Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA mendarat di Jenewa, perhatikan dinding bandar udaranya selama berjalan di atas conveyor menuju tempat pengambilan bagasi. Ada yang tidak biasa di situ: esai kisah kelinci dan kura-kura tertulis di sepanjang lorong. Bait demi bait, pelajaran tentang si kecil dengan komitmen teguh akan mengalahkan keangkuhan sang adidaya yang ceroboh.
Saya tidak tahu maksud fabel itu terpajang di sebagian panjang lorong, tapi Jenewa secara geografis memang bukan kota besar. Bentuknya mirip tapal kuda di ujung selatan Danau Jenewa. Jangan dulu membandingkannya dengan kota-kota besar dunia; dibandingkan dengan canton (negara bagian) lain di Swiss saja, Jenewa salah satu yang terkecil luas wilayahnya. Namun siapa yang tidak kenal reputasi Ibu Kota HAM Dunia ini?
Bukan saja karena Palang Merah Dunia, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau Badan Urusan Pengungsi PBB berkantor pusat di sini. Sejarah badan-badan dunia yang sarat urusan kemanusiaan itu memang difasilitasi dan lahir atas andil warga Jenewa. Henry Dunant, bapak palang merah dunia, adalah warga Jenewa.
Namun suasana di Jenewa dan Swiss pada umumnya memang agak lain pada Maret lalu. Di tengah berlangsungnya sidang Komisi Hak Asasi Manusia PBB, reputasi kampiun hak asasi manusia di negara kawasan Pegunungan Alpen itu tengah mendapat sorotan. Mulanya adalah hasil referendum yang diajukan komite dari Partai Rakyat dan Uni Demokratik Federal yang berhaluan kanan untuk melarang pembangunan menara masjid. Hasil pemungutan suara memenangkan pelarangan. Mau tak mau, hal ini mengesankan diskriminasi terhadap agama.
Sentimen ke arah itu sebelumnya bisa dilihat dari poster-poster kampanye pelarangan menara masjid. Menara masjid digambarkan bak pucuk-pucuk senapan berbayonet, yang seolah mewakili militansi Islam. Hal ini dipelesetkan dari kutipan pidato Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada 1997, yang menyebutkan: ”Masjid adalah barak kami, kubahnya adalah helm kami, menaranya adalah bayonet kami, dan umat adalah prajurit. Angkatan perang suci inilah penjaga agama kami.” Kebetulan, kasus menara masjid di Swiss diawali persengketaan antara asosiasi masyarakat Turki di Wangen bei Olten, Swiss utara, dan masyarakat setempat.
Sebenarnya, yang terjadi dalam pemungutan suara itu adalah gejala umum di Eropa menyikapi perkembangan Islam. Dari beberapa jajak pendapat di Prancis dan Jerman, umpamanya, banyak pendapat yang cenderung setuju bila mereka dihadapkan pada pilihan serupa. Yang mengherankan: mengapa Swiss yang memulainya?
Ada analisis yang menyebutkan bahwa Swiss ”terlalu demokratis”—untuk ukuran Eropa sekalipun—karena inisiatif populer setingkat desa saja bisa berlanjut hingga pemungutan suara nasional. Ada juga yang berkesimpulan bahwa karakter Swiss yang netral dan sangat menghargai hak asasi ternyata tidak imun terhadap virus Islamofobia yang melanda Eropa dan Barat pada umumnya.
Saat keluar dari bandara dan menuju hotel di kawasan Gare de Cornavin, sebagian pertanyaan itu terjawab. Sang pengemudi yang sudah tinggal berpuluh tahun di Jenewa mengingatkan, ”Hati-hati kalau di keramaian. Awasi barang berharga. Jenewa bukanlah tempat yang terlalu aman sekarang.”
Pernyataan itu merujuk pada perubahan sejak 2005 dengan disetujuinya Swiss bergabung dengan zona Schengen, sebagai kawasan bebas paspor Eropa, yang berarti memperlonggar kontrol perbatasan antara negaranya dan negara-negara di sekelilingnya. Pada 2008 perubahan itu efektif berlaku. Lalu lintas di perbatasan meningkat drastis. Tiap hari paling tidak 650 ribu orang dan 350 ribu kendaraan keluar-masuk Swiss. Tak semuanya orang baik-baik, tentu. Di tingkat masyarakat awam, keluhan si pengemudi tadi mewakili: soal keamanan. Banyak imigran yang masuk ke satu negara anggota Uni Eropa, kemudian bergerak ke Swiss.
