Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bermain Judi di Afrika Selatan

Berdekatan dengan Taman Nasional Pilanesberg, di Afrika Selatan terdapat Sun City: pusat kasino mewah, tempat favorit para turis.

18 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Jasminto—sebut saja begitu—bepergian ke luar negeri tak afdol jika tak mampir ke meja judi. "Iseng-iseng saja, untuk menghilangkan stres," kata pengusaha elektronik asal Jakarta itu. Maka, ketika berkunjung ke Afrika Selatan, pertengahan Desember lalu, laki-laki 50 tahun itu tak sabar untuk segera ke Sun City.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sun City adalah pusat hiburan paling terkenal sekaligus paling elite di Afrika Selatan. Berada di Provinsi North West—dua jam dari Johannesburg ke barat—resor mewah ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional Pilanesberg. Meja judi menjadi tempat favorit turis yang berduyun-duyun ke sini setiap hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Sun City Hotel and Casino dan Entertainment Center orang tumplek. Tua-muda, laki-perempuan, sendiri-sendiri atau berpasangan, rombongan atau keluarga. Meski ada ketentuan yang masuk ke kasino harus di atas 18 tahun, seorang satpam perempuan kulit hitam yang berjaga di pintu tak meminta KTP atau paspor. Ia hanya memeriksa tas dan saku dengan pendeteksi logam.

Ada dua pilihan ruangan di setiap tempat mainan: berasap atau tanpa asap rokok. Sore itu Jasminto memilih kasino berasap. Ia mencoba tiga permainan. Pada dua yang pertama ia kalah hampir 1.500 rand (Rp 2.025.000). "Belum panas," katanya. Hokinya baru datang begitu ia bermain bakarat.

Jasminto bisa konsentrasi penuh bermain kartu ketika hari hampir tengah malam. Ia bertahan meski lawannya terus berganti. Rand demi rand ia kumpulkan. Jasminto baru pulang ke Kwa Maritane—hotel tempatnya menginap lima kilometer dari sana—menjelang subuh dengan membawa 3.600 rand.

Esok malamnya ia meluncur ke Gold Reef City—setengah jam ke utara dari Johannesburg. Tak mau menghamburkan uang dengan mencoba banyak jenis permainan, ia langsung ke meja bakarat. Semalaman ia di sana dan memboyong hampir 3.000 rand. "Lumayan," katanya ketika saya bertanya berapa total duit yang ia bawa pulang.

Sun City dan Gold Reef City hanya dua dari 34 tempat judi yang tersebar di sembilan provinsi di Afrika Selatan. Di sini pusat-pusat judi menjadi tempat hiburan akhir pekan keluarga. Tak ada mal yang tak menyediakan kasino dan hiburan anak semacam Timezone. Taruhannya dimulai dari 5 rand.

Judi menjadi permainan halal setelah pemerintah melegalkan dan mengaturnya dengan undang-undang pada 1996, setelah melalui perdebatan yang alot dan sejumlah penelitian dampak sosial, ekonomi, hingga kejiwaan. Sebelumnya, pemerintahan apartheid melarang segala jenis judi dan striptease, kecuali di Sun City.

Sun City pun menjadi tempat mewah dan tertutup sejak dibuka pada 7 Desember 1979 hingga runtuhnya apartheid pada 1994. Maka, selama 20 tahun itu, kawasan ini hanya menyuguhkan judi dan striptease. Konon, itulah tempat mencuci uang para penjudi dari luar Afrika dan dari uang itu pula tempat mewah ini dibangun.

Kini judi dan tarian telanjang hanya bagian kecil saja dari tempat tetirah tersebut. Pada 1999, Sol Kerzner, taipan lokal pemilik jaringan Hotel Sun International, mengembangkannya lagi menjadi kawasan wisata terpadu.

Ia membangun lebih dari 100 jenis tempat hiburan di kawasan seluas hampir 500 hektare itu. Dari lapangan tenis hingga golf yang dilengkapi dengan sungai dan danau berisi buaya air tawar, dari kolam renang sampai pantai buatan plus ombak setinggi lima meter, dari kafe hingga hotel bintang lima.

The Palace of The Lost City adalah hotel paling megah dan mewah—tarif kamar termurahnya saja Rp 3 juta semalam, dengan kursi dari leher zebra asli. Lost City merujuk pada sebuah kota purba yang dipercaya pernah ada di sini. Di kota itu, konon, berdiri bangunan-bangunan megah berarsitektur Eropa. Sayang, kota ini hancur digoyang lindu berkekuatan 9 pada skala Richter.

Di Entertainment Center ada auditorium football yang balkonnya sanggup menampung lebih dari 6.000 orang penonton. Hampir semua penyanyi top—Bryan Adams, Julio Iglesias, Rod Stewart, Elton John, Queen—pernah manggung di sini.

Pada 1996, sebuah konser amal menentang apartheid digelar dengan penyanyi dan grup band seluruh dunia hingga keluar album kompilasi Sun City. Juga, pergelaran Miss Universe dan pertandingan tinju kelas berat. Ini juga tempat bersejarah lahirnya ”Kesepakatan Sun City” yang menghentikan Perang Kongo Kedua pada 2002.

Dengan sederet tamu terkenal dan sejarahnya, Sun City diburu orang yang singgah ke Afrika Selatan—setelah Cape Town yang eksotis. Hampir semua agen perjalanan punya tagline: mengunjungi Afrika Selatan tak lengkap jika tak singgah ke Sun City.

Tidak hari biasa, tidak akhir pekan, tempat ini selalu penuh dengan pengunjung. Jasminto yang 10 tahun lalu plesiran ke sini merasa tempat ini kian ramai saja, dan tambah megah. "Saya pangling," katanya sambil melihat-lihat sekeliling.

Maklum saja, setiap hari, menurut data dari bagian informasi, ke sini berduyun-duyun 25 ribu orang membeli tiket masuk seharga 70 rand. Umumnya mereka turis dari Eropa. Jasminto main bakarat satu meja dengan pasangan kakek-nenek asal Jerman dan seorang Swiss.

Meski judi bukan andalan lagi, kasino adalah tempat yang paling banyak dikunjungi orang. Dan judi telah menolong Afrika Selatan keluar dari kerangkeng kemiskinan dan bom pengangguran. Setelah apartheid pergi, negeri ini mewarisi kemiskinan dan pengangguran. Presiden Nelson Mandela melakukan terobosan dengan, antara lain, melegalkan judi, yang menjadi keseharian warga, pada 1996.

Hasilnya fantastis. Dalam dua tahun pertama, menurut Badan Nasional Perjudian Afrika Selatan, 100 ribu lowongan kerja terbuka dengan Rp 49 triliun dampak berantai ke sektor lain: hotel, tempat hiburan, mal. Orang-orang yang menganggur terserap di sana. Negara berpenduduk 48 juta jiwa itu menerima Rp 5 triliun per tahun dari pajak perusahaan pengelola judi. Ekonomi menggeliat.

Kota pun rapi terurus: jalan-jalan mulus, gedung-gedung terawat, tempat bersejarah terpelihara. Dampak negatif juga tak sedikit: orang stres karena kalah di meja judi. Juga kriminalitas. Tingkat imigrasi yang tinggi, kesenjangan, dan mudahnya membeli pistol membuat orang bisa seenaknya menembak.

Mustafa Kamil, seorang Aceh yang sudah 10 tahun bekerja di sini, memperingatkan agar hati-hati jika pulang malam dari tempat hiburan dengan kendaraan umum. "Di sini kriminalitas tinggi karena orang gampang membeli pistol," kata karyawan perusahaan minyak itu.

Setiap hari koran lokal juga memajang foto orang tergeletak, korban penembakan. Johannesburg terkenal sebagai salah satu kota kriminal di dunia. "Tapi, saya aman saja tuh pulang malam dengan taksi," kata Jasminto.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kasino, Setelah Cagar Alam"

Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus