KERETA rel listrik yang sudah dikenal sejak 1925 ('zaman kuda
gigit besi' kata orang), tampaknya akan dipaksa berperan lagi di
DKI Jakarta. Dan ini kabarnya jadi tumpuan harapan terakhir Ali
Sadikin, buat memecahkan masalah angkutan umum. Sebab mengenai
bab yang satu ini, ia tampak sudah kewalahan. Meski sudah
diotak-atiknya selama 2 kali masa jabatan sebagai gubernur.
Namun agaknya kecil harapan bisa dibereskan hanya dalam tempo 6
bulan lagi, yaitu selama jadi Penjabat Gubernur sejak
pelantikannya Senin pekan terakhir bulan lalu.
Bagaimana pun alat angkutan jenis lainnya yang jadi wewenang DKI
(bis kota/mikrobis, taxi dan helicak/minicar dan lainnya)
diotak-atik, tapi daya angkutnya belum juga mencukupi kebutuhan.
Apalagi jika dihubungkan dengan pembangunan kota-kota satelit
Depok dan Cengkareng, seperti dikemukakan ir. Ary Chayaridipura,
Kepala Fisik/Prasarana Bappeda (Badan Perencana Pembangunan
Daerah) DKI Jakarta. "Pembangunan kota satelit tanpa dibarengi
peningkatan sistim angkutan di Ibukota, tidak akan terasa
mengurangi kepadatan arus lalu-lintas, terutama di saat-saat jam
kerja", katanya kepada KNI pekan terakhir bulan lalu. "Angkutan
dengan kereta api kota seperti sudah dimulai sekarang dengan
kereta rel listrik (KRL) dan kereta rel disel (KRD) perlu
ditingkatkan", tambahnya "mengingat daya angkutnya yang lebih
besar dari bis kota".
Tapi sudah siapkah PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) yang
selama ini dikenal sebagai yang punya kereta api itu? Tampaknya
belum. Sebab menurut Oyet Ratma, Humas PJKA Exploitasi Barat,
meski sekarang sudah datang 20 buah KRL (1 set terdiri dari 4
buah) dan 24 KRD (satu set 2 buah), "tapi jangan dikacaukan
bahwa semua itu untuk angkutan dalam kota Jakarta". Menurut
Oyet, "kedatangan semua kereta itu adalah dalam rangka komitmen
bantuan Jepang tahun 1971/1972". Komitmen itu menyebutkan bahwa
KRL akan dioperasikan pada lintas Jakarta-Bogor. Karena di
lintas itu sudah ada jalur kawat listriknya. Sedang KRD
dioperasikan pada lintas Jakarta-Merak, Jakarta-Cirebon dan
Jakarta-Bandung.
Jalan Landai
Jangankan siap buat memecahkan angkutan umum di dalam kota,
mengurus diri PJKA sendiri tampaknya masih repot. Sebab menurut
Oyet, KRD-KRD itu cuma sanggup ngeloyor di jalan landai, dengan
tanjakan kurang dari 10 promil. Hingga mustahil buat lintas
Bandung. Lantas pada lintas Jakarta-Merak bantalannya, paku-paku
dan relnya tak cukup kuat. Alhasil, yang bisa jalan cuma lintas
Jakarta-Cirebon. Lalu bagaimana KRL?
Lebih repot lagi. Karena memerlukan antara lain pengamanan dan
pengadaan suplai tenaga listrik pada jalur yang ada rentangan
kawat listriknya, perbaikan jalanjalan di ring band (rel yang
mengelilingi kota Jakarta) dan perbaikan depot Bukit Duri.
Membebani ring band itu saja repotnya bukan main. Sebab lintas
timur (Jatinegara-Senen-Kota) panjangnya tak kurang dari 12.489
M, lintas tengah (Manggarai-Gambir-Kota) 9.754 M dan lintas
barat (Manggarai-Angke-Jakarta Kota), 16.374 M. Yang berkawat
listrik hanyalah lintas timur dan tengah. Dan karena gardu-gardu
listriknya yang jalan cuma yang Kedung Badak (Bogor), Depok dan
Jatinegara, maika yang bisa dilewati KRL hanya lintas tengah.
Lintas Jakarta-Bogor peresmiannya dilakukan Presiden Suharto 12
Agustus tahun silam. Untung pembersihan pinggir rel dari
rumah-rumah liar sudah beres. Dikerjakan Kamtib DKI atas
permintaan PJKA dengan memberi ganti rugi Rp 37.500 per
keluarga, kata Oyet.
"Umumnya angkutan dalam kota tak pernah memberikan keuntungan
uang", kata Oyet pada Mansur Amin dari TEMPO. Itulah sebabnya
Oyet buru-buru minta, agar perkara kereta-kereta rel itu,
"jangan dikacaukan sebagai untuk angkutan dalam kota Jakarta".
Selain katanya ada komitmen tadi. Bila hal ini dihadapkan kepada
Syariful Alam, jurubicara Pemda DKI Jakarta, tentu saja akan
terheran-heran. "Yang menyanggupi akan membantu memecahkan
masalan angkutan umum dalam kota itu fihak PJKA sendiri", tutur
Syariful Alam pada TEMPO. "Mengherankan ada pernyataan seperti
itu", katanya. "Tapi kalau yang punya kereta bilang begitu, mau
apa lagi?"
1 Juta Dollar
Tapi Syariful tak lantas berhenti sampai di situ ia mengingatkan
bahwa gagasan mengnidupkan kereta listrik itu datang dari Pemda
DKI dan sudah disodorkan Gubernur Ali Sadikin kepada Pusat
(Departemen Perhubungan) sejak 1972. Karena kereta api merupakan
alat angkutan jenis I menurut pola angkutan DKI Jakarta, yang
memang tak akan mampu dikerjakan DKI, di samping bukan
wewenangnya. Dan kabarnya sudah diaminkan Emil Salim. Ini pun
disusul kemudian dengan mengadakan penelitian menyeluruh soal
angkutan umum di DKI. "The Jakara Metropolitan Areal
Transportation Study, begitu sebutan itu penelitian. Dilakukan
bersama Pemda DKI dan dipimpin drs. R. Sukotjo dari Direktorat
Jenderal Perhubungan Darat, Deperhub. Lamanya: 3 tahun (1972 s/d
1974).
Menurut Sukotjo (kini Kepala Bagian Keuangan Ditjen Perhubungan
Darat), setelah penelitian yang menghasilkan rencana induk
transportasi di DKI Jakarta itu, menyusul kemudian penelitian
lanj utannya . Yakni penelitian khusus atas lintas timur yang
bersifat tehnis dan terperinci. Dengan alasan bahwa arus lalu
lintas di sana termasuk paling padat. Hingga diperkirakan bila
lintas ini dibenahi, akan sangat membantu angkutan jalan raya
lainnya di DKI. Mass rapid transit study Jakarta Eastern
Corridor, begitu sebutan itu penelitian. Berlangsung selama 3
bulan. Dan disertai ahli-ahli dari Jerman Barat. Jangan lupa,
tak kurang dari 1 juta dollar AS habis dilahap kedua penelitian
tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini