Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima buah arca raib dari Museum Radya Pustaka, Solo, Jawa Tengah. Kabar itu membuat seorang lelaki tua terenyak, tiga bulan lalu. Dia bukan pengelola museum, bukan pula kolektor benda bersejarah. Lelaki tua itu, Mundardjito, seorang arkeolog. Lebih dari separuh usianya yang 71 tahun dihabiskan berkeliling Indonesia untuk menggali serta merawat situs dan benda purbakala.
Kemasygulannya tak jauh berbeda ketika dua tahun silam mendengar berita sejumlah arca Buddha akan dijual oleh Balai Lelang Christie’s di New York, Amerika Serikat. Arca-arca yang terbuat dari emas, perak, dan perunggu itu peninggalan abad ke-8 dan ke-9 dan disebut-sebut berasal dari Kalimantan, Indonesia.
Beruntung, dalam kasus Museum Radya Pustaka, arca-arca yang hilang dapat ditemukan kembali. Patung-patung itu ada di rumah pengusaha Hashim Djojohadikusumo di Jakarta. Hashim merasa memperolehnya secara sah dari Hugo Kreijger. Kepada majalah ini, pedagang barang kuno asal Belanda itu mengaku mendapat benda cagar budaya tersebut dari Sunan Pakubuwono XIII Hangabehi.
Buat Mundardjito, benda purbakala merupakan warisan masa lalu yang menjadi identitas bangsa Indonesia. ”Peninggalan sejarah laksana KTP (kartu tanda penduduk) bagi generasi masa kini. Karena itu, wajib dipelihara,” ujarnya. Bangsa Indonesia patut berbangga punya berbagai peninggalan sejarah: Borobudur, Prambanan, Kompleks Muaro Jambi, dan lain-lain. Bandingkan dengan negeri jiran, Malaysia dan Singapura, yang tak memilikinya.
Bila benda-benda purbakala itu hilang atau dibawa ke mancanegara, ia khawatir Indonesia akan menjadi negeri dongeng. Kita cuma bisa bercerita kepada anak-cucu bahwa bangsa ini memiliki kekayaan budaya dan situs purbakala tapi tak bisa menunjukkannya lagi. Generasi mendatang harus pergi ke luar negeri untuk belajar tentang sejarah bangsa sendiri.
Mundardjito sendiri telah menjelajahi lereng gunung dan bukit, menapaki lembah sungai lama dan baru, menyisiri dataran rendah, dan menjejakkan kaki hingga di pesisir pantai hampir seluruh Indonesia untuk menggali dan merawat situs-situs purbakala. Sampai saat ini, pemerintah telah mendata ada 4.834 benda ”cagar budaya tak bergerak” dan tak terhitung ”benda cagar budaya bergerak” yang disimpan di museum, kantor suaka purbakala, balai arkeologi, dan rumah para kolektor.
Tanpa pengawasan ketat pemerintah dan rasa memiliki masyarakat, benda-benda cagar budaya itu berada dalam bahaya. Apalagi sebagian besar berada di tempat terbuka yang terpencil, seperti di pegunungan atau bawah laut. Sedangkan tenaga penjaga terbatas jumlahnya dan kerap dibayar secara tidak memadai.
Sebagai arkeolog, puluhan tahun sudah Mundardjito bergelut dengan Candi Borobudur. Toh, sampai sekarang, ia mengaku tetap takjub tiap kali menatap kuil raksasa yang dulunya tempat ibadah agama Buddha itu. Bayangkan saja, untuk menyusunnya, dibutuhkan dua juta bongkah batu. ”Bagaimana orang di masa lalu mampu mendirikan bangunan megah seperti itu?” ujarnya.
Dia beruntung karena arkeologi menyediakan jawaban untuk pertanyaan semacam itu. ”Ilmu ini tak berbeda dengan ilmu forensik,” katanya. Tiap kali menyelidiki sebuah peninggalan sejarah, seorang arkeolog bertindak seperti detektif yang berhati-hati mengumpulkan bukti demi bukti berupa benda, bangunan, atau naskah. Dari sana bisa diketahui kondisi masyarakat, sistem religi, mata pencarian, dan sebagainya. ”Bedanya dengan forensik, kami mengungkap peristiwa yang terjadi di masa silam.”
Setelah menyelesaikan kuliah dari Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, pada 1964, Mundardjito muda memperdalam ilmu kepurbakalaan di University of Athens, Yunani. Tempat yang oleh Harsya Bachtiar, Dekan Fakultas Sastra UI yang mengirimnya ketika itu, disebut sebagai ”Mekah-nya Arkeologi”. Predikat itu tak berlebihan. Dia pernah jalan-jalan di Pasar Athena, melihat orang menggali saluran air, eh, ternyata mereka menemukan bata-bata kuno.
Di sana, pria yang oleh sejawat dan mahasiswanya disapa Otti ini memperdalam metode arkeologi. Dia juga melakukan praktek penggalian di Marathon dan Athena. Di belakang hari, metode yang dipelajarinya di Athena digunakannya sebagai bekal menyusun mata kuliah serupa di almamaternya.
Metode yang diperolehnya semasa kuliah di UI memang terbilang kuno. Praktis ia cuma disuruh menghafal, tanpa diajari pengembangan nalar sebagai seorang arkeolog. Seperti orang yang selalu disuapi makan dan tak diberi sendok untuk belajar makan sendiri. Akibatnya, selama tiga tahun dia bisa hafal Borobudur, tapi sama sekali tak mengerti Prambanan.
Kini, sebagai arkeolog kawakan, dengan mata telanjang saja Mundardjito bisa mengetahui apakah di satu daerah ada peninggalan bersejarah yang tertimbun di dalam tanah. Caranya sederhana. Dia melihat dataran sekitar. Bila di kawasan itu banyak tumbuh pohon besar tapi di satu lokasi tertentu cuma ada rimbunan semak belukar, di bawahnya kemungkinan besar ada bangunan kuno yang terpendam. ”Itu yang dinamakan crop mark,” ujar pria kelahiran Bogor, 8 Oktober 1936, ini.
Lantaran keahliannya, ia kerap dilibatkan dalam berbagai kegiatan pemugaran cagar budaya. Contohnya antara lain Candi Borobudur, Taman Purbakala Nasional Candi Prambanan, Banten Lama, Kompleks Candi Muaro Jambi, sisa ibu kota Majapahit di Trowulan, Kubur Prasejarah di Gilimanuk, Bali, dan Kota Tua Jakarta.
Semasa muda, Mundardjito gemar mendaki gunung dan bersahabat dengan aktivis beken Soe Hok Gie. Tak banyak yang tahu, dialah yang—atas permintaan Soe Hok Gie—memberikan nama ”Mapala” pada kelompok mahasiswa pencinta alam dari Universitas Indonesia. Kata itu, selain menjadi akronim dari ”Mahasiswa Pencinta Alam”, berarti ”Berbuah” dalam bahasa Sanskerta. Mundardjito juga menguasai bahasa Jawa kuno, di samping bahasa Sanskerta.
Pernah menjadi Ketua Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia, pada 1995 Mundardjito diangkat menjadi guru besar. Pada 2001, ia pensiun di usia 65 tahun, tapi sampai sekarang tetap aktif mengajar mahasiswa pascasarjana dan melakukan penggalian.
Tak cuma mumpuni di bidang metodologi dan praktek, Mundardjito dikenal amat menjunjung etika. Seorang arkeolog, menurut dia, harus mengusung panji-panji kejujuran. ”Etika seorang arkeolog adalah jangan pernah mencuri dan berbohong tentang hasil penelitian,” ujarnya.
Untuk soal ini, ia mengaku amat dipengaruhi dosennya, (almarhum) Profesor Koentjaraningrat, yang getol mengecam budaya terabas, ingin lekas kaya atau cepat jadi sarjana, yang meruyak di tengah masyarakat. Tak mengherankan pula, dalam pertemuan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pada 1997 di Hotel Horison (sekarang Hotel Mercure), Ancol, Jakarta, ia ikut menyusun kode etik arkeolog.
Dia juga mengajari mahasiswa untuk jujur tiap kali melakukan latihan penggalian. Mundardjito yang ramah itu bisa tersulut kemarahannya bila ada mahasiswa ketahuan menyembunyikan sekeping saja kereweng alias pecahan keramik dari situs. Dia menggembleng mereka untuk menjadi kader arkeolog yang berani dan punya prinsip—bukan arkeolog yang selalu bersikap asal bapak senang alias ABS kepada atasannya.
Dalam memperlakukan para asistennya, dia lebih bersikap sebagai teman sejawat ketimbang senior. Dia ingin dan senang bila mereka berkembang dan, kalau perlu, lebih besar dari dirinya. ”Saya tak mau mereka menjadi Mundardjito kecil,” ujarnya.
Sikap seperti itu membuatnya populer di mata mahasiswa, asisten, dan kolega. ”Bagi saya, dia adalah teman, saudara, sekaligus ayah,” kata Roni Siswandi. Pria yang sekarang menjadi pengusaha ini dulu pernah menjadi murid, kemudian asisten, dan kolega Mundardjito di Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) UI.
Roni memuji pengetahuan Mundardjito yang luas dan lintas disiplin. Belakangan, menurut Roni, sang senior menggabungkan arkeologi dengan lingkungan dan upaya perlindungan benda purbakala. Integritasnya pun boleh diuji. Roni mengingat, sejak dulu, di kalangan mahasiswa dan dosen, Mundardjito dijuluki Oemar Bakry. ”Duit nomor dua. Dia tak kenal konsep korupsi,” ujar suami ”tukang batik” Obin Komara ini. Sampai sekarang, ia masih tinggal di rumah kecil di Kompleks Dosen UI, Rawamangun, Jakarta Timur.
Kendati tegas dalam upaya perlindungan benda purbakala, Mundardjito menurut Roni berpandangan moderat. Ia tidak asal menyalahkan kolektor. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992, mereka dipersilakan menyimpan benda cagar budaya secara pribadi asalkan melaporkannya serta membuka akses untuk publik dan kegiatan penelitian.
Justru kolektor perlu dihargai karena rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk merawat benda purbakala. Dengan anggaran yang terbatas, pemerintah belum terlalu bisa diharapkan melakukan pemeliharaan. Bila melihat kasus Radya Pustaka, malah terbukti nasib benda cagar budaya itu jadi terbengkalai.
Usia yang sudah merangkak menapaki angka tujuh tak membuat kegiatan Mundardjito surut. Ia masih kuat melakukan pekerjaan lapangan seperti anak muda. Bila ke lapangan, biasanya dia tinggal di rumah penduduk. Dia terbiasa pula melakukan riset pustaka berjam-jam di belakang meja. Sampai sekarang, ia baru tidur pukul 02.00 dan sudah bangun kembali pukul 05.30.
Tak cuma akrab dengan benda-benda dari masa lalu, dia terbiasa bekerja dibantu peralatan modern seperti kamera, pemindai, komputer, mesin pencetak, dan Internet. Dia juga tak canggung memberikan kuliah atau menyampaikan hasil kajiannya menggunakan peranti power point.
Berbagi ilmu dengan generasi muda yang awam soal peninggalan sejarah juga amat disukainya. Dia bersedia datang ke acara anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok Sahabat Museum dan menjelaskan kepada mereka, misalnya, sejarah Kota Tua Jakarta. Dengan telaten ia menunjukkan sisa-sisa bastion—menara pengintai dan lokasi meriam—yang masih ada di Gedung Bank Indonesia, Kota Tua.
”Enak cara menjelaskannya,” ujar Ade Purnama, koordinator Sahabat Museum. Mundardjito, di mata anak muda ini, adalah orang yang berdedikasi dan memiliki kecintaan terhadap profesinya. Lantaran suka, Ade akan terus mengundangnya sebagai narasumber di acara mereka berikutnya.
Sampai sekarang, Mundardjito memang masih melakukan penggalian di sekitar Kota Tua. Dialah yang menemukan kembali jalur rel kereta api kuno di sana. Dari penemuan itu diketahui sejarah perkeretaapian di Jakarta, dari jenis yang ditarik kuda, lokomotif uap, sampai akhirnya trem listrik.
Tak semua pekerjaan itu mendatangkan kegembiraan. Raut wajah Mundardjito berubah jadi sendu ketika menunjukkan foto-foto vandalisme yang terjadi dalam penggalian terowongan bawah tanah di depan Stasiun Beos, Kota. Di sana terlihat para pekerja memotong batu dan kayu-kayu kuno secara serampangan. Memang masih banyak orang yang tak sadar, tindakan itu seperti menggunting KTP kita sendiri.
Nugroho Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo