Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah panglong kayu, di tepi jalan raya yang hiruk-pikuk di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur, kepada Joko Widodo alias Jokowi saya mengajukan pertanyaan: apakah penegakan hukum akan menjadi program unggulan 100 hari pertama pemerintahannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, pertengahan Oktober 2014, beberapa hari sebelum pelantikannya menjadi Presiden Indonesia ke-7. Di panglong itu redaksi Tempo memotret Jokowi untuk sampul sebuah edisi khusus. Adegan yang kami pilih: Sang Presiden sedang menyerut kayu dengan latar belakang gelondongan yang bertumpuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejatinya, Jokowi tak asing dengan tempat itu. Di situ dia belasan tahun sebelumnya menjajakan furnitur—bisnis yang ia tekuni sebelum menjadi politikus. Sejumlah tukang kayu membuka percakapan, sekadar membangun obrolan nostalgia.
Sejak Jokowi menjadi Wali Kota Solo, Jawa Tengah (2005-2012), orang ramai menjuranya sebagai pemimpin alternatif. Ia adalah politikus yang merepresentasikan rakyat kebanyakan. Ia antitesis Susilo Bambang Yudhoyono—presiden sebelumnya yang kaku, dingin, dan berjarak. Dalam Pemilihan Umum 2014, ia mengalahkan Prabowo Subianto, komandan jenderal pasukan khusus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang keras dan mudah marah. Panglong kayu dengan demikian mewakili harapan publik terhadap pemimpin yang memihak orang ramai, selain menyimpan potret biografis Sang Presiden.
Majalah Tempo edisi 20-26 Oktober 2014 dengan gambar Presiden Joko Widodo. Dok. Tempo
Tapi politik bukan cuma soal romantisisme. Itu sebabnya pertanyaan tersebut saya ajukan. Jokowi menjawab, “Kuku saya belum menancap, saya belum akan menjadikan penegakan hukum sebagai prioritas.”
Ia mungkin sedang berapologi. Tapi saya menyadari posisinya tak mudah.
Dalam pemilu tahun itu, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menang dengan 53,15 persen suara melawan Prabowo-Hatta Rajasa. Didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, dan Partai Hanura, posisi Jokowi tak aman. Di Dewan Perwakilan Rakyat, koalisi itu hanya mendapat 40 persen kursi.
Hubungan Jokowi dengan PDIP, partai tempatnya berasal, tak mulus—ia belakangan disebut sekadar petugas partai. Kelompok kanan menudingnya anti-Islam dan datang dari keluarga berlatar belakang komunis. Para pendukung Prabowo, dalam ketegangan yang tak habis-habis, terus memojokkannya sebagai presiden yang tak kompeten, plonga-plongo, dan sekadar boneka. Menegakkan hukum hanya akan memancing kekisruhan dan Jokowi akan kehilangan kesempatan mengkonsolidasi kekuatan.
Konsolidasi itu karenanya terus diupayakan sepanjang periode pertama pemerintahannya. Ia merangkul banyak kekuatan, termasuk media. Dua-tiga bulan sekali ia mengundang pemimpin redaksi ke Istana Negara atau Istana Bogor. Ada saja yang dia cakapkan: dari membocorkan rencana kebijakan hingga meminta pendapat tentang pejabat yang akan ia angkat.
Jokowi sensitif terhadap berita miring. Citra diri adalah kekuatan mahapenting yang bisa menyelamatkannya dari pelbagai gempuran. Untuk soal yang terakhir ini, izinkan saya menyampaikan kisah yang lain.
•••
BOGOR, Jawa Barat, Sabtu, 6 Februari 2016. Seorang pengawal Presiden menelepon. “Bapak bisa datang ke Istana?” Saya bertanya, “Ada apa?” Dia tak menjawab. Berganti pakaian, dengan ojek saya tancap gas menembus lalu lintas Kota Bogor yang laknat pada akhir pekan.
Di Istana, Joko Widodo menunggu. Saya tak ingat di ruang apa saya diterima: sebuah kamar besar dengan kursi kayu berjejer-jejer. Langit-langitnya tinggi. Tak jauh dari tempat kami duduk, ada pintu besar menghadap pekarangan depan. Saya tak melihat ibu negara dan tiga anak Jokowi. Kata Presiden, istrinya sedang pulang ke Solo dan anak-anak berada di luar kota.
Tak ada percakapan yang berarti dalam pertemuan lebih dari satu jam itu. Saya bertanya apakah Istana Bogor berhantu, Jokowi bertanya tentang tempat kuliner di Bogor. Di pengujung pertemuan, Presiden mengirim salam kepada awak redaksi Tempo.
Pertanyaan saya tak terjawab. Yang muncul cuma dugaan: barangkali ada kaitannya dengan berita.
Tempo memang menyiapkan laporan panjang tentang kereta cepat Jakarta-Bandung. Ketika itu pemerintah telah memutuskan Cina sebagai pemenang kontrak. Dalam tajuk rencana, majalah Tempo mengkritik pembiayaan proyek yang ugal-ugalan. Tanpa perhitungan yang matang, kereta cepat bisa membobol anggaran. Di sampul, kami memuat ilustrasi Jokowi dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno tengah mendorong lokomotif di atas gelondongan kayu yang berfungsi sebagai roda. Tiap kali gelondongan terdorong ke belakang, keduanya harus menyusunnya di depan agar kereta bisa melaju.
Sabtu itu, semua artikel sudah selesai ditulis. Majalah siap cetak. Sabtu adalah saat kami mengiklankan sampul majalah di Koran Tempo. Apakah ia membaca iklan itu sebelum mengundang saya? Apakah ia keberatan? Dari memori saya yang terbatas, saya ingat ada Koran Tempo terlipat di meja tempat kami berbincang.
Saya tak ambil pusing. Majalah Tempo terbit sesuai dengan rencana.
•••
KRITIK adalah roh jurnalisme. Media yang baik seyogianya tak letih melontarkan kritik bahkan terhadap pemerintahan kawan sendiri. Dulu Indonesia pernah dipimpin Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, kolumnis Tempo yang istrinya bekerja di majalah Zaman, sebuah unit bisnis di bawah Tempo. Tapi, ketika Gus Dur menjadi presiden, tiap pekan Tempo mengkritiknya. Gus Dur tak pernah marah atau mengeluh.
Jokowi tak marah. Ia mungkin nggresula—bahasa Jawa untuk menggerutu dalam hati. Ketika kritik Tempo kian deras, seiring dengan banyak kebijakannya yang melenceng, ia tak bereaksi. Tapi pendengungnya ngomel di media sosial. Ada yang benar-benar pendukung, banyak yang bayaran.
Suatu ketika pernah Jokowi bertanya dengan masygul, “Apa kalian sudah tidak percaya kepada saya?” Ketika itu November 2017, saat tim jurnalis Tempo mewawancarainya di Istana Negara untuk melengkapi laporan utama tentang proyek infrastruktur. Dalam edisi itu pelbagai pembangunan kami kuliti satu per satu.
Dalam wawancara tersebut, sejumlah pertanyaan tajam diajukan. Presiden berjibaku menjawab. Suara azan magrib terdengar, Jokowi menghentikan percakapan. “Saya salat dulu. Saya emosi,” katanya, masam.
Di akhir wawancara, Presiden menjawil saya masuk ke ruangan lain. Di kamar tertutup itu, keraguan Presiden tentang sikap Tempo itu diajukan. Saya menyatakan soalnya bukan percaya atau tidak. Pertanyaan kepada Presiden harus dilontarkan sebagai kewajiban etis media. Dalam jurnalisme, kebenaran boleh jadi ada di balik pintu tertutup—sesuatu yang harus diketuk untuk bisa terungkap.
Jokowi tak marah. Tapi ia mungkin nggresula.
•••
KECEMASAN kami bahwa Presiden Joko Widodo salah jalan sudah muncul jauh-jauh hari. Dalam rapat redaksi, para reporter melaporkan laku sungsang pemerintah. Puncaknya adalah sikap Presiden dalam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sebelumnya, Presiden berkali-kali menjelaskan bahwa pemerintahan tak berjalan jika KPK main tangkap. Anggaran pemerintah daerah mengendap di bank karena pimpinan proyek takut dicokok. Penjelasan bahwa penangkapan tidak terjadi jika tidak ada kongkalikong tak mengubah sikap Presiden. Demonstrasi memprotes revisi undang-undang marak terjadi di sejumlah tempat. Tak sedikit korban jatuh. Dengan dukungan penuh pemerintah, revisi undang-undang diketuk dan KPK masuk selokan.
Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli (kiri) saat sesi foto dan membantu mengarahkan gaya Presiden Joko Widodo, Oktober 2014. Tempo/Ratih Purnama
Jokowi memasuki periode kepemimpinan kedua dengan lebih percaya diri. Koalisi besar ia bangun. Prabowo Subianto ia angkat menjadi Menteri Pertahanan. Dukungan masyarakat dipertontonkan lewat hasil survei tingkat kepercayaan publik yang tinggi. Para pengkritik diberi jabatan. Yang mbalelo ditinggalkan—dengan risiko politik atau hukum yang bisa jadi tak terbayangkan sebelumnya.
Media memang tidak dibredel. Tapi serangan digital kian marak. Tak jelas siapa pelaku serangan. Tapi laporan media kepada polisi tak pernah berlanjut. Kalaupun nasib media tak seburuk pada era Orde Baru, itu tentulah karena ada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tak boleh dibredel, media yang “nakal” dilaporkan ke Dewan Pers untuk, jika salah, diberi sanksi etik.
Relasi patron-klien terbangun antara Jokowi dan pembantunya—mereka yang mendapat jabatan lewat pertarungan politik yang tak mudah. Loyalitas diukur dari kepatuhan, bukan keberanian menyatakan pendapat yang berbeda. Media yang kritis berhadapan dengan pejabat yang ingin dianggap “loyal”. Ancaman pada kebebasan pers sulit diidentifikasi aktornya: Jokowi atau para pejabat? Di tempat lain, lewat pelbagai kebijakan populis, Presiden menjaga kepercayaan publik dan dengan demikian posisi politiknya.
Pelbagai penyelewengan datang silih berganti. Dari pengadaan komoditas, sengketa “papa minta saham”, program lumbung pangan raksasa, korupsi kartu tanda penduduk elektronik, sampai Ibu Kota Nusantara, semua datang bergulung-gulung. Pelemahan KPK dan rusaknya hukum membuat perkara tak bisa tuntas diusut. Orang ramai tersentak ketika anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden lewat akal-akalan Mahkamah Konstitusi.
Patah hati nasional terjadi, terutama di kalangan mereka yang semula mempercayai Jokowi orang baik. Demokrasi ambruk ke titik terendah—dirusak dari dalam oleh autoimun demokrasi sendiri, meminjam istilah filsuf Jacques Derrida.
Pertanyaan di panglong kayu itu kembali muncul. Setelah kuku kekuasaan Jokowi menancap, apakah ia menegakkan hukum? Kini kita tahu jawabannya. Juga tahu bahwa satu dasawarsa lalu mungkin perkataannya cuma apologia. Atau kekuasaan telah mengubah persona.