Di sisi yang positif, terlihat sekali peningkatan jumlah wisatawan ke Swiss. Cina, Rusia, dan India merupakan tiga negara asal wisatawan di deretan teratas. Menurut Turisme Swiss, jumlah wisatawan Cina bahkan naik sampai 23 persen tahun lalu.
Meningkatnya mobilitas manusia terlihat di Jenewa lewat kemacetan lalu lintasnya. Mobil mengular sepanjang Rue de Lausanne, dari lampu merah ke lampu merah pagi itu. Di sore hari sama saja. Merenungi kemacetan itu, pandangan beralih ke seberang Danau Jenewa, cakrawala berpagar Pegunungan Alpen dan Jura yang berpuncak salju. Pemandangan tetap indah di Jenewa, tapi suasana rasanya berbeda dengan apa yang selama ini terbayang di literatur.
Di hotel, keramahan khas Swiss masih terasa. Sang penerima tamu menyerahkan selembar pas untuk naik semua moda transportasi umum dalam kota—kecuali taksi—cuma-cuma selama menginap di hotel di Jenewa.
Ini kiat merogoh kocek wisatawan yang patut ditiru. Ada wisatawan atau tidak, bus dan trem tetap berjalan sesuai dengan jadwal. Kapasitas terpasang moda transportasi umum yang ada dimanfaatkan lebih optimal. Dengan rangsangan berjalan-jalan pakai trem dan bus gratis ke tempat-tempat wisata, turis akan mengeluarkan uang, paling tidak untuk makan dan minum; syukur-syukur juga berbelanja.
Ketika naik transportasi umum itulah terasa bahwa Jenewa menjadi seperti kota-kota besar lainnya di Eropa Barat. Gejala kulturalisme yang sudah lama di kota dengan sekitar 20 ribu pekerja badan-badan internasional ini semakin mengental pasca-Schengen.
Di Place de Cornavin, terminal bus dan kereta api Jenewa, terasa hiruk-pikuk manusia multiwarna kulit dan multibahasa saat menunggu trem. Siang itu saya mencoba mengunjungi salah satu kantor yang paling sering dikunjungi wisatawan (100 ribu orang tiap tahun): markas besar PBB.
Menaiki bus dan berhenti di dekat markas Palang Merah Internasional, pintu masuk untuk kunjungan ke markas PBB ada di Avenue de la Paix. Menyiapkan paspor dan melewati pengamanan seperti di bandara, secara harfiah kita meninggalkan Swiss dan memasuki area internasional. Saya antre dan mengambil badge nomor 147643.
Di kompleks yang dulunya dibangun untuk Liga Bangsa-Bangsa ini, saya menelusuri jalur 39 ke kiri. Sang petugas memberi tahu saya bisa segera bergabung dengan rombongan berbahasa Inggris, satu di antara 15 bahasa pengantar bagi kunjungan. Di dalam, ada dua ruangan yang menarik perhatian, yaitu The Human Rights and Alliance of Civilizations Room (Balai Hak Asasi Manusia dan Persekutuan Peradaban) serta Council Chamber (Ruang Dewan). Melihat Balai HAM, mata takjub memandangi langit-langitnya yang dihiasi mural bak stalaktit warna-warni karya Miquel Barcelo.
Ruang sidang itu seperti gua surealis. Namun sang artis dalam catatannya mengungkapkan bahwa inspirasi datang saat dia terpanggang matahari di Gurun Sahel, Afrika. ”Terbayang oleh saya dunia meleleh ke angkasa,” tulis Barcelo pada sambutan peluncuran karyanya.
Ruang Dewan sering menjadi tempat perundingan perdamaian bersejarah, di antaranya pelucutan senjata nuklir dan perdamaian Perang Teluk 1991. Menghiasi ruang ini adalah mural dari José Maria Sert, berwarna keemasan dan sephia; megah sekaligus detail realis muncul dalam setting utopia, yang menggambarkan kemajuan dari kemanusiaan melalui kesehatan, teknologi, kebebasan, dan perdamaian secara heroik.
Yang menarik dari karya José Maria Sert dan Miquel Barcelo, dengan rentang perbedaan 74 tahun, keduanya sama-sama warga Catalunia yang enggan mengaku sebagai orang Spanyol. Miquel bahkan dalam inaugurasi karyanya, yang dihadiri Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan Raja Spanyol Juan Carlos, memberikan sambutan dalam bahasa Catalan, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol—salah satu bahasa resmi PBB. Sambutan Miquel membuat bahasa Catalan pertama kali diucapkan dalam acara resmi PBB.
Tampaknya apa yang menjadi dinamika dalam ketidakberpihakan PBB sesuai dengan latar lokasi markas besarnya di Jenewa. Sejarah kota itu juga mencerminkan upaya yang amat keras menjaga kedaulatannya dalam pertarungan kekuatan-kekuatan besar dalam sejarah.
Dari markas besar PBB di sisi barat Danau Jenewa, kita kembali ke selatan, menyeberangi Sungai Rhone dan turun di Place Neuve. Sampailah di Address:tempat paling cocok untuk melakukan tetirah sejarah di Jenewa: Dinding Reformasi, di satu taman di halaman Universitas Jenewa. Ia didirikan untuk memperingati 400 tahun lahirnya John Calvin, pendiri Universitas Jenewa. Tokoh reformasi Protestan ini dianggap ”bapak spiritual” kota itu, yang banyak meletakkan sendi-sendi kemasyarakatan hingga kini.
Di abad ke-15, kota ini menjadi rebutan Kerajaan Prancis, Kerajaan Savoy-Sardinia di selatan, uskup setempat, dan canton lain di Swiss. Pertikaian semakin rumit dengan munculnya kekuatan reformasi Protestan, yang mulai dengan misanya pada Jumat Agung 1533 di satu taman di Jenewa.
Kebangkitan gerakan reformasi di Jenewa mencapai puncaknya tatkala John Calvin, salah satu tokoh reformasi Protestan dari Prancis, pindah ke sana. Ia yang berlatar belakang ilmu hukum menyadari pentingnya kekuatan institusi dan melakukan perubahan menyeluruh dalam sistem pendidikan. Pengaruh besar lainnya adalah sumbangan internasionalisasi Jenewa sebagai dampak dari aliran pelarian para penganut Protestan dari Eropa bagian selatan, seperti Italia, Spanyol, dan Venesia, yang diterima dengan tangan terbuka oleh Calvin.
Para pendatang dari Italia membawa keahlian dagang yang didapat melalui pengalaman Jalur Sutra. Sebagian dari mereka juga merupakan kelompok elite intelektual. Pendatang Prancis membawa banyak keterampilan industri mereka, seperti pembuat jam, percetakan, dan tekstil. Calvin pula yang membolehkan kembali dibebankannya bunga atas pinjaman untuk memperlancar arus perdagangan di Jenewa. Inilah yang menjadi benih industri keuangan di Swiss.
Peperangan membawa hikmah bagi dunia perbankan Jenewa. Tatkala Raja Prancis Louis XIV di ujung peperangannya pada abad ke-17 membutuhkan bantuan finansial, para bankir Jenewa bergerak membantu. Dengan posisi netral Swiss, para bankir Jenewa bisa meminjam dan memberikan pinjaman ke pihak mana saja.
Di Dinding Reformasi memang terlihat peran sentral Calvin dalam semangat reformasi Protestan. Ada kata-kata terpahat yang merupakan pernyataan rakyat Jenewa pada 1602, yang secara tegas mengusung kemerdekaan dan sekularisme saat mereka menentang ”upaya penguasaan oleh Duke of Savoy dan menjamin kemerdekaan politik dan agama”.
Tengah hari dengan cepat mendekat Jumat itu. Waktunya pergi ke Masjid Jenewa. Di luar dugaan, bus menuju Islamic Center di Chemin Colladon luar biasa penuh siang itu. Saat berimpitan mengingatkan orang akan bus-bus di Jakarta pada jam-jam sibuk. Bedanya: di sini bermacam warna kulit, rupa, dan bahasa. Persamaannya: hampir semua adalah muslim yang saat itu bergegas hendak ke masjid.
Sesampainya di masjid, begitu kaki selesai dibasuh, panggilan akan dimulainya salat berkumandang. Tidak ada lagi tempat di atas, di lantai bawah pun tinggal baris-baris terakhir. Masjid yang cukup besar, mampu menampung 1.500 anggota jemaah dan terbesar di Swiss, tersebut penuh sesak siang itu.
Tidak terlihat suasana yang kurang nyaman, apalagi tertekan di kalangan jemaah. Selesai salat, semuanya keluar. Secepat datangnya, jemaah pun secepat itu pula menghilang. Di lantai atas, jemaah dari Afrika masih berkelompok seperti sedang bertahlil. Di dekat tembok ada beberapa individu yang membaca Al-Quran dalam diam, tampaknya dari Eropa Timur.
Saat bertemu dengan Ustad Basalamah Yahya, mantan imam Masjid Jenewa yang berdarah Yaman tapi berasal dari Purwokerto, Jawa Tengah, keadaan yang tenang itu dibenarkannya. ”Sebetulnya, untuk keseharian, pemungutan suara (mengenai pelarangan menara masjid) itu tidak ada dampaknya. Kami kecewa, tapi tidak muncul rasa takut sama sekali,” pria berusia 73 tahun ini menjelaskan.
”Kalau saya bandingkan dengan negara-negara Asia dan Afrika, baik negara Islam maupun bukan, ada negara-negara tempat orang merasa tertindas. Adapun di Eropa, kami tidak merasa tertindas. Walau bagaimanapun, kami di sini masih merasa bebas,” katanya.
Basalamah datang di Jenewa pada 1963 untuk membantu Dr Said Ramadhan, seorang intelektual Islam di Swiss. Saat itu Islamic Center di Jenewa, sebagai yang pertama di Eropa, sudah berdiri selama dua tahun. ”Pada waktu itu Islamic Center pertama yang di Rue des Eaux-Vives itu bukan hanya untuk orang di Jenewa, melainkan untuk menyebar pikiran Islam di seluruh dunia dengan cara tulisan. Lewat penerbitan-penerbitan yang bersifat menengah dan moderat. Waktu itu tidak dikenal namanya Islam yang dekat dengan terorisme dan sebagainya itu.”
Dia mengakui sejak peristiwa 11 September 2001 memang terjadi tekanan-tekanan terhadap kaum muslim. Contohnya, seorang kolega wanitanya yang tadinya bebas mengenakan hijab (kerudung) saat bekerja, menjadi tidak bebas lagi. Hijabnya harus dilepaskan saat bekerja.
Saat bersiap menghadapi pemungutan suara soal pelarangan menara masjid, masyarakat muslim di Jenewa mengadakan open house. Masjid dan Islamic Center mengundang orang supaya datang, bahkan menyediakan makanan dan minuman. Mereka membuka pintu dialog dan berusaha menyadarkan bahwa tak benar kaum muslim dekat dengan terorisme. ”Ingin kami sampaikan bahwa orang Islam itu orang biasa saja, sama-sama menginginkan keamanan, keselamatan, dan sebagainya,” tutur Basalamah, yang menjadi imam Masjid Jenewa pada 1990 hingga 2001.
Upaya itu cukup berhasil. Jenewa adalah kota dengan persentase tertinggi yang menolak larangan pembangunan menara masjid. Demikian pula empat kota terbesar di Swiss yang memiliki masjid cukup besar. Di kota-kota kecil dan desa, barulah suara yang mendukung pelarangan pembangunan menara masjid kuat dukungannya.
Dari gambaran itu terlihat di kota-kota besar Swiss dan Eropa umumnya, tempat dengan multikulturalisme sudah menjadi hal sehari-hari, Islam juga dipandang sebagai bagian dari keragaman budaya. Ini juga yang seharusnya disambut dengan keterbukaan dari komunitas muslim. Namun harapan itu tidak selamanya terpenuhi.
Saat ingin mendapatkan informasi terbaru mengenai hubungan komunitas Islam dan masyarakat Jenewa, kontak dilakukan ke pihak pengurus masjid. Setelah melalui komunikasi bolak-balik, sang imam memberikan kesempatan berbincang, tapi ada syaratnya: harus dalam bahasa Arab.
Dalam pemungutan suara, masyarakat Jenewa sudah menunjukkan dukungan terhadap komunitas muslimnya. Namun sikap setengah tertutup seperti ini membuat gerbang komunikasi terhadap dunia Islam di sana terasa menyempit.
Malam harinya, perhatian masyarakat Jenewa yang apresiatif terhadap Islam terlihat lagi di Maison des Arts du Grütli, tempat Festival Film Internasional HAM berlangsung. Malam itu diputar film dokumenter Islam di Eropa karya Bernard Debord. Tidak ada yang istimewa dari film tentang seorang anak yang terombang-ambing antara menaati wasiat bapaknya yang bertentangan dan pendapat imam masjid di Lile atau tidak. Yang menarik: membeludaknya penonton. Satu ruangan teater yang dicadangkan tak mampu menampung, sehingga harus dibuka satu ruangan lagi di sebelahnya. Itu pun masih banyak yang berdiri.
Di tengah penonton yang bergegas mencari tempat duduk, seorang ibu berkerudung terlihat kebingungan. Seorang pemuda kemudian berdiri dan menyilakannya. Sikap yang biasa saja ini menjadi lain dalam konteks situasi Islam di dunia Barat yang menjadi subyek film yang akan diputar. Mungkin pemuda itu hanya bersikap sopan tanpa melihat latar belakang agamanya. Tapi sikap santun sesederhana itu dibutuhkan oleh dunia yang makin bersitegang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo