Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Belenggu Calon Pendamping

SEBAGAI inkumben dalam pemilihan presiden 2019, Joko Widodo hampir memiliki segalanya: kekuasaan, birokrasi, dan kesempatan luas untuk bertemu dengan pemilih.

29 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI inkumben dalam pemilihan presiden 2019, Joko Widodo hampir memiliki segalanya: kekuasaan, birokrasi, dan kesempatan luas untuk bertemu dengan pemilih. Kemungkinan dia kembali menjadi presiden pada 2019-2024 relatif besar. Tingkat keterpilihannya meningkat dari waktu ke waktu. Elektabilitas Jokowi kini di atas 50 persen-meninggalkan Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerindra.

Empat tahun memerintah, Jokowi menorehkan banyak prestasi. Sejumlah proyek infrastruktur dia selesaikan-meski dengan sejumlah catatan, misalnya kecelakaan kerja, pendanaan yang berantakan, dan sejumlah problem teknis. Ia hampir tiap pekan meresmikan proyek, seremoni yang memberinya kesempatan meraih simpati.

Dengan kenyataan ini, Jokowi semestinya lebih percaya diri menghadapi pemilihan umum. Presiden tak perlu cemas terhadap analisis yang menyebutkan dia tak diminati pemilih muslim. Pasca-demonstrasi 212, pemerintah memang dikesankan berseberangan dengan umat Islam. Tudingan pencemaran agama yang diarahkan kepada Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta ketika itu, ikut "menyeret" Jokowi. Tuntutan kepada polisi agar memenjarakan Ahok-demikian Basuki biasa disapa-berubah menjadi dorongan untuk menjatuhkan Presiden. Sebelum itu, untuk pelbagai kepentingan politik, Jokowi juga kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia.

Menyikapi analisis itu, Jokowi masih terkesan galau. Pertemuannya dengan Persaudaraan Alumni 212-sejumlah orang yang mengatasnamakan demonstran penentang Ahok pada 2016-mudah dibaca sebagai keinginan Jokowi agar tak "ditinggalkan" pemilih Islam. Presiden hendaknya tak rancu: Islam, pemilih muslim, dan Persaudaraan Alumni 212 adalah tiga entitas yang tidak sepenuhnya kongruen.

Akar persoalannya adalah analisis yang menyebutkan Jokowi tak disokong umat Islam-hal yang kerap digaungkan lawan politik. Padahal tak ada data yang meyakinkan untuk mendukung klaim itu. Pendukung dan penentang Jokowi, seperti tampak dalam sejumlah survei, tersebar di segala agama dan keyakinan. Pada sebuah sigi, pendukung Jokowi dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persatuan Islam-untuk menyebut tiga organisasi Islam-masih di atas 50 persen. Angka itu sejalan dengan elektabilitas Jokowi tanpa mengindahkan identitas pemilih.

Sayangnya, analisis bahwa Jokowi tak diminati umat Islam itu tampaknya telanjur dipercaya-tidak hanya oleh Presiden, tapi juga oleh mereka yang ingin mendampingi Jokowi sebagai calon wakil presiden. Di media sosial dan pelbagai pesan berantai, kini kerap ditemukan pejabat publik yang mendadak "saleh": bersongkok dan mengucapkan pelbagai doa. Itu pesan-pesan yang tentu saja baik, tapi sulit untuk tak menduganya bermotif politik, termasuk keinginan dipinang sebagai wakil presiden.

Jokowi semestinya tak hirau terhadap itu semua. Satu setengah tahun lagi memerintah, ia selayaknya berfokus pada peningkatan kinerja. Akan halnya memilih calon wakil presiden, ia bisa lebih rileks.

Calon wakil presiden seyogianya mereka yang cakap bekerja. Tidak hanya mengimbangi kegesitan Presiden menyelesaikan pembangunan ekonomi, kandidat itu juga mesti punya perhatian pada persoalan hukum, kesetaraan gender, lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan politik internasional-isu-isu yang relatif terbengkalai selama ini. Calon wakil presiden Jokowi selayaknya bukan orang yang hanya membebek keinginan Presiden. Ia juga harus menjadi devil's advocate bagi kebijakan-kebijakan Presiden.

Mempertimbangkan aspirasi partai pendukung tentu tidak ada salahnya. Tapi aspirasi itu hendaknya tidak mengikat Presiden. Abaikan partai, organisasi, atau individu yang menyorongkan diri dengan membawa nama agama. Terhadap organisasi kemasyarakatan berbasis religi, Jokowi harus mengedepankan kinerja, bukan tetek-bengek menyangkut identitas diri.

Sudah selayaknya Indonesia keluar dari belenggu politik identitas. Lima tahun terakhir, problem suku, agama, dan golongan telah menjadi virus dalam politik Tanah Air. Dalam persaingan politik, dua pihak yang berseberangan bisa menggunakan isu agama untuk saling menjatuhkan. Isu inilah yang hendak dipertahankan dalam perhelatan 2019.

Jokowi punya kesempatan emas untuk memperbaiki keadaan. Untuk mendinginkan suhu politik, ia boleh-boleh saja mendengarkan dan merangkul semua golongan. Tapi, sebagai calon presiden, ia tidak boleh merangkul kelompok intoleran hanya untuk memenangi pertandingan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus