Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji, mengatakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) selalu menuai polemik setiap tahun. Abdullah juga menyinggung dugaan pungutan liar alias pungli dalam PPDB DKI.
"Kita tahu kalau PPDB setiap tahun menuai polemik, ada pungli, ada penyelewengan. Setiap tahun selalu bikin ricuh," kata dia dalam diskusi virtual, Jumat, 3 Juli 2020.
Abdullah mencontohkan PPDB 2019 yang memicu demonstrasi di Jawa Timur, Jawa Tengah hingga luar Pulau Jawa. Para orang tua dan siswa mempermasalahkan kebijakan jalur zonasi sekolah.
Tahun ini PPDB Jakarta yang jadi soal. Sejumlah orang tua murid mengeluhkan syarat seleksi usia dalam PPDB jalur zonasi sekolah. Menurut Abdullah, petunjuk teknis atau juknis PPDB DKI bertentangan dengan regulasi di atasnya, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2019.
Permendikbud 44 Tahun 2019 membahas soal PPDB pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Di dalamnya memuat kuota jalur zonasi sekolah minimal 50 persen dari kapasitas. Namun, Dinas Pendidikan DKI hanya memasukkan kuota 40 persen. Selain itu, lanjut dia, Pemprov DKI menyeleksi calon murid yang mendaftar jalur zonasi sekolah berdasarkan usia bukan jarak.
"Jika ada peraturan di daerah yang itu bertentangan dengan peraturan yang lebih atas, itu automatically batal. Jadi PPDB DKI cacat hukum," tutur Abdullah.
Abdullah juga memperoleh informasi soal dugaan pungutan liar pada PPDB DKI. Dia menuturkan ada calon siswa yang sudah lolos PPDB harus registrasi dan mengucurkan biaya Rp 5-10 juta. Tujuannya menjamin calon murid mendapatkan kursi.
"Saya dengar di DKI sudah banyak pungli-pungli dilakukan karena keterbatasan kuota dan kursi," ujar Abdullah. "Ketika pengawasan dari masyarakat, orang tua lemah maka celah-celah untuk pungutan liar, jual-beli kursi masih menjadi sasaran empuk dan sekolah bisa bermain di situ."
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Dewi Anggraeni, membenarkan dugaan pungli tersebut. Dewi menceritakan kisah salah satu anak yang mendaftar di sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) naungan Kementerian Agama. Namun dia tak menyebut lokasi sekolah.
Anak itu, menurut dia, diharuskan memilih tiga sekolah ketika mendaftar PPDB. Sekolah pilihan pertama rupanya menolak. Sang anak kemudian lolos di sekolah pilihan kedua. Tiba-tiba pihak sekolah pilihan pertama menelepon untuk menawarkan kursi senilai Rp 10-15 juta.
"Ada pihak-pihak dari pilihan pertama menghubungi untuk menjual kursi karena ada yang mungkin lolos tapi tidak diambil," ujar Dewi. "Sebenarnya itu masalah klasik yang ICW temukan juga selama ini di isu pendidikan."
LANI DIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini