GARA-GARA jerawatnya tak kunjung hilang, seorang gadis mengirim surat ke kediaman keluarga Presiden Soeharto di Jalan Cendana. Buntutnya, rumahnya di Kampung Bago, Tulungagung, Jawa Timur, dikunjungi Dr. Sunaryo Sadikin, Direktur RSUD Tulungagung. Ia bertanya siapakah penghuni rumah itu yang berjerawat. Suprihatin, anak nomor lima dalam keluarga Hidayat, 55 tahun, muncul. "Saya, Pak, yang berjerawat. Dulu. Enam bulan lalu. Sekarang sudah sembuh," ujar perawan berusia 18 tahun itu. Kisahnya begini. Suprihatin, awal tahun lalu, selain sibuk menghadapi ujian akhir, ia pusing memikirkan jerawat di wajahnya. "Mata orang sepertinya memelototi jerawat saya," ceritanya pada wartawan TEMPO, Saiff Bakham. Tak tahu ke mana harus mengadu, lalu ia mengirim surat ke Jakarta. Alamatnya diperoleh dari sebuah majalah. "Bismillahirahmanirahim," begitu pembukaan surat Supri. Selanjutnya, ia menceritakan ihwal jerawatnya yang tak kunjung sirna sejak kelas satu SPG. Mau berobat ke spesialis, orangtuanya hanya pensiunan pegawai tata usaha di sekolahnya. "Di Surabaya ada klinik bisa menyembuhkan jerawat dalam tempo seminggu, biayanya Rp 375 ribu. Saya tak berdaya. Saya rasanya mau bunuh diri saja, Bapak Presiden," ungkapnya dalam surat itu. Enam bulan kemudian, datanglah jawaban yang dibawa oleh dokter Sunaryo itu. Si jerawat sudah lenyap. "Resepnya salat tahajud," katanya dengan ceria. Tapi, gara-gara berita jerawatnya sampai ke Presiden, sejak Juli lalu Supri kebanjiran surat. Bahkan seorang mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Hukum Militer di Grogol, selain kagum, juga menawarkan bantuan bila Supri mau jadi guru di Lampung. "Saya pingin jadi guru di Madura saja," tutur Suprihatin. "Madura panas. Orang bilang, kalau berkeringat, jerawat ogah muncul... he... he ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini