakan dan kebijaksanaan yang berdampak terhadap rakyat memerlukan pertanggungjawaban. Itu semua tetap harus dilaksanakan, kendati kepada polisi diberikan monopoli untuk menggunakan kekuatan/kekerasan. Pada akhir abad ke-20 ini tugas kepolisian lebih ditekankan sebagai suatu bentuk pengabdian kepada masyarakat. Di Amerika Serikat motto polisi adalah to protect and to serve. Di Indonesia, Kapolri mencanangkan ''Tekadku Pengabdian Terbaik''. Sifat kerakyatan dan akontabilitas sekali lagi menegaskan bahwa Polri tidak hanya menjalankan kontrol sosial, tetapi juga kontrol sosial yang bertanggung jawab. Saya kira, kesadaran akan keharus- an untuk mempertanggungjawabkan tindakan dan perilakunya kepada rakyat itulah yang menyebabkan pimpinan Polri mengumumkan adanya polisi-polisi buruk itu. Pengumuman tersebut juga sekaligus me- nyatakan bahwa Polri belum mampu memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara ideal. Tanggal 17 Desember 1979, PBB mengeluarkan Code of Conduct for Law Enforcement Officials, suatu standar perilaku yang diperuntukkan bagi badan-badan yang menjalankan kekuasaan kepolisian. Diukur dari standar tersebut, perilaku buruk adalah pelaksanaan tugas yang pada intinya tidak didasari oleh sikap menjunjung tinggi martabat manusia. Beberapa di antara butir dalam standar tersebut adalah kekuatan hanya digunakan apabila betul-betul dibutuhkan dan hanya sejauh diperlukan untuk melaksanakan tugas tidak melakukan tindakan kekejaman dan menurunkan mar- tabat manusia tidak melakukan perbuatan korup dan melawan perbuatan seperti itu. Standar seperti itu saya kira tidak asing bagi Polri kita. Peng- umuman kategori polisi-polisi yang berpenampilan buruk hanya mempertegas politik Polri yang ingin menjunjung standar perilaku yang demikian itu. Pada akhirnya bisa direnungkan pernyataan yang unik dari Polri itu. Sebagai suatu pernyataan yang bersifat publik, ia akan menimbulkan berbagai reaksi. Publik bisa pro, bisa juga tidak, atau berada di tengah-tengahnya. Orang bisa menganggapnya sebagai suatu ungkapan kepahlawanan dan kebesaran hati. Tetapi mungkin juga ada pihak yang menerimanya dengan agak resah. Dan yang disebut terakhir bisa ada di kalangan Polri sendiri. Sebab, latar belakang perilaku buruk itu bersifat kompleks. Karena itu, pernyataan tentang polisi-polisi buruk itu lebih baik dikeluarkan sebagai statemen yang umum saja, tidak diumumkan secara rinci mengenai siapa orang-orangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini