Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ESA hilang dua terbilang. Satu partai mati, partai lain berdiri. Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto mempraktikkan slogan ini untuk memelihara ingatan publik akan kekuasaan ayahnya dalam politik Indonesia. Tak tembus lewat partai lama, ia mendirikan partai baru.
Partai terakhir yang ia bidani kelahirannya adalah Partai Berkarya, yang dinyatakan lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum untuk berlaga dalam pemilu tahun depan. Jabatannya di partai baru ini Ketua Dewan Pembina. "Pak Tommy menjadi ikon partai," kata Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang pekan lalu.
Tommy, 55 tahun, masuk politik setelah keluar dari penjara Nusakambangan pada 2006. Melalui kuasa hukumnya, Erwin Kallo, Tommy menjawab pertanyaan Tempo tentang alasan dia berambisi meraih kekuasaan lewat partai. "Hanya lewat partai kita bisa lebih efektif menyalurkan aspirasi rakyat," ujarnya pekan lalu.
Tommy dihukum 15 tahun bui pada 2002 karena memiliki senjata secara ilegal dan terbukti menjadi dalang pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Hukuman itu dipotong di pelbagai tingkat pengadilan hingga tinggal empat tahun. Tommy dinyatakan membunuh Syafiuddin karena tak terima divonis bersalah dan harus membayar ganti rugi Rp 30 miliar dalam perkara korupsi tukar guling PT Goro Batara Sakti dan Bulog pada 1994.
Mula-mula ia masuk Partai Golkar, partai penyokong utama kekuasaan ayahnya selama 32 tahun. Di partai beringin, Tommy sempat menjajal bertarung merebut kursi ketua umum dalam Musyawarah Nasional Golkar 2009 di Riau. Ia bersaing dengan Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Tak satu pun suara dia peroleh dalam pemilihan. Aburizal Bakrie kemudian terpilih memimpin Golkar.
Namanya kembali masuk bursa calon Ketua Umum Golkar dalam musyawarah nasional di Bali pada 2016. Namun dia tak kunjung datang hingga tenggat pendaftaran. Tommy akhirnya mendukung Ade Komarudin, yang belakangan kalah oleh Setya Novanto. "Keluarga sudah memutuskan mendukung Akom," katanya kala itu.
Selepas Musyawarah Nasional Golkar di Bali, Tommy dikaitkan dengan upaya sekelompok orang yang menyiapkan makar terhadap pemerintah Presiden Joko Widodo. Itu karena salah seorang yang ditangkap dengan tuduhan makar adalah Firza Husein, Ketua Yayasan Solidaritas Cendana-merujuk pada nama jalan di Jakarta Pusat, alamat rumah Soeharto.
Polisi juga menuduh Firza menyebarkan konten pornografi karena obrolan pribadinya dengan pemimpin Front Pembela Islam, Rizieq Syihab, tersebar ke publik. Tommy dan Firza juga diduga terhubung dengan Badan Koordinasi Muballigh se-Indonesia (Bakomubin). Tommy adalah Ketua Dewan Pembina Bakomubin, sementara Firza Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat. "Tidak benar beliau menjadi dewan pembina," ujar Erwin Kallo.
Di tengah isu makar itu, Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo) mendeklarasikan Tommy sebagai calon presiden 2019. Ketua Umum Parsindo Jusuf Rizal menyebutkan partainya mendukung Tommy karena ingin melanjutkan pembangunan di era Soeharto. Hal ini bisa dilakukan, kata dia, bila Indonesia dipimpin Tommy.
Jusuf menyampaikan dukungan itu kepada Tommy tahun lalu di Gedung Granadi, Jakarta. Menurut Jusuf, alih-alih menerima pinangan, Tommy menganjurkan Parsindo bergabung dengan Partai Nasional Republik dan Partai Beringin Karya. Dua partai terakhir itu belakangan melebur menjadi Berkarya. Jusuf menolak karena yakin partainya lolos verifikasi KPU. Nyatanya, Parsindo gagal menjadi peserta pemilu. "Kami kehabisan logistik," ucapnya.
Masuknya Tommy ke Golkar diikuti kakaknya, Siti Hediati Harijadi, mantan istri Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Tak berselang lama, pada 2012, Titiek-panggilan Siti Hediati-menjadi Wakil Ketua Dewan Pakar Golkar. Namanya bahkan sempat masuk bursa ketua umum menggantikan Setya Novanto, yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga terlibat korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik. "Saya tergerak untuk bisa membawa Golkar menjadi lebih baik lagi," ujar Titiek.
Titiek merujuk pada berbagai sigi yang menunjukkan popularitas Golkar terus merosot karena pelbagai kasus yang menyeret Setya Novanto. Titiek mengatakan ingin membesarkan partai yang dulu menyokong kekuasaan ayahnya. Belakangan, ia mundur dan menerima Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sebagai ketua umum yang terpilih secara aklamasi. Titiek diberi posisi sebagai Wakil Ketua Bidang Pratama bersama Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo.
Sebelum Tommy dan Titiek, Siti Hardijanti Rukmana lebih dulu terjun ke gelanggang politik. Tutut-nama panggilannya-pernah menjadi calon presiden, pada 2004, yang disorongkan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), yang didirikan pada 2002 oleh Hartono, Kepala Staf Angkatan Darat dan Menteri Dalam Negeri era Orde Baru.
Tutut saat itu digadang-gadang bakal berduet dengan dai kondang Zainuddin M.Z. dalam pemilihan langsung. Rencana itu berantakan karena PKPB cuma memperoleh 2,11 persen suara pada pemilu legislatif 2004. Perolehan suara PKPB melorot lagi pada Pemilu 2009. Partai itu hanya didukung 1,4 juta orang atau 1,4 persen suara sah nasional sehingga gagal menempatkan wakil di Senayan.
Pada Pemilu 2014, nasib PKPB lebih tragis. Partai ini dinyatakan tak lolos sebagai peserta pemilu. "Kami tak punya duit," kata mantan Sekretaris Jenderal PKPB, Hartanto. Menurut dia, Tutut tak pernah terlibat aktif di kepengurusan meski menjadi ikon partai. Putri tertua Soeharto itu juga jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan di partai. "Cuma nama," ujarnya.
Di luar anak-anak Soeharto, Ari Haryo Wibowo Harjojudanto alias Ari Sigit, cucu Soeharto dari anak tertua, Sigit Harjojudanto, juga punya partai. Namanya Partai Karya Republik (Pakar). KPU menyatakan Pakar tak memenuhi syarat ikut pemilu pada 2014 karena tak punya pengurus di tujuh provinsi.
Gagal kembali lewat partai, anak-anak Cendana tetap menggalang massa dan terus menggaungkan nama Soeharto dalam pelbagai acara, seperti forum pengajian. Salah satu pengajian terbesar adalah peringatan 51 tahun Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar di Masjid At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, tahun lalu. Dihadiri sekitar 100 ribu orang, pengajian itu juga mengundang semua pasangan kandidat Gubernur Jakarta.
Supersemar adalah tonggak penting kekuasaan Soeharto. Surat yang diklaim sebagai perintah kepadanya untuk mengambil kekuasaan dari Presiden Sukarno setelah huru-hara Gerakan 30 September 1965 itu tetap misterius kendati mengantarkannya menjadi penguasa Orde Baru selama 32 tahun.
Menurut Abdul Rohman, ketua panitia peringatan Supersemar itu, anak-anak Soeharto juga menggelar pengajian, khitanan massal, dan diskusi di kota lain, seperti Yogyakarta, terutama menjelang Maret. "Kami ingin menjadikan Maret sebagai bulan Pak Harto," kata pemimpin umum majalah Cendana dan situs www.cendananews.com ini.
Raymundus Rikang, Linda Trianita, Ahmad Faiz
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo