Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH Afrika. Bagian dari Afrika hitam yang kaya dan liar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kwa Maritane, tempat kami menginap, menyempil di lengkung bukit batu, di pojok Pilanesberg, Provinsi Northwest, Afrika Selatan. Kwa Maritane-nama yang diambil dari bahasa Zulu, berarti "rumah batu"-merupakan sebuah hotel berbintang empat, juga sebuah enclave.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penginapan dengan 90 kamar ini dirancang sesuai dengan model rumah penduduk asli Afrika: berdinding batu yang disaput kayu, beratap rumbia, dengan obor di lorong-lorong penghubung kamar. Ada beberapa kolam renang dan lapangan tenis di hotel yang sembilan puluh persen dihuni turis-turis bule dari Eropa itu. Tentu saja, bukan itu yang paling menarik dari tempat ini.
Di sekeliling hotel itu terpacak kawat listrik bertegangan 220 volt untuk menghadang hewan yang turun bukit. Pada setiap kamar, kami, beberapa wartawan dan pengusaha elektronik dari negara-negara Asia Pasifik, pun cepat mendapati satu peringatan, yakni larangan membuka pintu dan jendela. Babon atau serangga dari dunia di luar enclave ini bisa tiba-tiba mampir masuk kamar.
Rekan kami, seorang kepala pemasaran alat elektronik dari Indonesia yang telah sampai ke tempat ini sehari lebih awal, mengaku kedatangan babon. "Ini hutan beneran," katanya. Matanya membulat-besar manakala menceritakan pengalamannya yang menakjubkan saat dikunjungi babon. Begitukah? Yang jelas, di suatu siang yang tenang saya sempat menyaksikan satu keluarga babi hutan, seekor induk dan lima "putra-putrinya", merumput di pinggir pagar yang jaraknya hanya tiga meter dari jendela kamar kami.
Kwa Maritane memang menjual eksotika rimba Afrika, seperti ditawarkan banyak agen perjalanan di sini. Pada setiap kamar ada sebuah kamera yang menyala 24 jam yang tersambung ke televisi di setiap kamar, merekam sebuah kubangan tempat persinggahan bermacam hewan. Kamera menangkap hewan-hewan itu muncul, sekadar melepas lelah, minum atau mandi.
Pemerintah Republik Afrika Selatan kian serius menggarap dan mempromosikan wisata alam liar, apalagi negeri ini akan menjadi tuan rumah turnamen sepak bola Piala Dunia 2010. Tahun 2007 adalah tahun pertumbuhan ekoturisme tertinggi dalam sejarah Afrika Selatan dengan penerimaan mencapai Rp 83,7 triliun.
Mereka memanfaatkan persepsi orang terhadap Afrika yang masih liar, belantara, dan berselimut magis. Segalanya yang bersifat Afrika Selatan menjadi tontonan yang menarik para turis di hotel-hotel. Ya, semuanya for sale: dari musik tradisional, tari-tarian, hingga sheeben (kafe jazz jalanan yang perlahan-lahan menjadi situs-situs pertemuan penting para aktivis dalam menumbangkan rezim apartheid dulu).
Pilanesberg adalah salah satu unggulan ekoturisme. Kendati dibangun dan ditetapkan sebagai cagar alam pada 1979 oleh Presiden Lucas Mangope, ketika Afrika Selatan bernama Bophuthatswana, kawasan ini mulai dibuka untuk umum menjelang apartheid runtuh pada 1994.
Taman Nasional Pilanesberg yang meliputi wilayah 57 ribu hektare itu-350 kali luas Taman Safari Indonesia, Bogor-adalah rumah bagi lima hewan istimewa Afrika. Mereka menyebutnya The Big Five: macan tutul, singa, badak, kerbau Afrika, dan gajah.
Pilanesberg adalah taman nasional terbesar keempat di Afrika Selatan. Cagar terbesar adalah Taman Nasional Kruger di Provinsi Mpumalanga dan Limpopo, luasnya dua juta hektare.
Taman safari memang menguntungkan. Di Afrika Selatan, taman safari bisa milik pemerintah, bisa swasta. Menurut Timothy Mapajunga, staf hotel Kwa Maritane, di sekeliling Pilanesberg ada beberapa orang taipan lokal dan tuan tanah yang tercatat sebagai pemilik "kebun binatang". Tentu, jumlah hewan mereka sangat terbatas. Menurut brosur seharga 20 rand atau Rp 27 ribu (tak ada yang gratis di sini),
di Pilanesberg bermukim 10 ribu ekor hewan dan 360 jenis burung. Tiket masuknya 20 rand untuk orang dewasa, dan itu pun masih ditambah lagi dengan ongkos sewa truk 55 rand.
Pilanesberg juga unik karena sejarahnya. Di sinilah pemberontakan petani terhadap penjajah Inggris dan Belanda yang terkenal itu, Second Boer War (1899-1902), bermula. Pilanesberg diambil dari nama seorang tuan tanah paling berpengaruh, Ketua Pilane, yang menemukan dan mengembangkan pertanian di daerah ini.
Para petani keturunan bangsa Zulu yang memberontak bersembunyi di sini dari kejaran raja mereka, Shika, pada abad ke-17. Mzilikazi, pemimpin mereka, lalu melarikan diri 800 kilometer ke utara dan mengembangkan daerah baru yang kini disebut Zimbabwe.
Jan Smuts, Perdana Menteri Afrika Selatan pada 1919-1924, kemudian mengembangkan wilayah ini menjadi pusat perburuan hewan dengan memindahkan para petani ke daerah yang kini menjelma kota di sekeliling Pilanesberg.
Jejak para petani itu kini sudah tak kelihatan lagi.
AFRIKA Selatan telah melakukan banyak hal untuk ekoturisme ini. Desember tahun lalu, di Bandar Udara Oliver Reginald Tambo, Johannesburg, sebuah baliho berukuran 4 x 5 meter menyapa setiap orang. Baliho dengan ilustrasi lucu: wajah kaget seorang pria yang penampilannya seperti turis bule yang menginjak pedal rem keras-keras karena di hadapannya melintas sekawanan singa. Di bawahnya, sebuah teks, "Hati-hati Hewan Liar Melintas."
"Dua jam nanti Anda mungkin melihatnya juga," kata perempuan setengah baya yang menjemput kami. Hewan liar, katanya, merupakan pemandangan lumrah di jalan-jalan pinggir kota Johannesburg.
Dua jam adalah waktu tempuh dari bandara itu ke Taman Nasional Pilanesberg di Provinsi North West. Dan apa yang dikatakan perempuan berkulit pualam itu benar belaka. Setelah kantor, gedung, dan pemukiman mulai kelihatan jarang, bus berkapasitas 60 penumpang yang kami tumpangi itu memasuki padang savana. Jalan-jalan mulus dan lurus menjulur ditelan bukit dan kaki langit.
Dataran semak terhampar sejauh mata memandang. Afrika Selatan seperti berada dalam cawan raksasa, dengan langit biru-bersih sebagai atapnya. Di bulan Desember yang berangin itu, cuaca Johannesburg seperti di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, sejuk 25 derajat Celsius.
Semak, bukit, savana itu seperti tak ada habis-habisnya. Zebra, babi, sapi, tsessebe (kambing khas Afrika) berkeliaran atau berteduh di bawah perdu dan akasia yang tumbuh jarang. Di pintu-pintu jalan tol, berderet mobil-mobil keluaran Eropa: Citroen, Peugeot, Chevrolet, BMW, Mercedes Benz.
Mobil-mobil mewah itu menjadi kontras dengan apa yang terlihat di kiri-kanan jalan. Inilah wajah Afrika modern sesungguhnya: gubuk-gubuk berdinding dan beratap seng tumbuh di tengah savana dan ladang pertanian, berselang-seling dengan resor-resor mewah. Empat belas tahun lepas dari apartheid, negeri paling maju di benua hitam itu tak kunjung bisa menumpas kesenjangan.
MEMASUKI taman nasional ini, kami naik truk tentara. Namun, pagi itu, sekitar pukul enam (jam 11 WIB), kami hanya mendapati gurun rumput mahaluas-mirip pemandangan dalam film Gods Must be Crazy. Jika film tentang suku semak itu menampilkan gurun-gurun dan padang Kalahari, Pilanesberg tak sekering-sepanas itu. Pilanesberg lebih dingin, vegetasinya terletak pada daerah peralihan, zona panas dari utara ke zona dingin di selatan.
Sebelum berangkat, pemandu memperingatkan agar kami tetap bertahan di atas truk jika bertemu hewan buas. Ia mengulang mitos yang berkembang di sini: keberuntungan bagi yang bertemu hewan-hewan itu. Ada 35 singa, 167 gajah, 90 badak hitam, 300 badak putih, dan 150 kerbau Afrika yang menghuni taman ini. Toh, mereka tak sembarangan muncul di hadapan pelancong, apalagi yang datang dengan gemuruh suara truk.
Jalan sempit beraspal mulus yang dibangun pemerintah Afrika Selatan pada 1990 itu nyaris tak bisa dilalui dua kendaraan. Jika dua mobil berpapasan, salah satu harus berhenti, menyingkir ke salah satu sisi jalan. Sebelum Nelson Mandela memutuskan membuka Pilanesberg untuk wisata safari, jalan ini hanya jalan tanah yang becek dengan kubangan lumpur.
Bapak Afrika Selatan itu mengimpor 10 singa dari Taman Nasional Etosha, Namibia, untuk menambah koleksi. Pada 1990, sudah ada 6.000 hewan di Pilanesberg. Kini jumlah itu sudah bertambah menjadi 10 ribu dan 360 spesies burung.
Hewan pertama yang kami jumpai adalah kudu (Tragelaphus strepsiceros), kemudian tsessebe (Damaliscus lunatus) yang sedang merumput. Jika kudu lebih mirip domba Garut dengan tanduk menjulang seperti keris dan bulu cokelat berlurik putih, tsessebe mendekati bentuk kijang dengan tanduk lebih pendek. Tiba-tiba mobil berhenti. "Ada zebra cross," kata sopir. Sekawanan zebra berjalan pelan-pelan melintas persis di hadapan truk. Kawasan di kilometer 23 ini adalah rumah bagi jenis kuda ini. Mereka berduyun melintas jalan. Benar-benar zebra cross!
Meski hidup dalam lingkungan yang dirawat, hukum rimba berlaku di sini. Kudu dan tsessebe, karena sering berjalan jauh, menjadi mangsa empuk hewan-hewan buas. Setidaknya, itu terlihat dari foto-foto yang dipajang dalam brosur. "Lari kudu tak lebih cepat dari macan, dan macan melaju dua kali lebih cepat dari kuda," kata Pak Sopir.
Hewan selanjutnya sepasang badak hitam yang sedang "bermesraan" di kubangan. Di kejauhan, di balik semak dan pohon-pohon meranggas, dua badak lain berdiri mengawasi truk kami. Lalu seekor hyena, anjing hutan, melompat di batu-batu terjal. Ia lari dan menyelinap begitu truk kami mendekat.
Pilanesberg adalah wilayah penampungan bekas letusan gunung api terbesar di dunia 1.300 tahun lalu. Batu-batu sebesar rumah berserakan di setiap tikungan. Karena itu, wilayah ini juga terkenal dengan sebutan "cincin batu" yang merujuk kepada kepungan bukit karang di sekelilingnya. Di tengah Pilanesberg terdapat Danau Mankwe Dam, danau vulkanik terbesar di dunia yang berada di kaki Gunung Thabayadiotso atau Gunung Kebanggaan.
Setelah menemui "zebra cross" dalam rombongan lebih besar, sekonyong-konyong truk berbelok ke jalan tanah; tanda dilarang masuk menghadang. Sopir menjelaskan bahwa daerah itu kelewat rawan. Banyak hewan buas bersarang di sana. Truk terus melaju menuju camping ground yang letaknya di pinggir dan menempel dengan bukit dan wilayah pertanian. Di sini ada sebuah saung besar yang mirip aula. Kami sarapan sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Namun, rupanya itu rute terakhir. Truk terus melaju hingga samar-samar terlihat pintu gerbang yang kami masuki dua jam sebelumnya. Kami jelas kecewa, terutama karena kami termasuk manusia yang tak beruntung. "Anda terlalu pagi," kata sang sopir itu buka kartu.
Inilah Afrika, bagian dari Afrika hitam yang kaya dan liar itu. Sebuah motto yang tengah dijual.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Afrika Selatan: Rimba dan Judi"