Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
DI kedai kopinya yang—kebetulan—dinamai Kedai, sebuah bangunan besar bercat kelabu, merah muda, dan merah di tepi jalan tak jauh dari Kemang, Jakarta Selatan, Tika duduk rileks di salah satu sudut. Suasana di ruang itu hangat dan akrab, seperti di rumah, siapa saja boleh datang sore itu atau di hari-hari lain; beberapa orang duduk mengobrol atau mengetik di laptop. ”Salah satu pekerjaan saya: menjaga tempat ini,” kata Tika.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo