NAMANYA Sawali. Asalnya Desa Klego di Pekalongan, Jawa Tengah. Kerja tetapnya tukang rombeng, pengumpul barang-barang bekas, terutama dari kaleng atau drum. Hidupnya tampaknya memang tidak begitu mujur. Tubuhnya yang gemuk dan kulitnya yang hitam seakan menyatu dengan pekerjaannya. Tapi, menjelang usianya yang ke-40, kehidupan Sawali berubah. Kini dia - yang tak lulus SD itu - bahkan bisa menggaji sekitar 25 pegawai. Sawali tahun 1986 bukan lagi Sawali 1984. Sawali kini telah mempunyai "pabrik" yang banyak dikunjungi pejabat bukan saja dari desanya, tapi juga dari Pekalongan. Titik balik hidup Sawali bermula sekitar 1,5 tahun lalu. Suatu hari dia mengantarkan drum bekas ke pabrik terpentin di Krapyak, bagian utara Kota Pekalongan. Bahan baku terpentin, itu zat pencampur cat, berasal dari getah pohon pinus yang kemudian disuling. Sisanya, zat yang lebih padat, biasa disebut gondorukem. Zat pencampur malam atau lilin dalam proses membatik ini warnanya seperti agar-agar cokelat, yang keras kalau sudah membatu. Pabrik biasanya membuang begitu saja limbah yang berwarna hitam dan berbau busuk itu. "Limbah itu saya lihat kok mengkilap," cerita Sawali. "Tentu limbah itu mengandung minyak." Iseng-iseng, limbah yang banyak menggenangi got-got di sekitar pabrik diciduknya, dlmasukkannya ke dalam botol. Sesampai di rumah, cairan hitam berkilat itu disundutnya dengan api. "Wah, ternyata mengandung gas seperti bensin," kata Sawali. Hari-hari berikutnya, Sawali mengambil lebih banyak limbah untuk meneruskan otak-atiknya. Limbah itu direbusnya tanpa dicampur bahan lain di dalam drum bekas yang disambung pipa sebesar ibu jari untuk menyalurkan uap limbah tersebut. Melewati proses pengembunan - dengan merendam sebagian pipa dalam air - diperolehlah cairan yang biasa disebut terpentin. Sisa limbah yang masih ada di ketel diendapkannya sehari. Kemudian lapisan teratas endapan yang berwarna cokelat kehitaman itu dipanaskan lagi. Diaduk-aduk, dan setelah agak kental, didinginkan. Jadilah dia malam yang biasa digunakan untuk membatik. Sisa limbah yang kasar dan lebih hitam warnanya kemudian dicampur oli bekas. Setelah dipanaskan dan diendapkan, endapan teratas dipisahkah lagi. Bagian ini dipakai sebagai minyak bakar untuk pembakaran kapur. Sisa yang terakhir, ter, juga bisa dimanfaatkan. Hampir tak ada limbah yang terbuang. Empat bahan produksi Sawali (terpentin, malam, minyak bakar, dan ter) itu yang membuat hidup Sawali dan anak istrinya lebih layak. "Pabrik" Sawali, meski masih berlantaikan tanah, beratap seng, dan berpagar bekas drum yang dibelah, kini berpegawai cukup banyak. Upah mereka per orang antara Rp 1.500 dan Rp 2.000 per hari. Setiap hari, mereka mengolah enam drum limbah,masing-masing beratnya 140 kg. Dari situ didapat sekitar 100 liter terpentin yang harga pasarannya Rp 413.000. Kemudian 200 liter minyak bakar laku dijual Rp 150 per liter, 150 kg malam batik yang harga tiap kilo Rp 500, dan 300 liter ter yang laku Rp 45.000. Diperkirakan, hasil produksi "pabrik" Sawali bisa memasukkan uang sekitar Rp 500.000 sehari sebagai keuntungan kotor. "Tapi kini kami kesulitan mendapatkan, limbah," ujar Sawali. Sepuluh pabrik terpentin yang ada di sekitar Pekalongan tak bisa lagi memenuhi pabriknya. Pabrik bahkan menjual limbahnya kepada Sawali Rp 40 tiap kilo "Padahal, dulu tak ada yang peduli," tutur Farid, yang bekerja di pabrik gondorukem Kongsi Tiga, Pekalongan. "Penemuan Sawa ini jelas bermanfaat bagi kami," ujarnya lagi "sebab kami tak pusing lagi membuangnya.' Limbah yang baunya tak sedap ini membahayakan karena bisa merusakkan mikro organisme yang ada di tanah. "Bisa menghambat zat hara," ujar Prof. Dr. Ida Bagu Agra, Ketua Lembaga Penelitian UGM Yogyakarta. Sebab sampah gondorukem yang bisa berujud seperti kerikil-kerikil ini sulit melebur dalam tanah. "Daun-daunan saja memerlukan proses satu bulan lebih," kata Agra dan dia tak tahu berapa lama keriki gondorukem itu menyatu dalam tanah. Dikatakan juga oleh Agra bahwa kemungkinan besar "produksi" minyak bakar Sawali bisa dijadikan bahan bakar rumah tangga. Hanya saja, bau asapnya agak tidak sedap. "Tapi itu tak apa-apa," ujarnya, "toh tidak mempengaruhi rasa masakan." Asap pun bisa dilurkan lewat cerobong, sehingga masalah bau dari minyak yang harganya secara ekonomis baik ini, bisa dihindari. "Sawali berjasa," ujar Oesman M.D. Kepala Bagian Perekonomian Pemda Kodya Pekalongan, yang juga merangkap sekretaris TKP2LH (Tim Koordinasi Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Hidup). Karena itu, Pekalongan mencalonkan Sawali untuk turut lomba Kalpataru dari jenis Perintis Lingkungan tahun ini. Ada dua macam jasa Sawali. Pertama, sebagai tokoh yang berhasil mendaur-ulangkan limbah. Kedua, ia bisa menciptakan lapangan kerja. "Sejak dulu, kami kebingungan akan limbah gondorukem yang bau ini," ujar Oesman. KINI, Pemda Pekalongan berusaha membantu Sawali. "Terutama pada peralatan yang dipakainya," ujar Oesman. Semua sarana produksinya memakai barang bekas. "Karena yang diolah itu minyak yang mudah terbakar, ini sangat mengancam keselamatan pekerjanya," tutur Oesman. Ternyata, Sawali bukan saja tak gembira akan pujian ini. Ia malah khawatir dan takut, seandainya dia mendapat hadiah Kalpataru, orang akan meniru usahanya. "Kalau yang meniru itu bermodal besar, saya pasti hancur," katanya sedih. Ujarnya lagi, "Sekarang, rahasia perusahaan saya bukan rahasia lagi." Belum lagi persyaratan pabrik yang harus dipenuhi sebagaimana mestinya sebuah perusahaan. Tentu ada uang izin, pajak, dan segala tetek bengek. "Padahal, saya belum cukup uang untuk melengkapi semua itu," katanya bingung. Toeti Kakiailatu Laporan Yusro M.S. & Yuyuk Sugarman (Jawa Tengah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini