Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Dari seorang putri mangkunegaran

Pengarang : roswitha pamoentjak singgih jakarta : djambatan, 1986 resensi oleh : edi sedyawati.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARTINI. Tulisan Kehidupan Seorang Putri Mangkunegaran Penerbit: Djambatan, Jakarta, 1986, 114 halaman, dalam bahasa Indonesia dan Inggris. MENARIKNYA buku ini adalah seperti menariknya cerita-cerita musafir. Untuk kebanyakan orang, isinya memikat karena dapat membawa mereka ke dunia yang eksotis. Sedangkan untuk sejumlah orang yang terbatas, cerita tersebut adalah ajakan untuk meniti kembali peristiwa-peristiwa atau suasana-suasana yang pernah sama-sama dikenal. Buku ini berisi otobiografi dari seorang putri di Kepangeranan Mangkunegaran di Jawa Tengah, yang kemudian menikah dengan cendekiawan terkenal, Prof. Dr. Husein Djajadiningrat. Segala kenangan hidupnya itu diceritakannya kembali melalui Roswitha Pamoentjak Singgih. Nama putri itu B.R.A. Partini Djajadiningrat -- putri sulung Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro VII. Sebagai biografi, karangan ini dapat digolongkan ke salah satu jenis penulisan sejarah. Sifatnya berupa susunan data -- terbentuk atas dasar kerangka berpikir tertentu -- dan diwarnai penilaian khusus dari si pencerita. Maka, buku ini menjadi tak jelas benar kerangka pikir dan penilaian siapakah yang lebih menonjol: Partini ataukah Roswitha. Dalam masa penyiapan buku ini, Partini "mendiktekan pengalaman-pengalamannya" (lihat di bagian Penjelasan/Preface), diperkirakan bahwa pendiriannya yang lebih tampil. Sajian data berupa otobiografi ini dapat pula dimanfaatkan dalam kajian-kajian lain dan bertolak dari berbagai disiplin, seperti Antropologi, Sosiologi, Sejarah Kebudayaan. Otobiografi ini diwarnai minat si empunya riwayat: apa yang dianggapnya baik, apa yang menarik, maupun apa yang penting. Tata penyajiannya jadi seperti album beranotasi, karena banyak foto menghiasi buku ini. Partini pada berbagai usia, dalam berbagai dandanan, baik secara Jawa maupun Barat. Dalam pakaian Cina, untuk suatu pesta dansa bertopeng, dalam pakaian "Perzie" (1001 malam) untuk maksud yang tak dijelaskan dalam keterangan foto, dan dalam kostum-kostum khusus untuk menarikan berbagai tari Barat (halaman 48-51). Foto-foto pesta dansa di Puri Mangkunegaran (halaman 97) memperlihatkan Partini dan para pembesar Jawa dalam pakaian Jawa, menarikan polonaise dan quadrille bersama para pembesar Belanda. Tak satu pun foto dalam buku ini menggambarkan Partini dalam kegiatan seni Jawa. Peristiwa kesenian diungkap hanya sambil lalu -- itu pun dalam hubungannya dengan upacara perkawinan. Hanya wayang wong dan wayang kulit yang disebut, walau sesungguhnya Mangkunegaran pada masa itu mempunyai peran yang khas dalam mengembangkan bentuk-bentuk seni pertunjukan seperti langendriyan, topeng, dan gambyong. Padahal, Partini bukan tak mengenal seni Jawa. Mahasiswa-mahasiswa Husein Djajadiningrat dari angkatan 1950-an pernah belajar dari Partini bagaimana melagukan santiswaran. Namun, cukup menarik bahwa kegiatan seni Jawa tidak dimunculkan sama sekali dalam otobiografi ini. Bahkan kutipan dari karya sastra Wulangreh ciptaan Mangkunegoro IV di halaman 30 penuh dengan salah ejaan. Bagi Partini, keluarga adalah urusan pertama, tujuan gerak sanubarinya. Dan inilah benang merah otobiografinya. Kasih sayang dan bimbingan ayahnya asuhan Ibu Suparti, bibinya, serta bimbingan dan kasih suaminya. Semua itu diterimanya sebagai sumber kekuatan hidup, yang membawanya berkreasi, misalnya mengarang cerita, merangkai perhiasan. Ia sendiri anak yang patuh kepada ayahnya, dan sangat mengaguminya. Di satu pihak ia memegang teguh adat Jawa -- khusus yang dianut di Istana Mangkunegaran. Di pihak lain, ia dimasukkan ke sekolah Belanda -- sebagaimana ayahnya mendapat pendidikan kemiliteran dan Belanda -- dan bergaul akrab dengan para pejabat Belanda. Tugas keluargalah yang membuat dia asyik dalam pergaulan kelas para bangsawan Jawa dan para pejabat pemerintah kolonial. Buku ini bisa dibandingkan dengan terbitan surat-surat Kartini. Keduanya merupakan pernyataan diri seorang wanita Jawa yang bangsawan. Namun, ada bedanya. Surat-surat Kartini merupakan tanggapan atas situasi aktual, sedangkan otobiografi Partini adalah suatu retrospeksi. Beda yang lain: Kartini memberontak terhadap adat, sedangkan Partini tenggelam di dalamnya -- sambil memilih yang baik-baik baginya. Tetapi keduanya saling melengkapi untuk memahami dunia wanita bangsawan Jawa. Edi Sedyawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus