Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELUANG Joko Widodo untuk kembali menjadi presiden pada 2019-2024 terbuka lebar. Lima partai pendukung pemerintah menyatakan mengusungnya sebagai calon presiden. Hasil survei sejumlah lembaga pun menunjukkan elektabilitasnya terus meningkat. Tingkat keterpilihannya menembus 50 persen, lebih baik ketimbang calon lawannya dari Partai Gerindra, Prabowo Subianto, dan mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, Gatot Nurmantyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga setengah bulan menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden, mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan emoh memusingkan pemilihan presiden. Jokowi juga belum menentukan calon pendampingnya. Ia lebih sering rungsing saat mendapati berbagai infrastruktur yang baru dibangun mangkrak akibat ketiadaan sarana penunjang. "Saya masih berkonsentrasi pada pekerjaan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Jokowi tak hanya berkutat dengan urusan infrastruktur. Ia rajin berkeliling menyambangi pesantren dan menemui ulama. Ahad dua pekan lalu, Jokowi menghabiskan dua setengah jam berdiskusi dengan Persaudaraan Alumni 212-pentolan penggerak demonstrasi besar anti-Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap menghina Islam-di Istana Bogor. Ia menyebutnya sebagai pertemuan politik untuk mencairkan suasana.
Tim pendukung Jokowi juga bergerak mencari calon wakil presiden yang akan mendampinginya. Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, berulang kali menemui Prabowo, lawan Jokowi pada pemilihan presiden 2014. "Mereka teman baik. Memang tiap minggu mereka bertemu," ujar Presiden. Jokowi sendiri juga bertemu dengan pengurus Partai Keadilan Sejahtera, yang bersama Gerindra menjadi oposisi pemerintah.
Sejumlah partai pendukung Jokowi juga mengajukan nama calon, termasuk opsi Jokowi kembali berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Pak JK, menurut saya, yang terbaik. Tapi saya tidak ngerti tafsir konstitusinya seperti apa," ucapnya.
Jumat siang pekan lalu, Jokowi menerima wartawan Tempo Arif Zulkifli, Widiarsi Agustina, Anton Septian, Raymundus Rikang, dan Reza Maulana di Istana Merdeka, Jakarta. "Kalau tahu mau difoto, saya pakai jaket denim, he-he-he...," kata Jokowi, mengacu pada jaket jins berlukis peta Indonesia yang ia kenakan saat touring sepeda motor di Sukabumi, Jawa Barat, awal April lalu.
Bagaimana Anda menyeimbangkan peran sebagai presiden dan calon presiden?
Saya masih berkonsentrasi pada pekerjaan. Nanti pun sama, tetap akan berkonsentrasi pada pekerjaan. Semua pembangunan infrastruktur perlu dicek, dikontrol, diawasi.
Berapa banyak proyek yang rampung dalam waktu dekat?
Pada 2018 ini kami harapkan ada 38 proyek strategis nasional yang bisa beroperasi. Nilainya kurang-lebih Rp 1.479 triliun. Bandara, misalnya, tahun ini akan selesai Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, dan Ahmad Yani di Semarang. Sementara itu, yang belum akan rampung karena baru dimulai ada 119 proyek dengan nilai Rp 899 triliun. Masih banyak yang lebih dapat kami selesaikan. Maka saya ke bawah terus. Kami ingin memastikan semuanya sesuai dengan target. Semua harus dilaksanakan dengan detail. Jangan sampai ada waduk tapi tidak ada saluran irigasinya. Ada pelabuhan tapi tidak ada aksesnya. Ada museum di tengah hutan (mengentak-entakkan pulpen di meja).
Mengapa bisa begitu?
Saya tidak ngerti. Artinya, perencanaan kurang matang. Antara pemerintah pusat dan daerah tidak bersambung. Dalam pembangunan waduk, contohnya. Pemerintah pusat mengerjakan waduk dan saluran irigasi primer. Aliran sekunder dan tersier dibagi ke pemerintah provinsi dan kabupaten. Di situ sering missed. Waduk dibangun tapi salurannya tidak dianggarkan pemerintah daerah. Di pelabuhan juga sama. Tidak ada anggaran untuk pembuatan jalan. Banyak sekali. Itulah kenapa kami harus turun. Juga untuk hal-hal kecil yang menghambat, seperti pembebasan tanah. Kalau saya datang, perintahnya cuma "selesaikan". Sebenarnya begitu saja. Tapi, kalau saya tidak turun, tidak rampung.
Tidak ada waktu untuk mempersiapkan diri buat pemilihan presiden 2019?
Saya sampaikan tadi, saya akan tetap berfokus pada pekerjaan.
Anda bisa berfokus pada pekerjaan rutin karena sudah ada tim yang mengurus pemilihan presiden?
He-he-he.... Yah, menyelesaikan pekerjaan ini kan juga salah satu kampanye, dengan menunjukkan bukti.
Apa kriteria wakil presiden yang Anda inginkan?
Belum ada kriteria. Prosesnya masih panjang. Masih tiga setengah bulan lagi.
Anda mempertimbangkan kemungkinan wakil Anda berpeluang besar menjadi presiden pada pemilihan 2024?
Ndak. Bisa saja wapres nanti mempunyai keinginan untuk maju pada 2024. Kan, tidak apa-apa.
Kami mendapat informasi beberapa partai pendukung Anda memasukkan pertimbangan itu.
Ya, ada suara-suara seperti itu.
Anda menganggap kontinuitas sebagai salah satu faktor penentu?
Kalau seperti itu, ada keberlanjutan pembangunan, sehingga visi, tujuan, dan tahapan pembangunan bisa dilalui dengan baik. Memang kelemahan kita adalah keberlanjutan dari setiap periode. Dari dulu saya lihat seperti itu.
Dengan pertimbangan itu, akankah calon dari partai politik berpeluang lebih besar menjadi wakil Anda?
Saya kira bisa dari parpol, bisa non-parpol. Bisa militer, bisa sipil, bisa profesional, he-he-he....
Sudah ada nama yang Anda kantongi?
Banyak. Wong cuma di kantong, he-he-he....
Wakil Presiden Jusuf Kalla termasuk?
Bisa. Pak JK, menurut saya, yang terbaik. Tapi saya tidak ngerti tafsir konstitusinya seperti apa.
Jusuf Kalla terbaik di antara calon yang ada?
Terbaik di antara yang terbaik, he-he-he....
Opsi kembali berpasangan dengan Jusuf Kalla sudah dibahas dengan partai pendukung?
Ya, Pak JK banyak dibicarakan dari partai-partai pendukung.
Tim Anda sudah bergerak menjaring calon wakil presiden?
Tidak ada. Tim internal tidak ada, tim eksternal juga tidak ada, he-he-he....
Bukankah Luhut Pandjaitan, misalnya, telah menjalin komunikasi dengan Prabowo Subianto?
Apa hubungannya? Wong mereka teman baik. Memang tiap minggu mereka bertemu. Kadang, ya, tiga hari sekali juga bertemu. Saya mengetahui semua pertemuan itu.
Pihak Gerindra menyebutkan di antara pertemuan ada penawaran kepada Prabowo untuk menjadi calon wakil Anda....
He-he-he.... Kami ini kan terbuka pada opsi-opsi, untuk kebaikan negara. Saya juga bertemu dengan hampir semua partai dan tokoh. Ada yang secara terbuka, ada yang tertutup.
Termasuk dengan Partai Keadilan Sejahtera?
Ada yang menyampaikan saya tidak pernah bertemu dengan PKS. Siapa bilang (mengetuk-ngetukkan jari di meja)?
Pertemuannya berapa kali?
Dua kali, kalau tidak keliru.
Bicara soal koalisi?
Yang namanya pembicaraan kan banyak, he-he-he.... Tapi, yang jelas, pasti banyak bicara politiknya. Kita blakblakan saja, bicara politik kan mesti pemilihan presiden. Kalau bicara pilpres, ya mesti koalisi. Begitu saja, kan, ha-ha-ha....
Seberapa besar peluang tercipta koalisi dengan PKS?
Kami sebatas berbicara mengenai hal itu. Mau berkoalisi atau tidak, belum diputuskan. Tapi, kalau ada yang mau berkoalisi dengan saya, masak saya tolak?
Kalau semua partai bergabung di pihak Anda, bisa-bisa Anda tidak punya lawan dalam pemilihan presiden 2019....
Enggaklah. Pilihan kan selalu ada.
Bagaimana Anda memandang saling sindir partai pendukung Anda soal calon wakil presiden?
Tidak apa-apa. Politik yang bagus itu yang ada dinamika, ada dialektika, ada warna-warni. Masak, adem-adem saja? He-he-he....
Dinamika itu membantu Anda menyaring calon wakil presiden?
Bukan saya, tapi memudahkan rakyat untuk melihat dan memilih wakilnya.
Bagaimana Anda mengatasi kekecewaan partai pendukung saat calon wakil yang mereka ajukan tak Anda pilih?
Saya mengajak bicara semua partai pendukung saya. Relawan pun diajak bicara. Bahwa ada perbedaan-perbedaan, kembali lagi, demokrasi pasti seperti itu. Tapi, kalau saya sampaikan bahwa sudah istikharah (salat untuk minta petunjuk Allah saat akan menentukan pilihan) malam sebelumnya dan sudah ketemu nama, ya sudah, he-he-he....
Kapan akan Anda umumkan nama pendamping?
Nanti setelah pemilihan kepala daerah, Juni mendatang. Mungkin. Bisa juga sebelumnya, he-he-he....
Anda lebih suka melawan Prabowo, Gatot Nurmantyo, atau Anies Baswedan?
Siapa pun. Ini demokrasi, kok. Semakin banyak opsi, semakin banyak alternatif, semakin banyak pilihan, baik untuk rakyat.
Ada informasi bahwa Anda lebih khawatir kepada Gatot ketimbang Prabowo....
Siapa pun yang baik untuk masyarakat, baik untuk demokrasi kita. Semuanya baik.
Pada pemilihan presiden 2014, ada friksi antara pendukung Anda dan Prabowo, yang kemudian muncul kembali pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Anda cemas hal itu terulang?
Saya kira kedewasaan masyarakat dalam berpolitik semakin baik. Dalam pemilihan bupati, wali kota, gubernur, ataupun presiden, kami mengajak kandidat untuk adu program, ide, gagasan, dan rekam jejak. Kita harus memulai dengan kedewasaan berpolitik seperti itu dan menghindarkan penggunaan fitnah, penggunaan isu suku, agama, ras, dan antargolongan. Politikus kita harus mengarah ke sana. Jangan berbicara hal-hal yang tidak substansi, saling mengejek, saling mencela. Ini tidak memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Termasuk isu-isu komunisme, Partai Komunis Indonesia, dan sebagainya?
Ya. Itu kan diulang-ulang aja. Dulu sudah muncul isu PKI, komunis, antek asing, antek aseng. Masak, mau diulang? Wah, sudah jadul bangetlah. Kuno.
Bagaimana Anda menetralkannya?
Ya, terus menjelaskan dalam setiap pertemuan. Misalnya, saat membagikan sertifikat, saya sampaikan pilihlah pemimpin yang baik, baik di kota, kabupaten, provinsi, maupun nasional. Setelah mencoblos, ya rukun kembali. Jangan termakan oleh isu-isu SARA, isu PKI.
Anda terganggu oleh isu-isu itu?
Ndak, ndak, ndak. Tapi kan masyarakat perlu penjelasan. Saya kira masyarakat sudah belajar banyak, baik di pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden, sehingga semakin matang. Inilah sebuah proses panjang menuju kedewasaan kita dalam berpolitik. Termasuk politikus-politikusnya.
Anda sering menyambangi pesantren dan ulama untuk menepis isu anti-Islam?
Sebetulnya tidak ada masalah apa-apa. Masak, tidak boleh ketemu? Saya mendatangi pondok pesantren, lalu ada kiai yang mengatakan pingin melihat Istana. Ya sudah, saya undang.
Termasuk pertemuan dengan Alumni 212 di Istana Bogor, Ahad pekan lalu?
Ada yang menemui saya dan menyampaikan keinginan mereka untuk bertemu. Ya, saya undang.
Apa saja yang dibahas selama dua setengah jam itu?
Ya, lama karena kangen, he-he-he.... Ini kan silaturahmi politik untuk mencairkan suasana. Jangan sampai ada pendapat-pendapat saya tidak bertemu dengan satu pihak. Saya bertemu dengan siapa pun, tidak ada masalah, kok.
Mengapa pertemuan berlangsung tertutup?
Karena ada permintaan tertutup. Kalau mereka mau terbuka, ya, saya terbuka.
Apakah ada yang keberatan Anda menemui Alumni 212?
Ya, relawan mempertanyakan hal itu. Saya sampaikan kepada mereka bahwa semua adalah rakyat Indonesia. Masak, ada yang mau ketemu, saya enggak mau? Itu kan enggak benar.
Joko Widodo
Tempat dan tanggal lahir: Surakarta, 21 Juni 1961
Pendidikan: Sarjana Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1985)
Karier:
Presiden Republik Indonesia (2014-sekarang)
Gubernur DKI Jakarta (2012-2014)
Wali Kota Surakarta (2005-2012)
Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007)
Ketua Bidang Pertambangan dan Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996)
Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Surakarta (1990)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo