Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU pagi di tahun 2007, seorang laki-laki kurus datang ke kantor Tempo di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Ia datang bersama seorang laki-laki. Sabtu itu, wartawan Tempo tak ada di kantor karena tenggat artikel sudah selesai. Yang tinggal hanya wartawan piket untuk memantau naskah hingga naik cetak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laki-laki tersebut mengenalkan diri kepada wartawan piket yang kuyu karena habis begadang itu sebagai Joko Widodo alias Jokowi, Wali Kota Solo, Jawa Tengah. Maksud kedatangannya: berpromosi tentang kotanya. Wartawan piket itu mengatakan tak ada wartawan di kantor Tempo. Karyawan nonwartawan juga sedang libur. Jokowi tak peduli. Maka di ruang rapat itu ia menjelaskan Solo dengan slide PowerPoint atau PPT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun berikutnya, kami membuat edisi khusus kepala daerah terbaik. Para ahli otonomi daerah yang menjadi juri memilih Joko Widodo sebagai salah satu yang terbaik. Ia bisa memindahkan pedagang yang tak tertib tanpa kekerasan setelah mengajak mereka 56 kali bersantap sarapan.
Sejak itu, karier Jokowi meroket. Ia ke Jakarta jadi gubernur. Ia ikut pemilihan presiden dan menang. Sebagai media, Tempo meliput gerak-gerik dan kebijakan Jokowi hampir tiap pekan.
Kemenangan Jokowi disambut mayoritas masyarakat Indonesia sebagai kemenangan orang kebanyakan. Ia mewakili kalangan biasa yang kontras dengan rivalnya, Prabowo Subianto, yang menjadi bagian Orde Baru, jenderal tentara yang terlibat penculikan aktivis prodemokrasi, dan anak mantan menteri.
Tempo pun membuat sampul yang mewakili euforia itu. Tapi, selepas itu, setelah ia resmi menjadi presiden, Tempo menjalankan fungsi pers semestinya: mengawasi dan mengkritik kebijakan Jokowi. Pada 24 November 2014, misalnya, kami menulis kemungkinan Jokowi membangun oligarki baru melalui kerja sama pengadaan minyak dengan pengusaha Tiongkok.