PRESIDEN Soeharto membuka Pekan Kerajinan Indonesia 1987. Diprakarsai Dewan Kerajinan Nasional dan Departemen Perindustrian, acara itu diisi dengan memamerkan hasil lomba karya kerajinan dari semua provinsi. Menurut Menteri Perindustrian, pemasaran barang kerajinan melalui Asosiasi Pusat Perbelanjaan dan Pertokoan Indonesia (AP3I) mencapai 120 milyar rupiah. Pada caturwulan pertama (1987), volume ekspornya 6.586 ton bernilai lebih dari 58 juta dolar naik 137,9 persen dibanding tahun lalu. Apa yang dipampangkan di Sasana Androwino dan Adiguno, TMII, pekan lalu itu memang cukup beragam dan terseleksi. Ada konsep desain total" yang diterapkan. Benda kerajinan tangan tak lagi lepas sendiri-sendiri, tapi terpadu dalam tatanan ruang tidur, ruang makan, atau ruang tamu. Yang muncul lantas desain-desain yang "mahal", baik visual maupun nominalnya. Pojok produk perangkat mebel dari Lina, yang banyak menggunakan teknik permukaan dilak (lacquer) gaya Palembang, menyuguhkan teknik baru. Bidang-bidang kayu diisi anyaman bambu yang dilaminasi dan dikombinasi dengan garis-garis lempengan kuning -- dengan skema warna hitam dan emas. Kesannya canggih dan mahal. Sebuah sofa, Rp 1,2 juta, tampak banyak peminatnya. Sementara B&W Design menggunakan lembar kepingan kulit lokan untuk hiasan permukaan meja dan cermin rias. Keramik yang dipajang juga sudah merupakan set perangkat makan lengkap dengan bakaran tinggi dan glasir yang mantap, karya studio Marryan. Terpadu, terencana, dan menambah nilai agaknya tercapai. Dan sebagai bandingannya adalah apa yang dijual di tenda-tenda anjungan daerah di luar ruang pameran. Masih saja ada sosok lampu duduk dan topi golf dari anyaman yang terasa janggal. Mungkin dlbuat para perajin yang belum akrab dengan terangnya listrik -- apalagi melihat orang main golf. Sebuah alienasi atau keterasingan dan jarak yang harus pula dimaklumi tim juri, menilai 16 macam komoditi. Untuk perpindahan yang mulus dari keterampilan tradisional kebutuhan Modern -- tanpa mengabaikan "daya guna" -- suatu kaidah utama dalam seni kria, dimenangkan oleh mereka yang akrab dengan kehidupan modern. Menarik disimak, pemenang harapan lomba lampu duduk, studio Inac's dari Jakarta, yang menggunakan batang kayu dilapis rotan dan kap lampu dengan lukisan wayang Bali gaya Kamasan -- dibuat di atas pola yang sudah dibentuk untuk kap lampu. Jadi, bukan asal memotong kain kanvas. Seni kria bukan hanya dinilai dari rumit dan lamanya pembuatan -- juga ada sesuatu yang baru di situ. Tentu, hal itu tak bisa diterapkan pada kerajinan yang masuk dalam kategori tradisional -- seperti kain songket dari Pandai Sikek dan tenun ikat dari Toraja, yang juga dipamerkan. Di sini njlimet berarti halus dan mahal, harganya di atas Rp 400 ribu selembar. Sementara itu, seniman-seniman dari Bali merebut perhatian. Karya M. Togog berupa "pohon rambutan" dan "pohon kelapa" yang banyak ditiru orang, dan laris, seakan menekan kembali diktum seni pop: "Mana yang benar, realita atau tiruannya?" I Dewa Windya, yang mengekspor karyanya dalam jumlah besar, dengan yakinnya menghadirkan angsa-angsa dan kembang hibiskus disalut prada emas seluruhnya, kesannya eksotis dan sangat canggih. Dan memang pantas digelar, baik di Pantai Nusa Dua atau di Fifth Avenue sekalipun. Ananda Moersid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini