Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kacau-balau Aturan Kacau

Aturan yang menjadikan DPR lembaga superbody atas saran dan disetujui pemerintah. Tak akan pula mengajukan perpu.

25 Februari 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALIH-alih meredakan silang-sengkarut pengesahan Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3), Presiden Joko Widodo malah memperkeruhnya. Pada Rabu pekan lalu, Jokowi membuat cuitan di Twitter bahwa ia tak akan menandatangani draf yang disahkan DPR pada Senin dua pekan lalu tersebut.

"Draf UU MD3 sudah ada di meja saya, tapi belum saya tanda tangani. Saya memahami keresahan yang ada di masyarakat mengenai hal ini. Kita semua ingin kualitas demokrasi kita terus meningkat, jangan sampai menurun -- Jkw," tulis Presiden di akun @jokowi yang berpengikut 9,6 juta itu.

Cuitan itu ditanggapi oleh lebih dari 3.000 akun. Umumnya menanggapi bahwa Jokowi tak menandatangani sekalipun, draf itu akan berlaku setelah 30 hari dari pengesahan DPR. Dasarnya Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 Tahun 2011. Pasal 73 ayat 2 berbunyi "dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan".

Klausul ini pula yang membuat Kantor Staf Presiden riuh setelah muncul cuitan Presiden itu. Seorang anggota staf di sana menggambarkan, setelah muncul tulisan Jokowi tersebut, mereka menggelar rapat untuk memperjelas duduk soal RUU MD3 yang memberi hak impunitas kepada DPR dari kritik masyarakat dan pemanggilan paksa kepada pejabat negara. KSP lalu memanggil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia rapat pada esoknya.

Sebetulnya tulisan Presiden itu muncul setelah Jokowi memanggil Menteri Hukum Yasonna H. Laoly sehari sebelumnya. Jokowi, menurut juru bicara Kepresidenan, Johan Budi Sapto Pribowo, ingin mendengar pasal-pasal kontroversial yang diributkan masyarakat dalam rancangan itu dari Yasonna. "Presiden cukup kaget," Yasonna menambahkan seusai pertemuan. "Saya jelaskan, Presiden masih menganalisis dan ada kemungkinan tidak menandatangani."

Karjono, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum, memenuhi undangan KSP pada Kamis pekan lalu. Di depan Deputi II KSP Yanuar Nugroho dan beberapa anggota staf, ia menjelaskan kembali pasal-pasal impunitas DPR dalam undang-undang tersebut. Menurut Karjono, aturan-aturan itu sudah ada dalam peraturan sebelum revisi.

KSP mengundang Karjono untuk mencari jalan keluar atas kontroversi rancangan itu dan menangkap "keterkejutan" Jokowi yang tak setuju atas isinya. Dalam rapat itu muncul usul agar pemerintah menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (perpu). Karjono menampiknya. "Karena sudah ada dalam undang-undang sebelum revisi, jadi tak perlu ada perpu," ucapnya.

Di depan KSP, Karjono menegaskan bahwa pasal-pasal dalam RUU MD3 yang membuat DPR menjadi lembaga superbody itu adalah usul dari anggota parlemen sendiri. "Pemerintah hanya memberi pertimbangan terhadap materi setiap pasal," katanya.

Penjelasan Karjono dibantah Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Atsgas. Ia mengatakan wakil-wakil pemerintah dua kali mengikuti rapat kerja dengan Badan Legislasi membahas rancangan tersebut dan beberapa kali ikut rapat lobi dengan anggota parlemen. "Jadi pemerintah ikut membahas pasal-pasal yang disetujui sekarang," ujarnya.

Karjono mengaku bahwa Kementerian Hukum memang beberapa kali menghadiri rapat pembahasan di Senayan karena merespons surat DPR yang ingin merevisi undang-undang tersebut. Respons berupa daftar isian masalah (DIM) versi pemerintah untuk dibahas. "DIM itu hanya berisi rencana penambahan pimpinan DPR dan MPR," katanya.

Penambahan itu berkaitan dengan lumernya koalisi partai pendukung pemerintah. Meski menang Pemilihan Umum 2014, PDI Perjuangan tak punya kursi pimpinan di DPR karena kalah solid oleh partai pendukung rival Jokowi dalam pemilihan presiden, Prabowo Subianto. Kini partai-partai penentang Jokowi itu telah bersimpuh dalam kekuasaan pemerintah sehingga mereka sepakat memberi jatah kursi pimpinan bagi wakil PDIP.

Tertunda selama sembilan bulan sejak April tahun lalu, DIM baru dibahas pertengahan Januari lalu. Usul membahas datang dari Menteri Yasonna, politikus PDI Perjuangan, tiga hari setelah kursi Ketua DPR diduduki Bambang Soesatyo, politikus Golkar. Golkar adalah partai pendukung Prabowo yang membelot ke Jokowi setelah jagoannya kalah.

Dalam surat 18 Januari 2018 itu, Yasonna menegaskan bahwa pemerintah menerima semua usul DPR dalam rancangan tersebut. Karjono lagi-lagi menegaskan bahwa pernyataan Menteri Hukum menerima usul DPR itu hanya berlaku bagi penambahan kursi Wakil Ketua DPR dan MPR. "Pasal-pasal yang sekarang menjadi kontroversi itu baru muncul belakangan," ucapnya.

Supratman menampik jika pasal-pasal itu disebut baru muncul setelah surat Menteri Yasonna. Ia mengatakan usul itu sudah lama disampaikan kepada pemerintah dalam rancangan awal. Penyusunnya adalah pimpinan Badan Legislasi yang dirumuskan para anggota staf ahli DPR. "Karena revisinya terbatas sehingga disusun oleh staf ahli saja," ujarnya.

Dua anggota Badan Legislasi yang ditemui Tempo mengatakan pasal "penguatan" DPR datang dari Bambang Soesatyo, begitu menjabat Ketua DPR. Sewaktu dilantik, dia memang berjanji bakal membereskan revisi Undang-Undang MD3 itu. Bambang tak menjawab pertanyaan soal ia yang menjadi aktor di balik pasal impunitas itu.

Belakangan, ia mengatakan pasal-pasal itu tak berarti DPR antikritik. "Pasal penghinaan kepada DPR itu wajar karena di negara lain juga ada aturan menjaga kewibawaan lembaga negara," katanya. Ia menganjurkan mereka yang tak setuju isi undang-undang ini menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji.

Pengesahan rancangan itu berlangsung singkat, hanya 14 hari, dan lobi fraksi DPR hanya satu jam sebelum rapat pleno Panitia Kerja Badan Legislasi pada 7 Februari malam. Semua fraksi hadir kecuali NasDem dan Partai Persatuan Pembangunan. Menurut Supratman, ada beberapa pasal yang tak kunjung disepakati. Ia pun mengajak semua politikus dan wakil pemerintah berembuk di ruang kerjanya.

Menteri Yasonna ikut bergabung. Juga Karjono dan Direktur Jenderal Perundang-undangan Widodo Ekatjahjana serta Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Dhanana Putra. Menurut Karjono, dalam lobi itu anggota Badan Legislasi mengusulkan beberapa pasal soal DPR yang ingin mengelola anggaran sendiri. Menteri Yasonna menolaknya.

Saat membahas pasal pemanggilan paksa oleh DPR kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, dan masyarakat, Menteri Yasonna malah mengusulkan agar frasa-frasa itu diganti di semua ayat menjadi "setiap orang". Walhasil, inilah aturan yang membuat DPR menjadi lembaga superpower itu. "Pertimbangannya karena semua orang sama di hadapan hukum," ujar Karjono.

Adapun soal pasal 122 tentang langkah hukum DPR kepada kelompok atau perseorangan yang merendahkan kehormatan DPR, menurut Karjono, Yasonna tak banyak berkomentar. Alasannya, aturan di huruf k itu sudah ada sebelum revisi. Yasonna berkeras agar pemanggilan anggota DPR oleh penegak hukum harus seizin presiden dikecualikan untuk kasus korupsi, narkotik, dan pidana dengan ancaman hukuman mati seperti tertuang dalam pasal 245.

Di luar itu beres belaka, sampai DPR mengesahkannya menjadi undang-undang dan mengirim drafnya ke kantor Presiden. Lalu masyarakat ribut karena DPR dianggap mencederai demokrasi yang terbuka dan kritik masyarakat sebagai kontrol kerja lembaga negara. Sampai Jokowi membuat tulisan di Twitter dan kaget sendiri seperti digambarkan Menteri Yasonna.

Menurut beberapa pejabat yang menolak namanya ditampilkan, selama 14 hari pembahasan itu, Yasonna selalu melaporkan perkembangan pembahasannya kepada Istana. "Kami kan bekerja berdasarkan surat perintah presiden," kata Karjono.

Tapi, setelah bertemu dengan Presiden pada Selasa pekan lalu itu, Yasonna mengaku baru kali itu ia melaporkan soal Undang-Undang MD3 kepada Jokowi. Ia berdalih tak punya waktu melapor karena pembahasan sangat cepat. "Waktunya padat," katanya.

Johan Budi mengatakan tak mengetahui Yasonna berkonsultasi dengan Presiden soal Undang-Undang MD3 sebelum DPR mengesahkannya.

Rusman Paraqbueq, Ahmad Faiz, Hussein Abri Dongoran

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus