SOAL buang hajat, bagi 200-an warga Kampung Erawati dan Kampung Anggraini, Kelurahan Bulu Lor, Kodya Semarang, tiba-tiba menjadi urusan besar. Rabu subuh pertengahan April lalu mereka pada bingung: WC-WC umum yang bertebaran di anak Kali Banjir Kanal itu mendadak lenyap. Bila kemudian suasana gaduh, tentu bisa dipahami. "Kalau mogok makan, seperti Romo Mangun, bisa! Tapi coba mogok berak," kata Garjito, seorang warga, menyebut nama rohaniwan yang memprotes rencana penggusuran di Kali Code, Yogya, itu. Akibat penggusuran WC macam-macam. Ada warga yang berak di muka umum, dengan kantung plastik. Kantungnya dimasukkan dulu ke dalam sarung, memang. Ada pula, yang kerja kantoran, yang memboyong istri dan anak ke sana untuk numpang berak. "Untung, kantor masih sepi. Tidak ada pimpinan," ujar seorang karyawan pemerintah. Dampak kebelet yang lain: anak-anak sekolah jadi berangkat jauh lebih pagi. Ini positif? Tidak? Tapi, ya, setan mana kiranya yang begitu doyan kakus sehingga melalap bedeng-bedeng di kali itu? Bukan setan. Tapi aparat Kelurahan Bulu Lor. "Untuk menjaga gengsi kita. Karena Rabu itu ada tim lomba desa Kodya datang menilai," tutur seorang yang ikut membongkar. Dan, demi "menjaga stabilitas," pembongkaran dilakukan tengah malam dan secara diam-diam. Para warga tak dapat menerima alasan itu. Lalu, mulailah "teror": anak-anak disuruh berak di mana saja oleh para orangtua mereka. Sasarannya jelas: lomba desa itu. Dan mereka sukses, rupanya. "Namanya sih cantik, Erawati dan Anggraini. Sayang, penuh tinja," keluh seorang juri lomba, seperti ditirukan seorang warga. Desa mana yang jadi pemenang, tak pentinglah. Hanya, gelar yang masih tersisa untuk kedua kampung itu konon memang "juara tinja".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini